Thursday 11 June 2015

Wajibnya Bermazhab Menurut Para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah

Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Faqih wal Mutafaqqih dengan bersumber kepada Imam Asy-Syafi’i mengatakan : “ Tidak pantas bagi seseorang untuk ber- fatwa dalam urusan agama Allah, kecuali seseorang yang mengetahui kitab Allah yang berkaitan dengan nasikh wal mansukh-nya, ayat muhkamah dan mutasyabih, kemudian cara penakwilannya dan turunnya, Makiyah dan Madaniyah, apa yang dikehendaki dan dimaksud ayat itu, dan dalam hal apa ayat itu diturunkan. Selanjutnya, ia paham akan hadits Rasulullah Saw. Nasikh wal mansukh, dan ia mengetahui bagian hadits yang dapat diketahui dari al-Quran, sekaligus paham dalam ilmu bahasa berikut memaknai syair dan perkara yang dibutuhkan oleh ilmu dan al-Quran, Ini semua masih perlu dibarengi pula dengan sikap diam dan sedikit berbicara. Selain memiliki sikap-sikap tersebut, ia harus menghormati perbedaan pendapat para ahli. Hal inilah yang merupakan karunia yang diberikan Allah. Bila sudah demikian, ia berwenang untuk berkata dan memberi fatwa dalam urusan halal dan haram. Bila tidak begitu, ia hanya boleh berkata dalam ruang lingkup keilmuan saja dan jangan berfatwa “.
Para ulama menukil perkataan Ibnu Qayyim : “ Bagaimana munculnya orang-orang yang tidak memiliki ilmu lalu berfatwa, bahkan berlomba ke arah itu dengan memaksakan diri. Dengan kebodohan dan keberaniannya mereka berusaha mendapatkan  posisi, padahal pengalaman mereka sangat minim disertai latar belakang keilmuannya pun yang sangat buruk. Orang seperti itu termasuk kategori mungkar dan aneh. Mereka tidak memahami al-Quran, al-Hadits maupun atsar kaum salaf “.
Imam Ahmad pernah ditanya : “ Apabila seseorang menghafal 100.000 hadits apakah layak disebut sebagai seorang yang faqih (ahli fiqih) ? Ia menjawab “ Tidak “. Bagaimana kalau 200.000 hadits ? “ Tidak “ Bagaimana kalau 300.000 hadits ? “ Tidak “ Bagaimana kalau 400.000 hadits “ Begitulah “ Ia memberi isyarat dengan tangannya dan menggerakannya.
Imam al-Izz bin Abdussalam juga berkata : “ Yang terpenting bagi orang yang bertaklid adalah mengetahui bahwa mazhab (yang dianutnya) adalah benar-benar ada, dan ia juga harus mempunyai dugaan kuat bahwa mazhab tersebut adalah shahih. Oleh karena itu, apabila dia meyakini keberadaan suatu mazhab, maka dia boleh bertaklid kepada mazhab tersebut, meskipun tokoh mazhab tersebut bukan termasuk salah satu dari empat imam mazhab fikih yang terkenal “.
Imam al-‘Iraqi berkata : “ Ulama bersepakat (ijma) bahwa orang yang masuk Islam boleh bertaklid kepada ulama siapa pun tanpa ada batasan. Para sahabat pun bersepakat bahwa orang yang meminta fatwa dan bertaklid kepada Abu Bakar dan Umar, boleh meminta fatwa kepada Mu’adz bin Jabal, ataupun yang lainnya. Dia juga boleh mengamalkan pendapat para sahabat tersebut tanpa ada pengingkaran dari kalangan ulama. Oleh sebab itu, barangsiapa menganggap bahwa dua bentuk ijma’ ini tidak berlaku, maka dia harus menge- mukakan dalil “.
Waliyullah Ad-Dahlawi di dalam kitabnya Al Inshaf halaman 53 dan dalam kitab Hujjatullah Balighah Juz 1 halaman 132 yang berbunyi , “ Keempat mazhab disusun secara bebas dan telah disepakati oleh umat Islam, boleh diikuti hingga saat ini. Karena dengan mengikuti mazhab-mazhab tersebut terdapat kemaslahatan yang tidak dapat disangkal apalagi pada saat ini di mana perhatian manusia terhadap masalah-masalah agama semakin berkurang, jiwa-jiwa telah diliputi oleh hawa nafsu dan setiap orang bangga dengan pendapatnya. Kemudian beliau mengatakan kembali bahwa tidak ada larangan untuk meng- ikuti mazhab tertentu karena bagaimana mungkin hal ini diingkari, sedangkan proses meminta dan mengeluarkan fatwa sudah berlangsung di kalangan kaum muslimin sejak zaman Nabi Saw. Tidak ada perbedaan apakah individu tersebut meminta pendapat pada satu orang saja atau sekali-sekali meminta fatwa kepada yang lainnya “.
Sangat banyak sebenarnya ucapan para ulama tentang wajibnya bermazhab. Karena syarat untuk menjadi seorang mujtahid itu sangatlah berat. Bermazhab itu merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Kita semua menginginkan ilmu itu berasal dari para ahlinya. Untuk urusan duniawi saja kita tidak pernah mau untuk ditangani oleh orang-orang yang tidak ahli, apalagi ini adalah urusan surga dan neraka.
Rasulullah Saw bersabda :
لَا تَبْكُوا عَلَى الدِّينِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلَكِنِ ابْكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ
“ Janganlah kalian bersedih jika agama di urus oleh ahlinya, tetapi bersedihlah jika agama di urus oleh orang yang bukan ahlinya “  (Musnad Ahmad 38/558,  al-Mu’jam al-Ausath 1/94, 9/144, al-Mu’jam al-Kabir 4/158, al-Mustadrak 4/560 , (derajat hadits shahih ) diriwayatkan oleh : Dawud ibn Shalih r.a, Abu Ayyub al-Anshari r.a, Marwan ibn Hakim r.a, Abdullah bin Ja’far r.a, al-Muthalib bin Abdillah r.a,) 

As-Sawadul ‘Azham dikatakan juga sebagai Ahlus-sunnah wal-Jama’ah sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw berikut ini :
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ. قِيْلَ : مَنْهُمْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
“ Demi Dzat, yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan yang 72 masuk neraka. Seorang sahabat bertanya : “ Siapa itu yang Ya Rasulullah ? “ Beliau menjawab :  Ahlus Sunnah wal Jamaah “. (Sunan Abu Dawud 4/197, 4/214, Sunan Turmudzi 5/25,  Sunan Ibnu Majah 2 / 1321,  Musnad Ahmad 27/135, al-Muntakhib min Musnid Abdi Ibnu Hamidat 1/164, as-Sunnah, Ibnu Abi Ashim 1/7 (derajat hadits hasan shahih ) diriwayatkan oleh : Abu Hurairah, Abdullah bin Umar r.a, Auf bin Malik r,a, Abdillah bin Ubaidah r.a)
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata :
يَتَّبِعُونَ مَذَّهَبَ أَهْلِ السُّنُّةِ وَالْجَمَاعَةِ، كَالصَّحَابَةِ، وَمَعْظَمَ التَّابِعِيْنَ، وَالْأَئِمَّةَ الْمُجْتَهِدِيْنَ الْمَتْبُوعِيْنَ
 “ dan ikutilah madzhab ahlussunnah wal Jama’ah, (mereka beramal seperti amal) para sahabat, dan ikuti pula para pembesar tabi’in, imam madzhab dan orang-orang yang mengikuti mereka “ (Musnad Ahmad 6/77)
Ucapan Imam Ahmad “ dan ikutilah madzhab ahlussunnah wal Jama’ah ”, mem- buktikan bahwa mazhab ini telah ada dan berkembang di zamannya. Dan tidak mungkin ada dan berkembang di zamannya bila tidak mulai pada zaman-zaman sebelum beliau.
Bahkan, dengan secara lugas perintah untuk bermazhab kepada mazhab yang empat dinyatakan oleh Nabi Saw :

اِتَّبِعُوا السَّوَادَ الْاَعْظَمَ , وَلمَاَّ انْدَرَسَتِ الْمَذَهِبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِهَا اِلَّا الْمَذَاهِبَ اْلاَرْبَعَةَ اَلَّتِى اِنْتَشَرَتْ أَتْبَاعُهَا كَانَ اِتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْاَعْظَمِ وَالْخُرُوجُ عَنْهَا خُرُوجًا عَنِ السَّوَادِ الْاَعْظَمِ
“ Ikutilah mayoritas (umat Islam), dan ketika mazhab-mazhab yang benar telah tiada dengan wafatnya para imam (mazhabnya), kecuali empat mazhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikutinya berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari mazhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas “Sullam al-Wushul Syarah Nihayah al-Sul (Mesir, Bahrul Ulum, ttp, Muhammad Bahith al-Muth’i 3/921, 4/589-581, lihat Buku Solusi Hukum Islam NU hal. 3)

Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi berkata : “ Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (imam-imam mazhab) dan berkata : “ Saya beramal berdasarkan al-Quran dan hadits, dan mengaku telah mampu memahami hukum-hukum al-Quran dan hadits, maka orang tersebut tidak bisa diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan, terutama pada masa sekarang ini di mana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia dibawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisis “.5
Inilah Imam Adz Dzahabi Rahimahullah yang berbicara tentang para ahli fiqih yang berpegang teguh dengan mazhab imam mereka dan tidak bersikap fanatik terhadap salah satu mazhab tertentu dan berusaha untuk mengetahui dalil serta memahaminya dengan pemahaman yang benar. Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Zaghlu Al-‘Ilm Wathalab berkata :
Para ulama mazhab Maliki mereka adalah golongan yang baik memiliki kemuliaan dan keutamaan jika apa yang mereka fatwakan dan putuskan tidak membawa kepada peperangan dan pengkafiran.
Para ulama mazhab Hanafi mereka mempunyai keutamaan dalam hal ketelitian, logika dan kecerdasan jika mereka tidak mengatakan penghalalan akan riba dan pembatalan kewajiban berzakat.
Para ulama mazhab Syafi’i mereka adalah orang-orang luwes dan paling pandai dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hal agama, karena sumber hukum mazhab ini merujuk kepada hadis-hadis shahih yang bersambung pada Nabi Saw.
Para ulama mazhab Hambali mereka adalah para ulama yang dikaruniai banyak ilmu pengetahuan yang sangat berguna yang didalamnya terkandung banyak keluasan akan ilmu-ilmu agama.
Terdapat penjelasan yang bagus dan indah tentang makna dari kata Ahlussunnah wal Jama’ah yang merujuk kepada kata ma ana ‘alaihi wa ashabihi, sebagai- mana termaktub di dalam kitab al-I’tiqad 1/233 karya al-Baihaqi sebagai berikut :
وَفِي حَدِيثِ عَمْرِو  بْنِ عَوْفٍ: إِلَّا وَاحِدَةً الْإِسْلَامُ وَجَمَاعَتُهُمْ. وَفِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو: إِلَّا وَاحِدَةً، مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. وَإِنَّمَا اجْتَمَعَ أَصْحَابُهُ عَلَى مَسَائِلِ الْأُصُولِ فَإِنَّهُ لَمْ يُرْوَ عَنْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ خِلَافُ مَا أَشَرْنَا إِلَيْهِ فِي هَذَا الْكِتَابِ، فَأَمَّا مَسَائِلُ الْفُرُوعِ فَمَا لَيْسَ فِيهِ نَصُّ كِتَابٍ وَلَا نَصُّ سُنَّةٍ
 فَقَدِ اجْتَمَعُوا عَلَى بَعْضِهِ وَاخْتَلَفُوا فِي بَعْضِهِ، فَمَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ لَيْسَ لِأَحَدٍ مُخَالَفَتُهُمْ فِيهِ، وَمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ فَصَاحِبُ الشَّرْعِ هُوَ الَّذِي سَوَّغَ لَهُمْ هَذَا النَّوْعَ مِنَ الْإِخْتِلَافِ حَيْثُ أَمَرَهُمْ بِالْإِسْتِنْبَاطِ وَبِالْإِجْتِهَادِ مَعَ عِلْمِهِ بِأَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ، وَجَعَلَ لِلْمُصِيبِ مِنْهُمْ أَجْرَيْنِ وَلِلْمُخْطِئِ مِنْهُمْ أَجْرًا وَاحِدًا، وَذَلِكَ عَلَى مَا يُحْتَمَلُ مِنَ الَاجْتِهَادِ، وَرْفِعَ عَنْهُ مَا أَخْطَأَ فِيهِ
“ Di dalam hadits ‘Amri ibn ‘Auf : kecuali satu golongan Islam dan jama’ahnya. Dan di dalam hadits Abdullah ibn ‘Amr : kecuali satu golongan (yaitu) apa-apa yang menjadi peganganku dan para sahabatku. Dan sesungguhnya telah bersepakat para sahabat terhadap masalah Ushul (prinsip) dan sesungguhnya tidak diriwayatkan dari satu jalur saja dari mereka perbedaan yang ditunjukkan oleh pemilik syari’at di dalam kitab-Nya, adapun dalam masalah furu’ (cabang) yang di dalamnya tidak terdapat nash di dalam kitab (al-Quran) dan tidak pula terdapat nash di dalam sunnah, maka sesungguhnya telah bersepakat sebagian dari mereka dan telah berselisih pendapat pula sebagian dari mereka, Adapun dalam masalah yang telah tetap tidak ada satupun dari mereka yang menyelesihinya, dan apa-apa yang mereka perselisihkan yang ditunjukkan oleh pemilik syari’at yang mengijinkan bagi mereka dalam bentuk dari perbedaan di mana mereka diperintahkan untuk beristimbath (menggali hukum) dan berijtihad dengan ilmunya, dan dengan jalan itulah mereka berbeda pendapat, dan bagi orang yang tepat dari mereka (dalam berijtihad) mendapatkan dua pahala, dan bagi yang salah (dalam ijtihadnya) mendapatkan satu pahala, dan yang demikian itu tetap bagi yang berijtihad, dan diangkat bagi mereka dosa-dosanya di dalam berijtihad “ (Ahkamul Fuqaha hal. 186, lihat Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili, Tanwirul Qulub fi Mu’ammalah ‘Allam al-Ghuyub (Beirut : Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M). 75)

No comments:

Post a Comment