Monday 13 July 2015

Bagaimanakah Bila Shalat Jumat Berbarengan Dengan Hari raya ?

Di dalam kitab al-Fiqh ‘ala a-madzahib al khamsah karya Muhammad Jawad Mughniyah dalam bab. Shalat ‘Idain dikatakan : Bahwa para ulama berbeda pendapat tentang shalat Idul Fitri dan Idul Adha, apakah hukumnya wajib atau sunnah ?
Mazhab Abu Hanifah mengatakan bahwa kedua shalat hari raya itu hukumnya fardhu ‘ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jum’at. Apabila syarat-syarat tersebut atau sebagian daripadanya tidak terpenuhi, maka menurut mazhab ini kewajiban tersebut menjadi gugur. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi’i hukumnya adalah sunnah muakkadah. Sedangkan dalam mazhab Hanbali hukumnya adalah fardhu kifayah. Mazhab Syafi’i mengatakan : shalat pada kedua hari raya itu sah dikerjakan, baik sendiri ataupun berjama’ah. Sedangkan mazhab lainnya mewajibkan berjama’ah.
Di dalam kitab “ Bidayatul Mujtahid “ karya Imam Ibnu Rusyd dalam bab. ‘Idain dikatakan : Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hasan al-Bashri yang disunnatkan untuk mengerjakan shalat hari raya adalah orang yang menetap dan musafir. Juga orang-orang pedalaman dan orang-orang perempuan yang tinggal di rumah. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, shalat Jum’at dan hari raya hanya untuk orang-orang perkotaan atau perkampungan yang tidak terpencil.
Menurut penulis, perkataan Imam Abu Hanifah ini sama dengan kalimat “ Shalat Jum’at dan hari raya dikerjakan bagi mereka yang berada di kota atau di kampung yang tidak terpencil. Pada zaman sekarang ini sudah sangat sulit untuk mencari sebuah kota dan kampung yang terpencil walau pun masih terdapat beberapa saja. Hal ini dikarenakan pembangunan terus menerus dikerjakan oleh semua negara. Jadi bisa dikatakan, bahwa pada zaman ini mayoritas penduduk yang berada di kota dan di kampung harus mengadakan shalat Jumat dan shalat dua hari raya kecuali ada udzur yang diperkenankan oleh syari’at, seperti masjid dan lapang untuk mengadakan shalat tersebut hancur atau terendam air karena bencana alam dsb. Hal ini berdasarkan ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a :
لاَ جُمْعَةَ وَلاَ تَشْرِيْقَ اِلاَّ فِى مِصْرٍ جَامِعٍ
“ Shalat Jum’at dan hari Raya tidak dilaksanakan kecuali diperkampungan (perkotaan) yang menyatu (mengumpul) “  (Al-Atsar, Abu Yusuf al-Hanafi 1/60, Mushanaf Abdurrazzaq 3/169, 3/301, Musnad al-Ja’d 1/438, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 1/439, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 3/254, Ma’rifah as-Sunan, al-Baihaqi 4/321, 4/322, Syarh as-Sunnah, al-Baghawi 4/219, 4/312, (derajat hadits shahih) 
Kalimat tersebut memiliki persamaan dengan kalimat : Shalat Jum’at dan hari raya dilaksanakan diperkampungan (perkotaan) yang menyatu (mengumpul) “. Jadi bisa dikatakan apabila sebuah masjid ada yang tidak mengadakan salah satu dari kedua shalat tersebut pada hari Jumat, maka ia telah meninggalkan sebuah keutamaan dan sunnah Nabi-Nya.
Di dalam hadits dikatakan :
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“ Sesungguhnya hari ini berkumpul dua hari Raya. Siapa yang ingin diberi pahala shalat Jumat (kerjakanlah) dan kami pun akan mengerjakannya “ (Sunan Abu Dawud 1/281, Sunan Ibnu Majah 1/416, Muwatha 1/178, 2/249, Musnad asy-Syafi’i 1/77, 1/159, as-Sunan al-Ma’tsurah, asy-Syafi’i 1/238, Musnad al-Bazzar 15/386, al-Muntaqi, Ibnu Jarud 1/84, al-Mukhalashiyah 2/218, al-Mustadrak 4/196, as-Sunan al-Kabir 3/444, 3/445, Syah as-Sunan, al-Baghawi 4/222  (derajat hadits shahih)
Imam Az-Zuhri berkata :
لاَ صَلاَةَ فِطْرٍ وَلاَ أَضْحَى عَلَى مُسَافِرٍ
“ Tidak ada Shalat Idul Fitri dan Idul Adha untuk orang-orang musafir “
Jadi ucapan beliau ini sama dengan : “ Orang yang mukim disunnatkan untuk melaksanakan shalat dua hari raya “.
Ada beberapa hadits yang salah dipahami oleh sebagai para mubaligh, sehingga masyarakat awam pun mengamini ucapannya. Antara lain :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“ Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw sesungguhnya beliau bersabda : “ Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua hari raya (Hari Raya dan hari Jum’at) maka barangsiapa yang berkehendak cukuplah bagi dia sebagian dari hari Jumat (shalat hari Raya atau shalat Jum’at) dan sesungguhnya kami akan menggabungkan (kedua-duanya) “ (Sunan Abu Dawud 1 / 281 (derajat hadits shahih)
Pada kalimat “ maka barang siapa yang berkehendak cukuplah bagi sebagian dari hari Jum’at “ menurut Imam Syafi’i, tidak wajib shalat Jum’at pada hari Raya di hari Jum’at apa- bila sudah melakukan shalat hari raya adalah sebuah keringanan khusus untuk orang-orang yang tinggal di daerah terpencil yang berada dipedalaman, sedangkan shalat hari raya dan shalat Jum’at hanya dilaksanakan diperkotaan dan perkampungan yang tidak terpencil. Jadi seperti kota-kota besar yang didalamnya terdapat komplek-komplek perumahan harus mengerjakannya. Hal ini diakibatkan karena pemahaman yang dangkal dan fanatisme yang buruk dalam bermazhab.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan di dalam banyak kitab hadits :
فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ
“ Barangsiapa yang menyukai dari penduduk pinggiran Madinah untuk menunggu shalat Jum’at, maka tunggulah, dan barangsiapa yang ingin pulang, pulanglah “ (Muwatha 1/88, 1/178, 1/228, 2/249, Musnad asy-Syafi’i 1/77, al-Ma’tsurah, asy-Syafi’i 1/238, Musykil al-Atsar 3/192, Shahih Ibnu Hibban 8/365, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 3/445, Ma’rifah as-Sunan wal Atsar 5/84, 5/117 (derajat hadits shahih)

Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, tidak ada perubahan hukum, bagi setiap mukallaf tetap harus melaksanakan kedua-duanya, karena shalat hari raya itu sunnat hukumnya, sedangkan shalat Jum’at itu wajib hukumnya, maka tidak bisa shalat yang satu menggugurkan shalat yang lain. Masing-masing tetap berjalan sesuai dengan hukum aslinya. Sedangkan pendapat yang tidak mewajibkan shalat Jum’at dan zhuhur benar-benar telah menyimpang jauh dari hukum asal, kecuali apabila ada nash yang mendasarinya.
Bahwa imam tidak gugur kewajibannya dari shalat Jumat, karena jika imam meninggalkan shalat Jumat, maka akan menghalangi orang-orang yang diwajibkan atas mereka unutuk menunaikan shalat Jumat tersebut.
Banyak hadits yang diriwayatkan tentang kewajiban mengerjakan shalat Jum’at, di antaranya adalah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسَةٌ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ: الْمَرْأَةُ، وَالْمُسَافِرُ، وَالْعَبْدُ، وَالصَّبِيُّ، وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ
“ Ada lima macam orang yang tidak wajib shalat Jum’at atas mereka, yaitu : wanita, musafir, hamba sahaya, anak-anak dan penduduk pedalaman “ (al-Mu’jam al-Ausath, ath-Thabarani 1 / 72, (derajat hadits shahih)
Hadits ini adalah hadits mursal yang artinya bersambung kepada Rasulullah Saw. Melalui hadits ini jelaslah tidak ada alasan bagi orang-orang yang tidak mendapat pengecualian dari Nabi Saw untuk meninggalkan kewajiban shalat Jumat. Orang-orang dipedesaan atau diperkotaan yang membantu mengurusi pemotongan, dan pembagian daging kurban, kalau pun mau dilakukan harus dilakukan oleh orang-orang yang tidak diwajibkan melakukan shalat Jumat, bukan oleh orang-orang yang terkena kewajiban shalat Jumat.
Adapun riwayat yang sering dipakai untuk mengaburkan akidah masyarakat  adalah riwayat yang terdapat di dalam Sunan Abu Dawud 1/128 sebagai berikut :
قَالَ عَطَاءٌ: اِجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ، وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: «عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ» ، فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً، لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“ Berkata Atha : Telah berkumpul pada hari Jum’at dan hari Idul Fitri di zaman Ibnu Zubair, dia berkata : “ Dua hari raya telah berkumpul jadi satu di satu hari, maka disatukanlah keduanya pada satu hari itu, maka shalatlah dua raka’at di pagi hari (shalat hari raya), dan tidak menambah apapun sesudah dua raka’at itu, hingga ia shalat Ashar “ (Sunan Abu Dawud 1 / 281)

Riwayat tersebut bukanlah hadits Nabi Saw, melainkan hanya sebuah fatwa dari tabi’in. Tidak ada sebuah fatwa atau ijtihad yang bertentangan dengan hadits shahih melainkan dia harus ditolak. Sebagaimana telah dijelaskan di atas oleh para imam mazhab.  Pendapat Atha’ ini bertentangan dengan hadits dan perbuatan Nabi Saw di mana di dalam hadits dikatakan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“ Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw sesungguhnya beliau bersabda : “ Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua hari raya (Hari Raya dan hari Jum’at) maka barangsiapa yang berkehendak cukuplah bagi dia sebagian dari hari Jumat (shalat hari Raya atau shalat Jum’at) dan sesungguhnya kami akan tetap melaksanakan kedua-duanya “ (As-Sunan al-Kabir, an-Nasai 3/444 dengan tiga riwayat yang saling menguatkan (derajat hadits shahih)
Dalam kalimat kami akan melaksanakan kedua-keduanya adalah ketika Nabi Saw melaksanakannya di Madinah yang menjadi pusat pemerintahan. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Wahhab bin Kaisani adalah di zaman Ibnu Zubair yang memerintah pada tahun 64 – 73 H di mana beliau menjadi Khalifah bagi orang-orang Hijaz, Yaman, Irak dan --
Dalam kalimat kami akan melaksanakan kedua-keduanya adalah ketika Nabi Saw melaksanakannya di Madinah yang menjadi pusat pemerintahan. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Wahhab bin Kaisani adalah di zaman Ibnu Zubair yang memerintah pada tahun 64 – 73 H di mana beliau menjadi Khalifah bagi orang-orang Hijaz, Yaman, Irak dan Khurasan setelah porak-porandanya kota Makkah oleh Yazid bin Muawiyah. Bahkan ketika itu Ibnu Zubairlah yang membangun kembali masjid Makkah al-Mukaramah dari kehancurannya (Tarikh Khulafa) . Adapun hadits yang dimaksud adalah :
حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ، قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ
“ Telah diriwayatkan kepadaku dari Wahhab bin Kaisani dia berkata : “ Telah berkumpul di hari ini dua hari raya (Hari raya dan Jum’at) di zaman pemerintahan Abu Zubair, maka ia tidak keluar, melainkan sesudah tinggi matahari, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, kemudian ia shalat, dan di hari itu ia tidak mendirikan shalat Jum’at lagi buat orang-orang, maka (kata Wahhab) aku kabarkan yang demikian itu kepada Ibnu Abbas, maka ia menjawab : Perbuatan Ibnu Zubair itu telah mengikuti sunnah Rasul “ (Sunan Nasai 3/194)
Perkataan Ibnu Abbas r.a “ Perbuatan Ibnu Zubair itu telah mengikuti sunnah Rasul ” karena di dalam kalimat “melainkan sesudah tinggi matahari, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, kemudian ia shalat ”, sudah jelas, bahwa Abu Zubair khotbah dahulu lalu shalat, artinya ini adalah shalat Jumat. Karena bila beliau shalat hari raya sudah tentu shalat dulu baru khotbah, bukan khotbah kemudian shalat. Lihatlah perbedaan yang seterang matahari ini. Argumentasi ini menggugurkan pendapat orang yang kurang teliti dengan mengatakan bahwa tidak wajibnya shalat Jumat bila bertepatan dengan hari raya. Wallahu a’alam.
Begitu pula dengan kejadian di mana hari Jum’at bertepatan dengan hari Raya Idul Kurban. Di mana orang-orang yang tidak ikut membantu dalam penyembelihan, pemoto- ngan, menguliti kulit hewan kurban tidak ada alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat Jum’at. Selain orang yang berada dipedalaman dan orang-orang yang menebarkan bau tidak sedap. Sebagaimana diriwayatkan di dalam hadits sebagai berikut :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ "
“ Barangsiapa yang memakan pohon yang tidak sedap ini, yaitu bawang putih dan bakung ini, maka janganlah mendekati mesjid kami, sesungguhnya malaikat akan merasa sakit (karena baunya) seperti halnya manusia “ (Shahih Bukhari 1/170, 7/81, Shahih Muslim 1/395 (derajat hadits shahih)
Apabila bau bawang putih dan bakung saja sudah dilarang untuk mendekati masjid, apalagi seseorang yang membawa aroma bau daging tidak sedap ke dalam masjid. Hadits ini merupakan penegasan bahwa orang-orang yang tidak bergelut dan bercampur dengan aroma tidak sedap tidak ada alasan untuk tidak menghadiri shalat Jumat setelah melaksanakan shalat sunnat hari raya.