Dalil kesatu, Sabda Nabi Saw :
مَنْ أَعَانَ عَلَى مَيِّتٍ بِقِرَاءَةٍ وَذِكْرٍ اِسْتَوْجَبَ اللهُ لَهُ الْجَنَّةَ
“ Barangsiapa yang menolong mayit dengan membacakan ayat-ayat dan dzikir, Allah akan memastikan surga baginya ” (At-Tahqiqat 3/400, Sunan Nasai 2/200, lihat Tradisi Orang-Orang NU hal.277 (derajat hadits hasan)
Dalil kedua, di dalam kitab “ Daqaaiqul Akhbar “ telah diriwayatkan hadits di mana Nabi Saw bersabda : (Daqaiq Akhbar hal.18)
قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَسَلَّمُ : اِذَا خَرَجَ الرُّوحُ مِنْ بَدَنِ ابْنِ آدَمَ وَمَضَى ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ يَقُولُ الرُّوحُ
يَا رَبِّ اِئْذَنْ لىِ حَتَّى اَمْشِيَ وَاَنْظُرَ اِلَى جَسَدِى
“ Bersabda Nabi Saw, “ Ketika ruh itu keluar dari jasad anak Adam, dan telah lewat masa tiga hari, maka ruh itu berkata, “ Wahai Tuhanku, berilah izin kepadaku sehingga aku dapat berjalan dan melihat (keadaan) jasadku, di mana aku pernah berada di dalam jasadku itu “.
Allah memberikan izin kepada ruh itu. Maka datanglah ia ke kuburannya. Ia melihat jasadnya dari kejauhan. Dilihatnya darah yang masih mengalir dari kedua hidung serta mulutnya. Ia pun menangis sangat lama. Kemudian ruh itu berkata : “ Wahai jasad yang miskin, wahai kekasihku, apakah engkau ingat tentang hari-hari yang pernah kita jalani bersama ? Ini adalah rumahmu, yaitu rumah duka cita dan rumahnya cobaan, rumahnya kesedihan, tempatnya kesusahan dan tempatnya penyesalan “. Dengan wajah murung dan sedih, kemudian ruh itu pergi meninggalkan kuburannya.
Ketika telah lewat masa lima hari, ruh itu kembali memohon kepada Allah, Seraya berkata, “ Wahai Tuhanku, berilah izin untuk menjenguk jasadku lagi “. Allah Yang Maha Pengasih memberinya izin. Setelah mendapatkan izin dari-Nya, kemudian ruh itu segera mendatangi kuburannya. Dari kejauhan dilihat jasadnya yang terbujur dingin sangat memprihatinkan. Di kedua lubang hidungnya telah mengalir darah yang mengental, di mulut serta kedua lubang telinganya juga telah mengalirkan nanah kental yang bercampur dengan darah. Melihat pemandangan seperti itu, ruh pun menangis sekeras-kerasnya. Ia hanya mampu menyaksikan kerusakan jasadnya dari kejauhan, tidak mampu untuk mendekat dari batas yang telah ditentukan oleh-Nya. Di tengah tangisnya itu, ruh berkata, “ Wahai jasadku yang miskin, masih ingatkah engkau dengan hari-hari di mana kita pernah hidup bersama ? Di mana engkau sangat jarang mengakui sesungguhnya aku adalah hamba yang bersemayam di dalam dirimu. Namun semenjak lima hari yang lalu kita telah berpisah. Berarti perpisahan yang menyebabkan berpisahnya dirimu dan diriku. Kini engkau telah berada dalam kerusakan yang nyata, yaitu bersemayamnya dalam perut bumi di mana kita bersama pernah berdiri, duduk, tidur, dan mengerjakan apa pun yang engkau inginkan di atasnya. Ketahuilah, wahai jasadku yang miskin. Ia adalah rumah kesedihan, rumah duka cita, rumahnya ular yang telah memakan, merobek, mengoyak, dan mencabik-cabik tubuhmu, dan sebentar lagi engkau pasti akan benar-benar binasa. Di mana anak-anakmu kini ? Di mana istrimu yang pernah berikrar untuk sehidup semati Di mana sahabat-sahabatmu yang berkata setia ? Di mana kekasih-kekasihmu yang dulu sering menghabis- kan waktu bersamamu ? Di manakah semuanya itu ? Apakah mereka Sempat untuk mengunjungi gundukan tanah di atas yang menjadi tandamu ? Mereka hanya berlomba-lomba menghiasi nisanmu, tetapi melupakan apa yang terbaring di bawahnya. ? Jika saja engkau mengetahui bahwa nasib engkau akan seperti ini, mungkin saat kita masih hidup di dunia dulu, engkau tidak akan selalu mempersolek dirimu dengan sangat mengistimewa- kannya “. Setelah sekian lama ruh itu berada di pekuburannya, maka ia pun pergi dengan wajah yang tertunduk lemas tanpa daya, rasa prihatin menyeruak di dalam dirinya dengan apa yang telah dilihatnya itu.
Pergantian hari telah mengantarkan kematian hamba itu pada hari yang ketujuh. Hal ini membuat ruh merasa perlu untuk mengunjungi jasadnya kembali. Maka ruh pun pergi menghadap Allah dan meminta izin-Nya dengan berkata : “ Wahai Tuhanku, berikanlah kebali izin-Mu kepada hamba-Mu ini, sehingga aku bisa kembali menjenguk jasadku “. Allah pun mengizinkannya, dan ruh pun kembali mendatangi tempat jasadnya dimakamkan.
Begitu sampai di pemakamannya, ruh itu segera menangis dan menjerit pilu. Ia melihat banyak ulat dan belatung keluar dari jasadnya. Ulat-ulat itu seperti sedang berebut untuk menjadi yang tecepat dalam menghabiskan jasadnya. Dan dari kejauhan ia melihat jasadnya seperti kembali hidup lantaran bergerak-gerak sendiri, padahal semuanya itu adalah akibat semakin beringasnya ulat-ulat yang memakan jasadnya., sehingga ruh pun semakin pilu menyaksikannya. Dengan tangis yang tak mampu dihentikannya, dia pun berkata, “ Wahai jasadku yang sedang mengalami kerusakan yang nyata, engkau semakin hancur dan binasa. Di saat seperti ini masihkan engkau mengingat hari di mana kita pernah bersama-sama dulu ? Sekarang di mana anak-anakmu ? Di mana kerabatmu ? Di mana saudara- saudaramu ? Di mana sahabat karibmu ? Di mana orangtuamu ? Di mana orang yang seringengkau tolong ? Di mana orang-orang yang katanya rela menjadi tetangga-tetanggamu ? Di mana istrimu ? Apakah pada hari ini mereka masih menangisi dirimu ? Apakah mereka saat ini sedang memperebutkan harta warisanmu ? Mengapa aku tidak merasakan sejuknya kiriman doa dan kedamaian pahala shadaqah yang mereka kirimkan ? Sejenak ruh itu hanyut dalam ketertundukannya, ia kembali ke tempatnya semula.
Abu Hurairah meriwayatkan, ketika seorang mukmin telah meninggal dunia, maka ruhnya akan mengitari rumahnya selama satu bulan. Ruh itu akan menyaksikan kepada apa saja yang ia tinggalkan, melihat hartanya, bagaimana cara harta itu dibagi, dan bagaimana utang-utangnya dibayarkan.
Ketika telah sempurna satu bulan, kembalilah ruh itu ke liang kuburnya. Ruh itu akan kembali mengitari pagar rumahnya hingga sempurna masa satu tahun dari kematiannya (baca: haul), yakni untuk melihat orang-orang yang mendoakannya, dan orang-orang yang bersedih akan kematiannya. Setelah sempurna masa satu tahun, maka ruh akan diangkat ke tempat berkumpulnya ruh hingga hari kiamat, yakni ketika ditiupnya sangkakala.
Sebagaimana yang dikatakan telah oleh Ibnu Abbbas r.a, “ Ketika pada hari Raya, hari Asyura’, hari Jum’at yang pertama dalam bulan Rajab, malam Nisfu Sya’ban, dan malam Lailatul Qadar, serta malam Jum’at, keluarlah ruh orang-orang yang telah mati dari kuburnya. Kemudian mereka semua berdiri di depan pintu rumahnya masing-masing, seraya berkata, “ Kasihanilah kami di malam yang penuh berkah ini. Kasihanilah kami dengan bershadaqah atau dengan sesuapan makanan untuk bershadaqah. Sesungguhnya kami sangat membutuhkan shadaqah kalian itu “.
Jika saja kalian kikir dan tidak mau memberikan shadaqah (yang pahalanya) ditujukan kepada kami, maka ingatlah kepada kami dengan membaca surat al-Fatihah dari al-Quran di malam yang penuh berkah ini. Adalah seseorang dari kalian yang mengasihi kami ? Adakah seseorang saja yang masih ingat kepada pengembaraan kami ? Wahai orang yang berdiam di rumah kami ! Wahai orang yang menikahi istri kami ! Wahai orang yang menempati gedung kami ! Ketahuilah bahwa kami menempati sempitnya kuburan kami ! Wahai orang yang masih mengingat pengembaraan kami ! Catatan amal kalian masih dibuka. Ketahuilah, tak ada pakaian yang tersedia di sini, bahkan tersisa bagi mayat di dalam kubur- nya. Maka janganlah kalian melupakan kami dengan sepotong roti atau apa pun untuk kalian shadaqahkan atas nama kami. Sesungguhnya kami selalu menanti kiriman pahala dari apa pun yang kalian tujukan kepada kami. Ingatlah, jika sesungguhnya kami sangat membutuh kan bantuan kalian. Penambahan amal kebaikan atau pun keburukan kami tergantung pada ingatan kalian. Kami ini benar-benar telah mati, kami sudah tidak berada di atas bumi lagi, namun kini kami hanya menjadi santapan ulat dan belatung dengan terbaring dingin di dalam kerahasiaan perut bumi. Jadi kebaikan-kebaikan kalianlah yang kami harapkan setiap
harinya. Kasihanilah jiwa dari makhluk yang pernah bersama kalian ini. Adakah di antara kalian yang masih ingat semua tentang kami ? Jika memang masih ada, maka kasihanilah kami dengan apa pun yang mampu. Kecil atau pun besar pemberian shadaqah kalian (atas nama kami) sangatlah berguna bagi kami. Kemelaratan kami melebihi kemelaratannya orang gila yang berkeliaran tanpa memiliki apa-apa.
Bahkan ruh mereka di alam kuburnya berkata : “ Sungguh andai saja Engkau datangkan kesempatan yang kedua kalinya kepada kami, maka kami akan termasuk orang-orang yang bertaqwa, karena Engkau telah datangkan bukti yang nyata kepada kami. Kami sekarang ini tidak mampu mengingkari semua kebenaran dari apa yang telah disampaikan oleh semua utusan-Mu. (Nabi dan para Ulama). Sungguh di saat kami hidup, kami meng- anggap semua itu hanyalah omong kosong dari mereka yang tak lebih dari dongeng ataupun cerita khayalan yang dibuat-buat untuk membuat kami takut, dan untuk mem- bohongi mereka yang mengikutinya.
Semua ruh yang ada di waktu itu saling berdoa dan memohon kepada Tuhan-Nya demi mendapatkan belas kasih keluarganya yang telah ia tinggalkan. Jikalau mayat itu mendapatkan shadaqah dan doa dari keluarganya, maka mereka akan kembali dengan senang dan gembira. Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatkan pahala dari shadaqah atau doa dari keluarganya yang masih hidup, maka ia akan kembali dengan bersedih hati disertai rasa putus asa yang mendalam, mereka kembali ke kuburannya masing-masing dengan tangisan yang memilukan. Hati mereka hancur akibat perlakuan dari orang-orang yang telah mereka tinggalkan, yaitu orang-orang yang sewaktu mereka hidup selalu bersamanya (keluarga, saudara, dan kawan-kawannya). Mereka kembali kekuburannya seraya berdoa : “ Begitu cepat mereka melupakanku, semoga kelak mereka mengalami seperti apa yang aku alami ini “.
Dalil ketiga, dikatakan :
وَفىِ بَعْضِ الْآثَارِ يَتَكَرَّرُ السُّؤَالُ فىِ الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَفىِ بَعْضِهَا اِنَّ الْمُؤمِنَ يُسْأَلُ سَبْعَةَ اَيَّامٍ وَالْمُنَافِقَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًاوَلَا يُسْأَلُ مَنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتِهِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَكَذَا فىِ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ وَهُوَ بَعْدَ الْعِيْدِ فىِ مَيْشَئِةِ اللهِ تَعَالَى لَكِنِ اللهُ تَعَالَى هُوَ أَكْرَمُ الْأَكْرَمِيْنَ فَالظَّنُّ عَلَى اَنَّهُ لَايُؤْمَرُ بِالسُّؤَالِ كَمَا فىِ الْوَاقِعَاتِ الْمَحْمُوْدِيَةِ
Dalam sebagian atsar dikatakan ; “ Di dalam majelis yang satu ditanya sebanyak 3 kali. Dalam atsar yang lainnya dikatakan : “ Seorang Mu’min ditanya selama 7 hari dan orang munafik ditanya selama 40 hari. Tidak akan ditanya orang Mu’min yang meninggal pada malam Jum’at atau hari Jum’at. Demikian pula orang yang meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Yang meninggal setelah bulan Ramadhan berada dalam kehendak Allah, namun
Allah adalah Yang Maha Pemurah di antara para pemurah, maka berat dugaan ia tidak akan ditanya dalam kuburnya “. Demikianlah dikatakan dalam al-Waqi’atul Mahmudiyyah. (Ruhul Bayan 4/417, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 3/62, riwayat Abdurrahman bin ‘Auf r.a (derajat hadits shahih)
Dalil Keempat, adalah fatwa Imam Thawus sbb :
اِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فىِ قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يُسْتَحَبُّونَ اَنْ يُطْعِمُونَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّامَ – اِلَى اَنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرٍ قَالَ : يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَأَمَّا الْمُنَافِقٌ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا
“ Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Dari sahabat Ubaid ibn Umair, dia berkata : “ Seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selama 7 hari, sedang bagi seorang munafik selama 40 pagi “.(Al-Hawi li al-Fatawa li as-Suyuthi 3/178, lihat Kebiasaan Orang-Orang NU (derajat hadits hasan)
Dali kelima, sabda Nabi Saw :
مَا الْمَيِّتُ فيِ قَبْرِهِ اِلَّا شِبْهُ الْغَرِيْقِ الْمُتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُدَعْوَةً مِنْ اَبٍ اَوْ اُمٍّ اَوْوَلَدٍ اَوْصَدِيْقٍ ثِقَةٍ, فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا وَاِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيُدْخِلُ عَلَى اَهْلِ الْقُبُوْرِ مِنْ دُعَاءِ اَهْلِ الدُّنْيَا
اَمْثَالَ الْجِبَالِ وَاِنَّ هَدِيَّةَ الْأَحْيَاءِ اِلَى الْأَمْوَاتِ اَلْإِسْتِغْفَارُلهَمُ ْوَالصَّدَقَةُ عَلَيْهِمْ
“ Seseorang di dalam kuburannya seperti orang tenggelam yang membutuhkan pertolongan. Dia menanti-nanti doa dari ayahnya, ibunya, anak-anaknya, dan kawan-kawannya yang terpercaya. Apabila doa itu sampai kepadanya, baginya itu lebih dicintainya daripada dunia beserta semua isinya. Dan sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan doa penghuni dunia untuk ahli kubur sebesar gunung-gunung. Adapun hadiah dari orang yang masih hidup kepada orang telah mati adalah memohonkan ampun dan bersedekah atas nama mereka “.(Sunan ad-Dailami (derajat hadits hasan)
Wahai saudaraku yang meyakini dahsyatnya siksa kubur, lihatlah ratapan dan jeritan mereka kepada kita. Boleh jadi mereka yang berteriak, memohon ini adalah orangtua kita, kakek dan nenek kita, anak-anak kita, saudara-saudara kita, bahkan tetangga-tetangga kita. Inikah balasan kita untuk orang-orang yang selama hidupnya selalu memberikan kasih dan sayangnya kepada kita ? Inikah balasan kita terhadap mereka yang selalu membantu kita di -kala mendapatkan kesulitan hidup ? Apakah dengan membiarkan mereka tersiksa dan men- derita seperti itu kita berani mengklaim dengan mengatakan “ umat terbaik ? “, kelompok dan mazhab terbaik ? “. Janganlah kita mengikuti kebutaan hati dan hancurnya kemuliaan akhlak sebagian besar saudara-saudara kita dari orang-orang yang dangkal dalam memahami syari’at ini (WAHABI / PERSIS). Sebagian ajaran mereka mengajarkan kepada kita agar seorang anak berbuat zalim dan biadab kepada orangtua dan guru-gurunya. Mereka hanya mengajarkan bagaimana caranya melupakan orang yang kita sayangi dengan waktu yang relative cepat. Apabila memang itu yang mereka inginkan, kita harus mengatakan “ Anda telah sukses besar dan berhasil “.
Sering pula kita mendengar orang-orang Salafi wahabi (PERSIS) mendiskreditkan orang-orang NU yang notebene pengikut mazhab Imam Syafi’i dengan mengatakan, bahwa Imam Syafi’i sendiri berkata : “ Bahwa sedekah orang hidup, baik bacaan al-Quran, dzikir ataupun materi kepada orang mati tidak akan sampai “. Semua itu hanyalah pengelabuan atas nama Imam Syafi’i. Padahal Imam Syafi’i mengatakan :
وَمَعْنَى نَفْعِهِ بِالصَّدَقَةِ أَنَّهُ يَصِيْرُ كَأَنَّهُ تَصَدَّقَ قَالَ الشَّافِعيِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَوَاسِعُ فَضْلِ اللهِ أَنْ يُثِيْبَ الْمُتَصَدِّقُ أَيْضًا
“ Yang dimaksud dengan pengertian “mayat mendapat manfaat dari sedekah ” ialah : seakan-akan dia (mayat) itu sendiri yang melakukan amal tersebut. Imam Syafi’í mengatakan : “ Termasuk luasnya keutamaan Allah ialah Dia memberi pahala pula kepada orang yang bersedekah dengan mengatasnamakan mayat “ (Fathul Muín hal. 1/432)
Dapat disimpulkan dalam bab. ini bahwa semua perawi di atas mulai Nabi Saw, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Imam Thawus, Imam ad-Darimi, Imam Syafi’i dan yang mengikutinya dalam hal sedekah atas mayat, bukanlah orang Salafi Wahabi (PERSIS) tetapi datuknya orang-orang NU tulen.
Subhanallah... Allahuakbar... terima kasih pencerahanya Ustad, semoga bermanfaat...
ReplyDeleteAamiin...
begini ni...kl agama campuran...
ReplyDeleteYg menulis artikel ini, ilmunya dangkal sekali.. Semoga Allah menunjukan kebenarannya kepada org ini!
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Terima kasih atas paparannya.
ReplyDelete
ReplyDeleteقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَعَانَ عَلَى مَيِّتٍ بِقِرَائَةٍ وَذِكْرٍ اِسْتَوْجَبَ اللهُ لَهُ الْجَنَّةَ. (رواه الدارمى والنساء عن ابن عباس.)
hadist ini dalam kitab saya cek di reperesi kok gak ketemu
kla di sunan annada'i halaman betpa cetakan apa?