Bab ini secara khusus kami persembahkan kepada para penulis TIM ABI yang di dalam buku terbarunya “ SYIAH MENURUT SYIAH ” pada hal. 238-249 yang menganalisis hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ adalah hadits dhaif. Dengan panjang lebar penulis dari TIM ABI sudah mengerahkan kemampuannya dalam menjelaskan hadits tersebut. Hanya saja, para penulis TIM ABI terlalu terfokus pada kalimat “ Kitabullah wa Sunnati ” saja. Seakan-akan ingin menggantikan kalimat tersebut dengan “ Kitabullah wa ‘Itrati ”. Hal ini dapat saya pahami sebagai orang Sunni yang bermazhab NU. Mengingat TIM ABI adalah orang-orang syiah terpimpin yang akan berusaha membela mazhabnya dengan berusaha melemahkan dalil-dalil mazhab ahlussunnah. Dan supaya terlihat ada pembelaan dan perlawanan, maka dengan ini saya pun ingin berkontribusi di dalamnya.
Redaksi hadits tersebut adalah, Nabi Saw bersabda :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا: كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
“ Wahai segenap manusia, aku tinggalkan bagi kalian di mana kalian berpegang kepadanya tidak akan tersesat : yaitu kitabullah (al-Quran) dan keturunanku (yaitu) ahlul baitku ” (Sunan Turmudzi 5/662, hadits ini banyak diriwayatkan dalam kitab hadits lainnya dari berbagai jalur.)
Jawaban pertama, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya pilihan dalam bermazhab. Atau menganggap mazhab ahlul bait adalah mazhab yang paling benar dan tidak tersesat atau selain mazhab ahlul bait semuanya tersesat. Memahami hadits di atas seperti itu bertentangan dengan al-Quran, di mana Allah berfirman :
وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُمْ بِما كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“ Andaikata Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa-apa yang dahulu kamu perselisihkan ” (QS. 5 / al-Maidah : 48)
Dalam ayat ini jelas, bahwa Allah menghendaki umatnya berbeda tetapi tetap agar berlomba-lomba dalam kebaikan. Tidak ada perintah wajib untuk mengikuti mazhab ahlul bait dalam ayat ini.
Dalam ayat lain-Nya :
وَلَوْ شاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ (118) إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَالِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ
“ Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentunya Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senatiasa berselisih (pendapat). Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka, dan keputusan Tuhanmu telah tetap ” (QS. 11 / Huud : 118-119)
Dalam ayat ini pun, Allah dengan tegas menyatakan bahwa penciptaan umat yang berbeda adalah kehendak-Nya, kecuali orang-orang yang diberi rahmat saja oleh-Nya, dan hal ini adalah mutlak. Kita dan anda tidak akan mampu mengubah kehendak-Nya yang abadi ini.
Dalam ayat lain-Nya :
وَلَوْ شَآءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَآءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُوْنَ مَا لَهُمْ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيْرٍ
“ Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan mereka satu umat, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka pelindung dan penolong ” (QS. 42 / asy-Syuura : 8)
Dengan ketiga ayat tersebut gugurlah hadits yang menyatakan “ Kitabullah wa ‘itrati “ sebagai hujjah kemutlakan mazhab ahlul bait sebagai mazhab paling shahih.
Jawaban kedua, saya pun sering mendengar landasan hukum tentang kesucian para imam ahlul bait adalah hadits “Kitabullah wa ‘itrati ”, dengan penjelasan : “ Karena Kitabullah itu suci maka ‘itrati pun menjadi suci “. Hal ini tidak tepat dengan mengkhitabkan “ wau “ yang berada setelah Kitabullah dengan kalimat ‘itrati. Mengkhitabkan “ wau “ kepada kitabullah tidak dapat dikatakan sebagai qiyas mutlak. Karena qiyas harus memiliki kesamaan dalam sifat dan jenis. Sedangkan kitabullah sifatnya adalah kalam Ilahi (bukan makhluk), dan jenisnya tidak berjenis. Sedangkan ‘itrati : sifatnya adalah makhluk dan jenisnya ada lelaki dan perempuan. Jadi bagaimana hal ini bisa dipaksakan menjadi sebuah yang suci ? Sesuatu yang tidak rasional tidak bisa dipaksakan untuk menjadi rasional, dan menjadi kewajiban yang bersifat mengikat dan universal.
Jawaban ketiga, pada hal. 238 dikatakan : “ Hadits “ Kitabullah wa Sunnati ” ini adalah hadits masyhur yang seringkali didengar oleh umat Islam. Sehingga banyak yang berang- gapan bahwa hadits ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Sayangnya hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ yang sering dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadits yang tidak shahih atau dhaif “. Begitulah menurut logika Syiah-nya penulis TIM ABI dalam memulai penjelasannya. Para penulis ABI telah mengerahkan kemampuan maksimalnya untuk meyakinkan pembaca bahwa hadits yang dianggap sebagai salah satu hujjah dalam mazhab ahlussunnah ini adalah dhaif. Tentang hal ini dapat saya katakan : “ Bahwa sesuatu yang dianggap dhaif tidak berarti kurikulum dan pelakunya otomatis menjadi dhaif pula “. Misalnya : ada anggapan bahwa mazhab Syiah adalah mazhab yang shahih karena perawinya semuanya shahih. Hal ini tidak menjamin 100 % penganut syiah semuanya shahih dan maqbul. Bukankah begitu kang mas ? Jadi dalam hal ini penulis TIM ABI tidak dapat melihat sesuatu yang seharusnya mampu dicermati lebih dalam dan lebih teliti lagi.
Jawaban keempat, andaikata hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ benar-benar dhaif, maka tidak dapat dikatakan bahwa mazhab ahlussunnah pun otomatis menjadi dhaif. Sejarah dan zaman yang menjadi saksi akan eksistensi mazhab terbesar di dunia ini. Bahkan, mazhab Neo Khawawij (Salafi Wahabi Takfiri) yang menurut al-Quran dan Sunnah adalah mazhab bathil, sekarang ini menjadi shahih eksistensinya. Harus diyakini bahwa perkembangan mazhab dari zaman ke zaman merupakan rangkaian sanad yang tidak bisa diingkari. Apakah mazhab mereka bathil atau tidak, tetapi eksistensi mereka adalah shahih adanya.
Jawaban kelima, pada hal. 239 para penulis ABI menuliskan bahwa hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ yang diriwayatkan secara mursal terdapat dalam kitab al-Muwatha dan selain- nya. Tetapi hadits ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad, Bahkan dikatakan pula “ setidaknya ada dua perawi yang tidak disebutkan antara Malik bin Anas sebagai perawi dan Rasulullah Saw. Berdasarkan hadits ini maka dapat dinyatakan bahwa hadits ini tertolak karena terputus sanadnya “. Ada yang luput dari perhatian dan penelitian para penulis TIM ABI tentang perawi yang dianggap terputus. Misalnya bagaimana cara Imam Malik meriwayatkan hadits dan bagaimana pendapat para ulama lainnya tentang beliau.
Ibnu Abi Hatim berkata : “ Malik adalah orang pertama yang membersihkan ulama-ulama fiqh di Madinah dari berbagai celaan. Malik juga menunjukkan orang-orang yang tidak bisa dipercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits shahih dan tidak mau membicarakan hadits kecuali hadits itu diriwayatkan dari perawi yang bisa dipercaya, mempunyai ilmu fiqh, pandai ilmu agama, mulia dan taat ber- ibadah “ (Tsiqah, Ibnu Abu Hatim 7/459)
Abdullah bin Ahmad berkata : “ Aku bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal), “ Di antara sahabat-sahabat Az-Zuhri, siapakah yang paling shahih haditsnya ? “ Ayahku menjawab : “ Malik lebih shahih dalam semua hal “ (Tarikh al-Islam 11/320)
Dari Sufyan bin Uyainah, dia berkata : “ Tidak ada orang yang lebih keras dalam mengkritik perawi-perawi hadits dari Malik, dan dia adalah orang yang paling mengetahui tentang syarat-syarat perawi “ (Tahdzib al-Kamal 27/111)
An-Nawawi berkata : “ Al-Imam Abu al-Qasim Abdul Malik bin Zaid bin Yasin ad-Daulaqi dalam kitab ar-Risalah al-Mushannafah fi Bayani Subulissunnah al-Musyarrafah berkata : “ Malik mengambil hadits dari 900 orang guru, yaitu 300 orang dari generasi Tabi’in dan 600 orang dari generasi Tabi’ Tabi’in. Guru-guru Malik adalah orang-orang yang dia pilih, dan pilihan Malik didasarkan pada ketaatannya beragama, ilmu fiqihnya, cara meriwa- yatkan hadits, syarat-syarat meriwayatkan dan mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Malik meninggalkan perawi yang banyak mempunyai hutang dan suka men- damaikan riwayat-riwayat mereka yang tidak dikenal “. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat 2/78-79)
Malik berkata : “ Aku telah memperlihatkan kitabku ini kepada 70 ulama fiqih yang ada di Madinah, mereka semua memberikan masukan dan menyetujuinya (watha’a), maka aku menamakannya dengan al-Muwatha “.
Penilaian Imam Malik sebagai Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil adalah bentuk dari ijtihadnya. Sedangkan dalam kaidah ushul Fiqih dikatakan :
اَلْإِجْتِهَدُ لَا يُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَدِ
“ Ijtihad itu tidak bisa digugurkan dengan ijtihad (lain) ”
Kaidah ushul fiqih ini pun dibenarkan, bahkan dikuatkan oleh hadits di mana Nabi Saw bersabda :
إِنَّ الْوَالِيَ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ الْحُكْمَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“ Sesungguhnya seorang wali (hakim) di mana ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan di mana ijtihadnya salah maka ia mendapatkan satu pahala ”. (Shahih Bukhari 9 / 108, Sunan Nasai 8 / 223, Jami’ al-Ma’mur 11 / 328, Fadhail Ash-Shahabah 1 / 180, Musnad Ahmad 11 / 367Mu’jam Abu Ya’la 1 / 194, Syarh Musykil al-Atsar 8 / 264, al- Majalisah al-Jawahir al-“ilmi 8 / 186, al-Mu’jam al-Ausath 9 / 15 Sunan Ad-Daruquthni 5 / 364, Al-Ibanah al-Kabir 2 / 599, Al-I’tiqad 1 / 234, Syu’bul Iman 10 / 34, Ma’rifah As-Sunan wal Atsar 1 / 209 (derjat hadits shahih/masyhur)
Karena ijtihad yang dilakukan oleh seorang hakim atau orang yang ahli di bidangnya merupakan perwujudan rahmat Allah untuk umat ini. Jadi rahmat Allah itu tidak bisa di-dhaif-kan apalagi disalahkan oleh akal pikiran kita. Begitulah cara ulama ahlussunnah mazhab NU dalam membangun sebuah hujjah.
Jawaban ketiga, pada hal. 241 dikatakan : “ jika meriwayatkan hadits dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah Saw atau Qala Rasulullah Saw tanpa menyebutkan sanadnya maka hadits tersebut adalah shahih. Pernyataan ini aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama. Sekali lagi hadits itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya.
Sebetulnya tidak ada yang aneh, sebenarnya hal ini terjadi karena ketidakpahaman para penulis TIM ABI dalam memahami kerangka standar hadits shahih yang beragam dalam mazhab ahlussunnah. Bahwa setiap mujtahid memiliki standar shahih-nya masing-masing dan inilah yang harus kita imani dan amini. Kemudian dalam pernyataan anda “ karena kemungkinan dhaifnya ”, kemungkinan itu harus dibuktikan dengan data yang akurat, bukan sekedar melepaskan sanggahan tanpa bukti. Kemungkinan dhaif itu bukan berarti mutlak dhaif, karena bisa saja ia menjadi hasan atau shahih melalui jalur periwayatan atau peng- akuan ulama lainnya.
Jawaban keempat, masih pada hal. 241 karena penulis TIM ABI sepertinya belum puas maka mereka mengatakan : “ Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabi’in yang bisa jadi dhaif atau tsiqat. Jika tabi’in itu tsiqat (terpercaya) pun, dia kemungkinan men- dengar dari tabi’in lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqah dan seterusnya. Kemungkinan seperti itu tidak akan bertepi ”. Tentang hal ini saya akan bagi menjadi 3 bagian :
Dalam kalimat “ Karena bisa jadi perawi yang terputus itu ” menunjukkan bahwa penulis TIM ABI dalam hal ini telah menjadikan sesuatu yang zhanni (tidak pasti) dipaksakan dan digiring menjadi sesuatu yang qath’i (pasti) dalam logika syiahnya. Hal ini merupakan sebuah kesalahan yang fatal dan merupakan pelanggaran kode etik dalam mengungkap sebuah kebenaran.
Dalam kalimat “ yang bisa jadi dhaif atau tsiqat ”, dalam hal ini jelas dapat kita keta- hui bersama, bahwa penulis TIM ABI hanya menduga-duga saja tanpa menyertakan bukti otentiknya. Sudah barangtentu, persangkaan seperti ini adalah bathil dan ter- tolak.
Dalam kalimat “ dia kemungkinan mendengar dari tabi’in lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqah dan seterusnya. Kemungkinan seperti itu tidak akan bertepi ”, sekali lagi penulis TIM ABI pun gamang dan tidak memiliki kepastian dalam beragumentasi dengan menggunakan kalimat “ kemungkinan “. Kalo yang namanya kemungkinan itu bisa A bisa B bisa C bisa juga D. Dan salah satu jalan untuk mendapatkan sunnah Nabi-Nya, para perawi syariat mendapatkannya dengan jalan mendengarkan, mem- baca atau menuliskannya. Jadi pasti bertepi bukan tidak bertepi.
Jawaban kelima, masih dalam hal.242, untuk meyakinkan muslim syiah bahwa hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ dhaif, maka penulis TIM ABI kembali melancarkan serangannya dengan mengatakan : “ Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam “ Ilm Mushthalah al-Hadits “ oleh A. Qadir Haasan h. 109 dengan mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak bolehnya menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Ibnu Hajar berkata : “ Boleh jadi yang gugur itu sahabat, tetapi boleh jadi juga seorang tabi’in. Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabi’in, boleh jadi tabi’in tersebut seorang yang lemah atau terpercaya. Kalau kita andaikan dia seorang yang terpercaya, maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang sahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabi’in lain “.
Dalam perkataan Imam Ibnu Hajar tersebut terdapat kata-kata “ boleh jadi “ yang diulang sebanyak empat kali, yang mana kata-kata tersebut bersifat zhanni (tidak pasti). Hal ini menunjukkan kehati-hatian beliau dalam menggunakan hadits mursal, bukan menolak secara mutlak.
Dalam hal ini, penulis TIM ABI memiliki kelemahan dan celah yang besar dengan tidak memberikan definisi hadits mursal dan bagaimana hukum hadits mursal tersebut menurut para imam mazhab ahlussunnah. Oleh karena itu, “ barangkali “ penulis TIM ABI kelupaan atau memang tidak tahu, biarlah saya kutipkan untuk kalian semua.
Al-Muhadits al-Musnid Muhammad Alawi al-Maliki berkata : “ Ada pun pengertian hadits mursal menurut etimologi ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “ Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda …”. (Ilmu Ushul Hadits hal. 100)
Mengenai hukum hadits mursal ini para ulama berselisih pendapat, namun terdapat tiga pendapat yang populer, yaitu :
Hadits mursal bisa dijadikan hujjah secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, dan segolongan ulama ahli fiqh, ahli hadits, dan ahli ushul. Bahkan ada yang menilainya lebih kuat daripada hadits musnad. Mereka mengata- kan : “ Barangsiapa menggunakan hadits musnad, maka ia akan diubah olehnya, dan barangsiapa yang menggunakan hadits mursal maka ia akan dijamin olehnya “.
Hadits mursal adalah dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Ini adalah pendapat mayo- ritas ahli hadits.
Hadits mursal harus dilihat lebih dahulu, jika dikuatkan oleh hadits lainnya, maka ia dapat diterima dengan syarat yang mengeluarkan hadits tersebut adalah tabi’in besar, terpercaya, dan riwayatnya tidak berbeda atau menyalahi dengan riwayat orang-orang hafizh yang terpercaya, serta harus sejalan dengan perkataan sahabat, atau kebanyakan fatwa ulama. Jika satu syarat saja dari syarat-syarat tersebut tidak terpe- nuhi, maka hadits mursal itu tidak dapat diterima.
Hadits Musnad adalah : hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, yaitu Nabi Saw. Hadits musnad memiliki dua syarat : marfu’ dan muttasil. Ditinjau dari segi musnadnya, hadits-hadits yang termasuk dalam kategori hadits musnad adalah hadits maqhtu’ dan hadits mauquf, sedang ditinjau dari dari kemuttasilan sanadnya ialah : hadits mursal, muntaqhi, mu’dhal dan mu’allaq Demikian ini pendapat yang paling popular dikalangan ahli hadits. Ilmu Ushul Hadits Hal. 74
Jadi jelaslah, bahwa hadits mursal ini, dapat dijadikan hujjah secara mutlak menurut standar hadits shahih ahlussunnah dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Sedangkan perbedaan pendapat dalam wilayah ijtihadiah bagi para mujtahid merupa- kan rahmat bagi umat ini. Alhamdulillah
Jawaban keenam, hadits pendukung “ Kitabullah wa Sunnati “ diantaranya :
Nabi Saw bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، فَتَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“ Sesungguhnya kelak siapa di antara kalian yang hidup lama sepeninggalku, maka diwajib- kan kalian selalu berpegang kepada sunnahku dan sunnahnya al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan geraham (kalian) “ (Shahih Ibnu Hibban 1 / 178, Sunan Abu Dawud 4 / 200, Sunan at-Turmudzi 5 / 44, Sunan Ibnu Majah 1 / 15, Sunan Darimi 1 / 228, Musnad Ahmad 28 / 373, 28 / 375, Musnad al-Bazzar 10 / 137, Musnad Asy-Syamiyyin 1 / 254, 1 / 402, 1 / 446, 2 / 197, 2 / 298, Musnad al-Mustakhraji 1 / 35, 1 / 47, As-Sunan al-Kabir 10 / 195, Al-Mustadrak 1 / 174 – 177, al-Mu’jam al-Ausath 1 / 28, al-Mu’jamAl-Kabir 18 / 245 – 249, Muwarid azh-Zhaman Ilaa Zawaid, Ibnu Hibban 1 / 56, Jami’ al-Bayan, Ibnul Barr 2 / 1164, 2 / 1168, SyarhAs-Sunnan Al-Baghawi 1 / 205, Ma’rifah wal Atsar 1 / 183 (derajat hadits masyhur/mutawatir)
Nabi Saw bersabda :
اللَّهُمَّ ارْحَمْ خُلَفَاءَنَا ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا خُلَفَاؤُكُمْ؟ قَالَ: الَّذِينَ يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِي، يَرْوُونَ أَحَادِيثِي وَسُنَّتِي وَيُعَلِّمُونَهَا النَّاسَ
“ Ya Allah rahmatilah khalifahku “ (Ibnu Abbas) bertanya : “ Ya Rasulullah siapakah khalifah anda ? “ Nabi menjawab : “ Yaitu mereka yang memberikan (menyampaikan ilmu) sesudahku), meriwayatkan hadits-haditsku dan sunnah-sunnahku serta mengajarkannya kepada masyarakat “ (Al-Mu’jam al-Ausath 6 / 77, Burnamaj at-Tajibi 1 / 15, Ath-Thayuriyah 1 / 239, Tartibul Amali al-Khamisiyah. Asy-Syajari 1 / 25 (derajat hadits hasan)
Nabi Saw bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“ Semoga Allah mencemerlangkan wajah orang yang mendengar hadits dariku, lalu ia sampaikan seperti apa yang didengarnya. Tidak sedikit orang yang menerima lebih paham daripada orang yang menerimanya, dan tidak sedikit orang yang mendengar tidak lebih paham daripada yang menerimanya “ (Sunan Abu Dawud 3 / 322, Sunan Turmudzi 5 / 33, Sunan Ibnu Majah 1 / 84-86, Burnamaj at-Tajibi 1 / 10-13, Shahih Ibnu Hibban 1 / 268, al-Kifayah fil ‘Ilmi Ar-Ru’yah, al-Khatib 1 / 200,1 / 190, Jami’ al-Bayan 1 / 761, Ma’rifah As-Sunan 1 / 109, 1 / 132 (derajat hadits shahih)
Nabi Saw bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ، وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ، وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ
“ Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga, dan sesungguhnya para malaikat-Nya meletakkan sayapnya bagi dirinya karena ridha dalam pencarian ilmunya, dan sesungguhnya pencari ilmu dimohonkan ampun oleh penghuni langit dan bumi, termasuk pula semut di dalam liangnya dan apa yang terdapat di dalam lautan “ (Sunan Abi Dawud 3 / 317, Sunan Turmudzi 5 / 48, Musnad Abi Ibnu Syaibah 1 / 55, Musnad Ahmad 14 / 66, 36 / 46, Musnad Ahmad Makhrajan 14 / 66, 36 / 45, Sunan Darimi 1 / 361 (derajat hadits shahih)
Dalam kalimat “ Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga ”, apabila orang yang meniti jalan untuk mencari ilmu saja Allah mudahkan jalannya menuju surga, lalu bagaimana dengan para mujtahid yang sudah menyiapkan ilmu-Nya bagi para peniti jalan tersebut ? Apa iya masuk neraka kang mas ?
Nabi Saw bersabda :
مَنْ تَعَلَّمَ أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِنْ أَمْرِ دِينِهِ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي زُمْرَةِ الْفُقَهَاءِ وَالْعُلَمَاءِ
“ Barangsiapa yang mengajarkan 40 hadits dari sebagian agamanya akan dibangkitkan dia bersama para ahli fiqih dan ulama “ (Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhilah 1 / 197 (derajat hadits shahih)
Apabila para mubaligh syiah mengajarkan 40 hadits dari sebagian agamanya, maka tanpa disadari, sebenarnya sudah mengamalkan pula hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ yang dianggap dhaif tadi.
Kesepuluh, pada hal. 242-249 penulis TIM ABI dengan berusaha keras kembali ingin membuktikan kebenaran hujjahnya tentang dhaif-nya salah satu perawi hadits “ Kitabullah wa Sunnati “. Sebenarnya hal ini telah dijawab mulai point ke-1 sampai ke-9. Akan tetapi bisa dianggap saya tidak mampu untuk meluruskan pemahaman yang keliru dan berat sebelah ini, maka saya akan kembali menjelaskannya sebagai berikut :
Dikatakan oleh penulis TIM ABI sebagai berikut : “ Telah dinyatakan sebelumnya bahwa terdapat empat jalur sanad hadits “ Kitabullah wa Sunnati “, yaitu :
Sanad Ibnu Abbas r.a terdapat dalam kitab al-Mustadrak karya al-Hakim, as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi. Perawi yang dipermasalahkan adalah : Abu Uwais dan ini menurut pendapat : Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu abi Lalkaiy, an-Nasa’i, dan Ibnu Hajar al-Asqalani.
Sanad Abu Hurairah r.a terdapat dalam kitab al-Mustadrak, al-Hakim, as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, Sunan ad-Daruquthni, al-Jami ash-Shagir, as-Suyuthi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, al-Khatib al-Baghdadi, at-Tahmid, Ibnu Abdil Barr, dan al-Ihkam, Ibnu Hazm. Perawi yang dipermasalahkan adalah : Shalih bin Musa al-Thalhi dan ini menurut pendapat : al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Abu Nu’aim.
Sanad ‘Amr bin ‘Auf r.a terdapat dalam kitab at-Tahmid lima fi al-Muwatha, Imam Malik, al-Ma’ani wa al-Asaanid, Ibnu Abdil Barr. Perawi yang dipermasalahkan adalah : Katsir bin Abdullah dan ini menurut pendapat : Imam Syafi’i, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, ad-Daruquthni, Abu Hatim, an-Nasai, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Hibban, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, Ibnu Adi, dan Ibnu al-Jauzi al-Baghdadi.
Sanad Abu Sa’id al-Khudri r.a terdapat dalam kitab al-Faqih mutafaqqih, al-‘Ilma ila Ma’rifah Ushul al-Riwayah wa Taqyid al-Sima, karya Qadhi bin Iyadh.Perawi yang dipermasalahkan adalah : Saif bin Umar at-Tamimi dan ini menurut pendapat : adz-Dzahabi, Ibnu al-Jauzi, Ibnu Hibban, Ibnu Adi dan Yahya bin Ma’in.
Kelompok pertama, yaitu perawi yang dipermasalahkan adalah : Abu Uwais dan ini menurut pendapat : Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Abi Lalkaiy, an-Nasa’i, dan Ibnu Hajar al-Asqalani yang akan berhadapan dengan al-Hakim dan al-Baihaqi. Dengan ini saya sertakan kelebihan dan keutamaan al-Hakim dan al-Baihaqi menurut para ulama sbb :
Abu ath-Thahir as-Salafi berkata : “ aku telah mendengar para syaikh kami berkata : “ Abu Bakar Ibnu Ishaq dan Abu al-Walid an-Naisaburi sering bertandang menemui Abu Abdillah al-Hakim untuk menanyakan tentang Jahr wa at-Ta’dil, illat (cacat) hadits dan menentukan hadits yang shahih dari yang tidak shahih “ (Biografi Ulama Salaf hal. 657)
Adz-Dzahabi berkata : “ Abu Abdillah al-Hakim adalah seorang imam yang Hafizh, kritikus hadits yang dalam ilmunya serta syaikhnya para ulama ahli hadits. (Ibid 17/163 lihat Biografi Ulama Salaf hal. 658). Barangsiapa yang merenungkan karya-karya Imam al-Hakim, pembahasannya ketika memberikan ‘imla dan analisa pandangannya mengenai jalur-jalur periwayatan hadits, maka ia akan mengakui kecerdasan dan kelebihan yang dimiliki Imam al-Hakim. Sesungguhnya Imam al-Hakim mengikuti jejak para pendahulunya di mana para ulama setelahnya akan kerepotan meng- ikuti jerih payah sebagaimana yang dilakukannya. Dia hidup dengan terpuji dan tidak ada seorang pun setelahnya yang menyamainya “. (Tadzkirah al-Huffazh 3/1043-1044, Siyar A’lam an-Nubala 17/171 lihat Biografi Ulama Salaf hal. 658)
Adz-Dzahabi berkata : “ Jika al-Baihaqi menginginkan madzahab sendiri dengan jalan berijtihad, maka ia mampu untuk itu karena ilmunya yang luas dan pengetahuannya yang dalam mengenai masalah-masalah khilaf. Oleh karena itulah, kamu lihat ia membela penda- pat ulama yang didukung oleh hadits shahih “
At-Taj as-Subki juga mengatakan : “ Imam al-Baihaqi adalah salah satu imam kaum muslimin, penunjuk kebenaran bagi kaum mukminin dan dai’ yang mengajak kepada tali Allah yang kukuh. Ia adalah seorang al-Hafizh yang besar, ahli ushul yang cerdas, zuhud, wira’i, puas dengan Allah dan membela mazhab, baik dasar-dasar maupun cabang-cabang- nya. Ia adalah gunung dari gunung-gunung ilmu “
Dalam hal ini, dapat kita ketahui bersama, bahwa ternyata kedua imam besar ini adalah seorang mujtahid. Yang mana telah diterangkan sebelumnya, bahwa ijtihad para mujtahid tidak dapat digugurkan oleh ijthad lainnya. Jadi berbesar hati dalam menerima ijthad para mujtahid adalah rahmat-Nya, dan kita tidak perlu memaksakan orang lain untuk mengklaim kebenaran satu mujtahid dengan membuang ijtihad mujtahid lainnya.
Kelompok kedua, yaitu perawi yang dipermasalahkan adalah : Shalih bin Musa al-Thalhi dan ini menurut pendapat : al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Abu Nu’aim yang akan berhadapan dengan al-Hakim, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, as-Suyuthi, al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Hazm.
Tentang Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi sudah disampaikan walaupun secara ringkas. Sekarang kita lihat bagaimana pendapat ulama tentang Imam ad-Daruquthni.
Adz-Dzahabi berkata : “ Ad-Daruquthni adalah seorang imam, al-Hafizh, ahli tajwid, syaikh al-Islam dan simbol para ulama “
Abu Bakar al-Khatib berkata : “ Ad-Daruquthni adalah imam dan ulama besar yang tiada bandingannya pada masanya, kepadanyalah berhenti ilmu atsar, pengetahuan illat-illat hadits dan nama-nama para perawi hadits “
Ash-Shuwari mengatakan : “ Aku mendengar al-Hafizh Abdul Ghani mengatakan : “ Manusia yang paling bagus pembicaraannya mengenai hadits Rasulullah Saw adalah tiga orang, yaitu : Ibnu al-Mandini pada masanya, Musa bin harus (Ibnu al-Hammal) pada masa- nya, dan ad-Daruquthni pada masanya “
At-Taj as-Subki mengatakan : “ Imam yang agung, Abu al-Hasan ad-Daruquthni, salah seorang penduduk Baghdad, al-Hafizh, manusia yang terkenal namanya, pemilik banyak karya, imam di zamannya, pemimpin para ulama pada masanya dan syaikh ahli hadits “22
Kelompok ketiga, yaitu perawi yang dipermasalahkan adalah : Katsir bin Abdullah dan ini menurut pendapat : Imam Syafi’i, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, ad-Daruquthni, Abu Hatim, an-Nasai, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Hibban, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, Ibnu Adi, dan Ibnu al-Jauzi al-Baghdadi yang akan berhadapan dengan Imam Malik dan al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Tentang Imam Malik sudah diceritakan pada awal pembahasan. Sedangkan tanggapan para ulama tentang al-Hafizh Ibnu Abdi Barr adalah sbb :
Al-Humaidi mengatakan : “ Abu Umar bin Abdil Barr adalah seorang ahli fikih, al-Hafizh, ulama yang banyak meriwayatkan hadits, mengetahui macam-macam bacaan al-Quran dan khilaf para ulama, mengetahui ilmu hadits beserta perawinya dan menguasai ilmu sejarah. Dalam bidang fikih ia condong ke mazhab asy-Syafi’i “
Abu al-Qasim bin Basykawal mengatakan : “ Ibnu Abdil Barr adalah imam tertinggi pada masanya “
Adz-Dzahabi mengatakan : ” umurnya sangat panjang dan sanad yang ia punyai sangat banyak. Murid-murid banyak berdatangan kepadanya. Kegiatannya adalah mengumpulkan ilmu, menyusun karya, meneliti mana sanad yang tsiqah dan mana yang dhaif. Kitab-kitab karyanya sangat banyak dan keilmuannya telah diakui oleh para ulama pada masa itu “25
Dari keterangan ini, dapat kita yakini bahwa para ulama yang mengkritik atau yang membela seorang perawi semuanya adalah para mujtahid. Setiap perkataan orang dapat diambil dan ditinggalkan kecuali sabda Rasulullah Saw. Namun, jika seorang imam mujtahid ada yang salah dalam ijtihadnya, maka kita tidak boleh melupakan kebaikan-kebaikannya atau tidak mau mengakui pengetahuan-pengetahuan yang telah dicapainya. Hal ini merupa- kan sesuatu yang dibenarkan oleh Nabi Saw mengingat mereka semua adalah para mujtahid.
Imam Syafi’i berkata : Setiap mujtahid mempunyai pengetahuan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh ilmu zahir yang dicapainya. Jika qiyas hanya menghasilkan pengeta- huan yang bersifat zahir bukan ilmu secara mendetail, maka wajar saja jika para mujtahid berbeda pendapat dalam menghukumi permasalahan yang sama. Hasil qiyas yang dilakukan oleh seorang mujtahid terkadang berbeda dengan hasil qiyas yang dilakukan mujtahid lain, meski pun dalam pengqiyasan salah seorang mujtahid tersebut terdapat kekurangan, seperti halnya seorang qadhi yang tidak dianggap berdosa jika menolak persaksian seseorang, meski qadhi yang lain menerimanya. Sebab ia tidak melihat yang dapat dilihat qadhi lain.
Jika demikian keadaan para mujtahid, maka satu hal yang wajar jika mereka berbeda pendapat dalam menghukumi permasalahan yang sama sebagaimana telah kami terangkan. Sebab, masing-masing mujtahid telah melaksanakan kewajibannya dan mengambil sesuatu yang merupakan akhir dari usaha yang dilakukannya. Oleh sebab itu, meski pengetahuan yang diperoleh melalui jalan qiyas melahirkan jenis pengetahuan seperti ini, namun hasil qiyas itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh diamalkan, bahkan dianjurkan. Diriwayatkan dari Amr bin Ash r.a bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“ Jika seorang hakim memutuskan hukum, dan ia berijtihad (dalam menghukuminya) kemudiian hukumnya itu benar, maka ia mendapat dua ganjaran, dan apabila salah, maka ia mendapatkan satu ganjaran ”
Yang saya sayangkan, para penulis TIM ABI hanya terfokus pada hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ saja. Mereka tidak mau meneliti hadits-hadits lainnya misalnya hadits yang berbunyi “ فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي ” hadits ini mewajibkan sunnah Nabi Saw dan Khulafa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk setelah Nabi Saw, bukan hanya ‘itrati saja. Ataukah para penulis TIM ABI takut ketahuan keshahihan atau kemutawatiran hadits tersebut ?
Mari kita lihat hadits di bawah ini :
وَقَالَ أَيْضًا: وَفيِ "اَلطَّيُورِيَاتِ" بِسَنَدِ إِلَى جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِعَليٍّ بْنِ أَبيِ طَالِبٍ [- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -] : «نسمعكَ تَقُولُ فيِ الْخُطْبَةِ: اَللَّهُمَّ أَصْلِحْنَا بِمَا أَصْلَحْتَ بِهِ الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِيْنَ، فَمَنْ هُمْ؟ فَاغْرَوْرَقَتْ عَيْنَاهُ ، فَقَالَ: هُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، إِمَامَا الْهُدَى، وَشَيْخَا الْإِسْلَامِ ، وَرَجُلاً قُرَيْشٍ، وَالْمُقْتَدَى بِهِمَا بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَنِ اقْتَدَى بِهِمَا عُصْمٌ، وَمَنِ اتَّبَعَ آثَارِهِمَا هُدِيَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ، وَمَنْ تَمَسَّكَ بِهِمَا فَهُوَ مِنْ حِزْبِ اللهِ
“ dan dikatakan dalam riwayat lainnya : di dalam “ ath-Thayuriyah ” dengan sanad dari Jafar bin Muhammad , dari ayahnya berkata : “ bertanya seorang pemuda kepada Ali bin Abi Thalib r.a : aku mendengar engkau berdoa di dalam khutbah “ Ya Allah selamatkanlah kami semua seperti Engkau menyelamatkan al-Khulafa ar-Rasydin yang telah mendapatkan petunjuk “, Lelaki ini bertanya : “ Siapakah mereka ? “ Maka bercucuran air mata Ali bin Abi Thalib, maka beliau berkata : “ Mereka adalah kekasih kami (yaitu) Abu Bakar dan Umar (mereka) adalah imamnya hidayah dan pembesar Islam dan lelaki dari Quraisy, dan ikutilah petunjuk mereka berdua sesudah Rasulullah Saw, barangsiapa yang mengikuti petunjuk mereka berdua tercegah dari kesalahan, dan barangsiapa yang mentaati jejak mereka berdua akan membawa kepada jalan yang benar, dan barangsiapa yang memegang teguh keduanya maka mereka adalah sebagian dari tentara Allah “ (Ath-Thayuriyah 2/378, 4/1375 (derajat hadits jayyid)
Jelaslah, imam Ali r.a sendiri mengakui keagungan dan kemuliaan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar r.a, bahkan mereka memerintahkan bagi seluruh kaum muslimin untuk mentaati dan mengikuti petunjuk mereka berdua, inklusif termasuk muslim syiah di dalamnya. Allahu Akbar wa lillaahilhamdu
Dalam riwayat lainnya dikatakan :
نا مَسْرُوقُ بْنُ الضَّحَّاكِ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ يَذْكُرُ عَنْ أَبِيهِ: قَالَ فَتًى مِنْ بَنِي هَاشِمٍ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ حِينَ انْصَرَفَ: " سَمِعْتُكَ تَخْطُبُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْجُمُعَةِ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ أَصْلِحْنَا بِمَا أَصْلَحْتَ بِهِ الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ» ، فَمَنْ هُمْ؟ " قَالَ: فَاغْرَوْرَقَتْ عَيْنَاهُ، يَعْنِي ثُمَّ انْهَمَلَتْ عَلَى لِحْيَتِهِ، ثُمَّ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، إِمَامَا الْهُدَى، وَشَيْخَا الْإِسْلَامِ، وَالْمُقْتَدَى بِهِمَا بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنِ اتَّبَعَهُمَا هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ، وَمَنِ اقْتَدَى بِهِمَا رَشَدَ، وَمَنْ تَمَسَّكَ بِهِمَا فَهُوَ مِنْ حِزْبِ اللَّهِ، وَحِزْبُ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ»
“ Mengabarkan kepada kami Masruq bin Dhahak maula Rasulullah Saw, berkata : aku mendengar Abu Jafar Muhammad bin Ali bin Husain mengingatkan dari ayahnya (Ali bin Abi Thalib r.a) berkata : “ bertanya seorang pemuda dari Bani Hasyim kepada Ali bin Abi Thalib r.a : aku mendengar engkau (berdoa) di dalam khutbahmu Ya Amirul Mukminin dalam shalat Jum’at : “ Ya Allah selamatkanlah kami semua seperti Engkau menyelamatkan al-Khulafa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk “, Lelaki ini bertanya : “ Siapakah mereka ? “ Maka bercucuran air mata Ali bin Abi Thalib, maka beliau berkata : “ Mereka adalah kekasih kami (yaitu) Abu Bakar dan Umar (mereka) adalah imamnya hidayah dan pembesar Islam dan lelaki dari Quraisy, dan ikutilah petunjuk mereka berdua sesudah Rasulullah Saw, barangsiapa yang mengikuti petunjuk mereka berdua tercegah dari kesalahan, dan barang- siapa yang mentaati jejak mereka berdua akan membawa kepada jalan yang benar, dan barangsiapa yang memegang teguh keduanya maka mereka adalah sebagian dari tentara Allah, dan tentara Allah adalah orang-orang yang beruntung “ (Syarh Ushul al-I’tiqad ahlussunnah wal Jama’ah 7/1396 (derajat hadits jayyid)
Awalnya saya tertarik untuk membaca tulisan anda... tetapi baru alinea 1 hasrat saya langsung hilang setelah anda menyebut anda seorang sunni bermazhab NU. Baru denger aja ada mazhab NU... berarti nambah lagi jumlah mazhab, dan pastinya mazhab NU hanya ada di kawasan Asia tenggara. karena di jazirah Arab atau di belahan dunia lainnya pasti tidak mengetahui adanya mazhab NU.
ReplyDeleteLebih kuat wa 'itrati dibanding wa sunnati secara penilaian riwayat perawi hadithnya.
ReplyDeleteNU memang bukan madhab, kalau ga ada persatuan seperti pemikiran NU, mau ngikut persatuan pemikiran ekstrim kan ngeri.