Monday 13 July 2015

Bagaimanakah Bila Shalat Jumat Berbarengan Dengan Hari raya ?

Di dalam kitab al-Fiqh ‘ala a-madzahib al khamsah karya Muhammad Jawad Mughniyah dalam bab. Shalat ‘Idain dikatakan : Bahwa para ulama berbeda pendapat tentang shalat Idul Fitri dan Idul Adha, apakah hukumnya wajib atau sunnah ?
Mazhab Abu Hanifah mengatakan bahwa kedua shalat hari raya itu hukumnya fardhu ‘ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jum’at. Apabila syarat-syarat tersebut atau sebagian daripadanya tidak terpenuhi, maka menurut mazhab ini kewajiban tersebut menjadi gugur. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi’i hukumnya adalah sunnah muakkadah. Sedangkan dalam mazhab Hanbali hukumnya adalah fardhu kifayah. Mazhab Syafi’i mengatakan : shalat pada kedua hari raya itu sah dikerjakan, baik sendiri ataupun berjama’ah. Sedangkan mazhab lainnya mewajibkan berjama’ah.
Di dalam kitab “ Bidayatul Mujtahid “ karya Imam Ibnu Rusyd dalam bab. ‘Idain dikatakan : Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hasan al-Bashri yang disunnatkan untuk mengerjakan shalat hari raya adalah orang yang menetap dan musafir. Juga orang-orang pedalaman dan orang-orang perempuan yang tinggal di rumah. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, shalat Jum’at dan hari raya hanya untuk orang-orang perkotaan atau perkampungan yang tidak terpencil.
Menurut penulis, perkataan Imam Abu Hanifah ini sama dengan kalimat “ Shalat Jum’at dan hari raya dikerjakan bagi mereka yang berada di kota atau di kampung yang tidak terpencil. Pada zaman sekarang ini sudah sangat sulit untuk mencari sebuah kota dan kampung yang terpencil walau pun masih terdapat beberapa saja. Hal ini dikarenakan pembangunan terus menerus dikerjakan oleh semua negara. Jadi bisa dikatakan, bahwa pada zaman ini mayoritas penduduk yang berada di kota dan di kampung harus mengadakan shalat Jumat dan shalat dua hari raya kecuali ada udzur yang diperkenankan oleh syari’at, seperti masjid dan lapang untuk mengadakan shalat tersebut hancur atau terendam air karena bencana alam dsb. Hal ini berdasarkan ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a :
لاَ جُمْعَةَ وَلاَ تَشْرِيْقَ اِلاَّ فِى مِصْرٍ جَامِعٍ
“ Shalat Jum’at dan hari Raya tidak dilaksanakan kecuali diperkampungan (perkotaan) yang menyatu (mengumpul) “  (Al-Atsar, Abu Yusuf al-Hanafi 1/60, Mushanaf Abdurrazzaq 3/169, 3/301, Musnad al-Ja’d 1/438, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 1/439, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 3/254, Ma’rifah as-Sunan, al-Baihaqi 4/321, 4/322, Syarh as-Sunnah, al-Baghawi 4/219, 4/312, (derajat hadits shahih) 
Kalimat tersebut memiliki persamaan dengan kalimat : Shalat Jum’at dan hari raya dilaksanakan diperkampungan (perkotaan) yang menyatu (mengumpul) “. Jadi bisa dikatakan apabila sebuah masjid ada yang tidak mengadakan salah satu dari kedua shalat tersebut pada hari Jumat, maka ia telah meninggalkan sebuah keutamaan dan sunnah Nabi-Nya.
Di dalam hadits dikatakan :
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“ Sesungguhnya hari ini berkumpul dua hari Raya. Siapa yang ingin diberi pahala shalat Jumat (kerjakanlah) dan kami pun akan mengerjakannya “ (Sunan Abu Dawud 1/281, Sunan Ibnu Majah 1/416, Muwatha 1/178, 2/249, Musnad asy-Syafi’i 1/77, 1/159, as-Sunan al-Ma’tsurah, asy-Syafi’i 1/238, Musnad al-Bazzar 15/386, al-Muntaqi, Ibnu Jarud 1/84, al-Mukhalashiyah 2/218, al-Mustadrak 4/196, as-Sunan al-Kabir 3/444, 3/445, Syah as-Sunan, al-Baghawi 4/222  (derajat hadits shahih)
Imam Az-Zuhri berkata :
لاَ صَلاَةَ فِطْرٍ وَلاَ أَضْحَى عَلَى مُسَافِرٍ
“ Tidak ada Shalat Idul Fitri dan Idul Adha untuk orang-orang musafir “
Jadi ucapan beliau ini sama dengan : “ Orang yang mukim disunnatkan untuk melaksanakan shalat dua hari raya “.
Ada beberapa hadits yang salah dipahami oleh sebagai para mubaligh, sehingga masyarakat awam pun mengamini ucapannya. Antara lain :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“ Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw sesungguhnya beliau bersabda : “ Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua hari raya (Hari Raya dan hari Jum’at) maka barangsiapa yang berkehendak cukuplah bagi dia sebagian dari hari Jumat (shalat hari Raya atau shalat Jum’at) dan sesungguhnya kami akan menggabungkan (kedua-duanya) “ (Sunan Abu Dawud 1 / 281 (derajat hadits shahih)
Pada kalimat “ maka barang siapa yang berkehendak cukuplah bagi sebagian dari hari Jum’at “ menurut Imam Syafi’i, tidak wajib shalat Jum’at pada hari Raya di hari Jum’at apa- bila sudah melakukan shalat hari raya adalah sebuah keringanan khusus untuk orang-orang yang tinggal di daerah terpencil yang berada dipedalaman, sedangkan shalat hari raya dan shalat Jum’at hanya dilaksanakan diperkotaan dan perkampungan yang tidak terpencil. Jadi seperti kota-kota besar yang didalamnya terdapat komplek-komplek perumahan harus mengerjakannya. Hal ini diakibatkan karena pemahaman yang dangkal dan fanatisme yang buruk dalam bermazhab.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan di dalam banyak kitab hadits :
فَمَنْ أَحَبَّ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ
“ Barangsiapa yang menyukai dari penduduk pinggiran Madinah untuk menunggu shalat Jum’at, maka tunggulah, dan barangsiapa yang ingin pulang, pulanglah “ (Muwatha 1/88, 1/178, 1/228, 2/249, Musnad asy-Syafi’i 1/77, al-Ma’tsurah, asy-Syafi’i 1/238, Musykil al-Atsar 3/192, Shahih Ibnu Hibban 8/365, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 3/445, Ma’rifah as-Sunan wal Atsar 5/84, 5/117 (derajat hadits shahih)

Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, tidak ada perubahan hukum, bagi setiap mukallaf tetap harus melaksanakan kedua-duanya, karena shalat hari raya itu sunnat hukumnya, sedangkan shalat Jum’at itu wajib hukumnya, maka tidak bisa shalat yang satu menggugurkan shalat yang lain. Masing-masing tetap berjalan sesuai dengan hukum aslinya. Sedangkan pendapat yang tidak mewajibkan shalat Jum’at dan zhuhur benar-benar telah menyimpang jauh dari hukum asal, kecuali apabila ada nash yang mendasarinya.
Bahwa imam tidak gugur kewajibannya dari shalat Jumat, karena jika imam meninggalkan shalat Jumat, maka akan menghalangi orang-orang yang diwajibkan atas mereka unutuk menunaikan shalat Jumat tersebut.
Banyak hadits yang diriwayatkan tentang kewajiban mengerjakan shalat Jum’at, di antaranya adalah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسَةٌ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ: الْمَرْأَةُ، وَالْمُسَافِرُ، وَالْعَبْدُ، وَالصَّبِيُّ، وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ
“ Ada lima macam orang yang tidak wajib shalat Jum’at atas mereka, yaitu : wanita, musafir, hamba sahaya, anak-anak dan penduduk pedalaman “ (al-Mu’jam al-Ausath, ath-Thabarani 1 / 72, (derajat hadits shahih)
Hadits ini adalah hadits mursal yang artinya bersambung kepada Rasulullah Saw. Melalui hadits ini jelaslah tidak ada alasan bagi orang-orang yang tidak mendapat pengecualian dari Nabi Saw untuk meninggalkan kewajiban shalat Jumat. Orang-orang dipedesaan atau diperkotaan yang membantu mengurusi pemotongan, dan pembagian daging kurban, kalau pun mau dilakukan harus dilakukan oleh orang-orang yang tidak diwajibkan melakukan shalat Jumat, bukan oleh orang-orang yang terkena kewajiban shalat Jumat.
Adapun riwayat yang sering dipakai untuk mengaburkan akidah masyarakat  adalah riwayat yang terdapat di dalam Sunan Abu Dawud 1/128 sebagai berikut :
قَالَ عَطَاءٌ: اِجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ، وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: «عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ» ، فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً، لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“ Berkata Atha : Telah berkumpul pada hari Jum’at dan hari Idul Fitri di zaman Ibnu Zubair, dia berkata : “ Dua hari raya telah berkumpul jadi satu di satu hari, maka disatukanlah keduanya pada satu hari itu, maka shalatlah dua raka’at di pagi hari (shalat hari raya), dan tidak menambah apapun sesudah dua raka’at itu, hingga ia shalat Ashar “ (Sunan Abu Dawud 1 / 281)

Riwayat tersebut bukanlah hadits Nabi Saw, melainkan hanya sebuah fatwa dari tabi’in. Tidak ada sebuah fatwa atau ijtihad yang bertentangan dengan hadits shahih melainkan dia harus ditolak. Sebagaimana telah dijelaskan di atas oleh para imam mazhab.  Pendapat Atha’ ini bertentangan dengan hadits dan perbuatan Nabi Saw di mana di dalam hadits dikatakan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“ Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw sesungguhnya beliau bersabda : “ Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua hari raya (Hari Raya dan hari Jum’at) maka barangsiapa yang berkehendak cukuplah bagi dia sebagian dari hari Jumat (shalat hari Raya atau shalat Jum’at) dan sesungguhnya kami akan tetap melaksanakan kedua-duanya “ (As-Sunan al-Kabir, an-Nasai 3/444 dengan tiga riwayat yang saling menguatkan (derajat hadits shahih)
Dalam kalimat kami akan melaksanakan kedua-keduanya adalah ketika Nabi Saw melaksanakannya di Madinah yang menjadi pusat pemerintahan. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Wahhab bin Kaisani adalah di zaman Ibnu Zubair yang memerintah pada tahun 64 – 73 H di mana beliau menjadi Khalifah bagi orang-orang Hijaz, Yaman, Irak dan --
Dalam kalimat kami akan melaksanakan kedua-keduanya adalah ketika Nabi Saw melaksanakannya di Madinah yang menjadi pusat pemerintahan. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Wahhab bin Kaisani adalah di zaman Ibnu Zubair yang memerintah pada tahun 64 – 73 H di mana beliau menjadi Khalifah bagi orang-orang Hijaz, Yaman, Irak dan Khurasan setelah porak-porandanya kota Makkah oleh Yazid bin Muawiyah. Bahkan ketika itu Ibnu Zubairlah yang membangun kembali masjid Makkah al-Mukaramah dari kehancurannya (Tarikh Khulafa) . Adapun hadits yang dimaksud adalah :
حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ، قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ
“ Telah diriwayatkan kepadaku dari Wahhab bin Kaisani dia berkata : “ Telah berkumpul di hari ini dua hari raya (Hari raya dan Jum’at) di zaman pemerintahan Abu Zubair, maka ia tidak keluar, melainkan sesudah tinggi matahari, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, kemudian ia shalat, dan di hari itu ia tidak mendirikan shalat Jum’at lagi buat orang-orang, maka (kata Wahhab) aku kabarkan yang demikian itu kepada Ibnu Abbas, maka ia menjawab : Perbuatan Ibnu Zubair itu telah mengikuti sunnah Rasul “ (Sunan Nasai 3/194)
Perkataan Ibnu Abbas r.a “ Perbuatan Ibnu Zubair itu telah mengikuti sunnah Rasul ” karena di dalam kalimat “melainkan sesudah tinggi matahari, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, kemudian ia shalat ”, sudah jelas, bahwa Abu Zubair khotbah dahulu lalu shalat, artinya ini adalah shalat Jumat. Karena bila beliau shalat hari raya sudah tentu shalat dulu baru khotbah, bukan khotbah kemudian shalat. Lihatlah perbedaan yang seterang matahari ini. Argumentasi ini menggugurkan pendapat orang yang kurang teliti dengan mengatakan bahwa tidak wajibnya shalat Jumat bila bertepatan dengan hari raya. Wallahu a’alam.
Begitu pula dengan kejadian di mana hari Jum’at bertepatan dengan hari Raya Idul Kurban. Di mana orang-orang yang tidak ikut membantu dalam penyembelihan, pemoto- ngan, menguliti kulit hewan kurban tidak ada alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat Jum’at. Selain orang yang berada dipedalaman dan orang-orang yang menebarkan bau tidak sedap. Sebagaimana diriwayatkan di dalam hadits sebagai berikut :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ "
“ Barangsiapa yang memakan pohon yang tidak sedap ini, yaitu bawang putih dan bakung ini, maka janganlah mendekati mesjid kami, sesungguhnya malaikat akan merasa sakit (karena baunya) seperti halnya manusia “ (Shahih Bukhari 1/170, 7/81, Shahih Muslim 1/395 (derajat hadits shahih)
Apabila bau bawang putih dan bakung saja sudah dilarang untuk mendekati masjid, apalagi seseorang yang membawa aroma bau daging tidak sedap ke dalam masjid. Hadits ini merupakan penegasan bahwa orang-orang yang tidak bergelut dan bercampur dengan aroma tidak sedap tidak ada alasan untuk tidak menghadiri shalat Jumat setelah melaksanakan shalat sunnat hari raya.

Tuesday 30 June 2015

HADITS KITABULLAH WA SUNNATI DHAIF ?

Bab ini secara khusus kami persembahkan kepada para penulis TIM ABI yang di dalam buku terbarunya “ SYIAH MENURUT SYIAH ” pada hal. 238-249 yang menganalisis hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ adalah hadits dhaif. Dengan panjang lebar penulis dari TIM ABI sudah mengerahkan kemampuannya dalam menjelaskan hadits tersebut. Hanya saja, para penulis TIM ABI terlalu terfokus pada kalimat “ Kitabullah wa Sunnati ” saja. Seakan-akan ingin menggantikan kalimat tersebut dengan “ Kitabullah wa ‘Itrati ”. Hal ini dapat saya pahami sebagai orang Sunni yang bermazhab NU. Mengingat TIM ABI adalah orang-orang syiah terpimpin yang akan berusaha membela mazhabnya dengan berusaha melemahkan dalil-dalil mazhab ahlussunnah. Dan supaya terlihat ada pembelaan dan perlawanan, maka dengan ini saya pun ingin berkontribusi di dalamnya.
Redaksi hadits tersebut adalah, Nabi Saw bersabda :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا: كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
“ Wahai segenap manusia, aku tinggalkan bagi kalian di mana kalian berpegang kepadanya tidak akan tersesat : yaitu kitabullah (al-Quran) dan keturunanku (yaitu) ahlul baitku ” (Sunan Turmudzi 5/662, hadits ini banyak diriwayatkan dalam kitab hadits lainnya dari berbagai jalur.)

Jawaban pertama, hadits ini  tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya pilihan dalam bermazhab. Atau menganggap mazhab ahlul bait adalah mazhab yang paling benar dan tidak tersesat atau selain mazhab ahlul bait semuanya tersesat. Memahami hadits di atas seperti itu  bertentangan dengan al-Quran, di mana Allah berfirman :
وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُمْ بِما كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“ Andaikata Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa-apa yang dahulu kamu perselisihkan ”  (QS. 5 / al-Maidah : 48)
Dalam ayat ini jelas, bahwa Allah menghendaki umatnya berbeda tetapi tetap agar berlomba-lomba dalam kebaikan. Tidak ada perintah wajib untuk mengikuti mazhab ahlul bait dalam ayat ini.
Dalam ayat lain-Nya :
وَلَوْ شاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ (118) إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَالِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ
“ Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentunya Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senatiasa berselisih (pendapat). Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka, dan keputusan Tuhanmu telah tetap ”                         (QS. 11 / Huud : 118-119)
Dalam ayat ini pun, Allah dengan tegas menyatakan bahwa penciptaan umat yang berbeda adalah kehendak-Nya, kecuali orang-orang yang diberi rahmat saja oleh-Nya, dan hal ini adalah mutlak. Kita dan anda tidak akan mampu mengubah kehendak-Nya yang abadi ini. 
Dalam ayat lain-Nya :
وَلَوْ شَآءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَآءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُوْنَ مَا لَهُمْ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيْرٍ
“ Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan mereka satu umat, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka pelindung dan penolong ”  (QS. 42 / asy-Syuura : 8)

Dengan ketiga ayat tersebut gugurlah hadits yang menyatakan “ Kitabullah wa ‘itrati “ sebagai hujjah kemutlakan mazhab ahlul bait sebagai mazhab paling shahih.
Jawaban kedua, saya pun sering mendengar landasan hukum tentang kesucian para imam ahlul bait adalah hadits “Kitabullah wa ‘itrati ”, dengan penjelasan : “ Karena Kitabullah itu suci maka ‘itrati pun menjadi suci “. Hal ini tidak tepat dengan mengkhitabkan “ wau “ yang berada setelah Kitabullah dengan kalimat ‘itrati. Mengkhitabkan “ wau “ kepada kitabullah tidak dapat dikatakan sebagai qiyas mutlak. Karena qiyas harus memiliki kesamaan dalam sifat dan jenis. Sedangkan kitabullah sifatnya adalah kalam Ilahi (bukan makhluk), dan jenisnya tidak berjenis. Sedangkan ‘itrati : sifatnya adalah makhluk dan jenisnya ada lelaki dan perempuan. Jadi bagaimana hal ini bisa dipaksakan menjadi sebuah yang suci ? Sesuatu yang tidak rasional tidak bisa dipaksakan untuk menjadi rasional, dan menjadi kewajiban yang bersifat mengikat dan universal.
Jawaban ketiga, pada hal. 238 dikatakan : “ Hadits “ Kitabullah wa Sunnati ” ini adalah hadits masyhur yang seringkali didengar oleh umat Islam. Sehingga banyak yang berang- gapan bahwa hadits ini adalah benar dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Sayangnya hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ yang sering dijadikan dasar dalam masalah ini adalah hadits yang tidak shahih atau dhaif “. Begitulah menurut logika Syiah-nya penulis TIM ABI dalam memulai penjelasannya. Para penulis ABI telah mengerahkan kemampuan maksimalnya untuk meyakinkan pembaca bahwa hadits yang dianggap sebagai salah satu hujjah dalam mazhab ahlussunnah ini adalah dhaif. Tentang hal ini dapat saya katakan : “ Bahwa sesuatu yang dianggap dhaif  tidak berarti kurikulum dan pelakunya otomatis menjadi dhaif pula “. Misalnya : ada anggapan bahwa mazhab Syiah adalah mazhab yang shahih karena perawinya semuanya shahih. Hal ini tidak menjamin 100 % penganut syiah semuanya shahih dan maqbul. Bukankah begitu kang mas ? Jadi dalam hal ini penulis TIM ABI tidak dapat melihat sesuatu yang seharusnya mampu dicermati lebih dalam dan lebih teliti lagi.
Jawaban keempat, andaikata hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ benar-benar dhaif, maka tidak dapat dikatakan bahwa mazhab ahlussunnah pun otomatis menjadi dhaif.  Sejarah dan zaman yang menjadi saksi akan eksistensi mazhab terbesar di dunia ini. Bahkan, mazhab Neo Khawawij (Salafi Wahabi Takfiri) yang menurut al-Quran dan Sunnah adalah mazhab bathil, sekarang ini menjadi shahih eksistensinya. Harus diyakini bahwa perkembangan mazhab dari zaman ke zaman merupakan rangkaian sanad yang tidak bisa diingkari. Apakah mazhab mereka bathil atau tidak, tetapi eksistensi mereka adalah shahih adanya.
Jawaban kelima, pada hal. 239 para penulis ABI menuliskan bahwa hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ yang diriwayatkan secara mursal terdapat dalam kitab al-Muwatha dan selain- nya. Tetapi hadits ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad, Bahkan dikatakan pula “ setidaknya ada dua perawi yang tidak disebutkan antara Malik bin Anas sebagai perawi dan Rasulullah Saw. Berdasarkan hadits ini maka dapat dinyatakan bahwa hadits ini tertolak karena terputus sanadnya “. Ada yang luput dari perhatian dan penelitian para penulis TIM ABI tentang perawi yang dianggap terputus. Misalnya bagaimana cara Imam Malik meriwayatkan hadits dan bagaimana pendapat para ulama lainnya tentang beliau.
Ibnu Abi Hatim berkata : “ Malik adalah orang pertama yang membersihkan ulama-ulama fiqh di Madinah dari berbagai celaan. Malik juga menunjukkan orang-orang yang tidak bisa dipercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits shahih dan tidak mau membicarakan hadits kecuali hadits itu diriwayatkan dari perawi yang bisa dipercaya, mempunyai ilmu fiqh, pandai ilmu agama, mulia dan taat ber- ibadah “ (Tsiqah, Ibnu Abu Hatim 7/459)
Abdullah bin Ahmad berkata : “ Aku bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal), “ Di antara sahabat-sahabat Az-Zuhri, siapakah yang paling shahih haditsnya ? “ Ayahku menjawab : “ Malik lebih shahih dalam semua hal “ (Tarikh al-Islam 11/320)
Dari Sufyan bin Uyainah, dia berkata : “ Tidak ada orang yang lebih keras dalam mengkritik perawi-perawi hadits dari Malik, dan dia adalah orang yang paling mengetahui tentang syarat-syarat perawi “ (Tahdzib al-Kamal 27/111)
An-Nawawi berkata : “ Al-Imam Abu al-Qasim Abdul Malik bin Zaid bin Yasin ad-Daulaqi dalam kitab ar-Risalah al-Mushannafah fi Bayani Subulissunnah al-Musyarrafah berkata : “ Malik mengambil hadits dari 900 orang guru, yaitu 300 orang dari generasi Tabi’in dan 600 orang dari generasi Tabi’ Tabi’in. Guru-guru Malik adalah orang-orang yang dia pilih, dan pilihan Malik didasarkan pada ketaatannya beragama, ilmu fiqihnya, cara meriwa- yatkan hadits, syarat-syarat meriwayatkan dan mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Malik meninggalkan perawi yang banyak mempunyai hutang dan suka men- damaikan riwayat-riwayat mereka yang tidak dikenal “. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat 2/78-79)
Malik berkata : “ Aku telah memperlihatkan kitabku ini kepada 70 ulama fiqih yang ada di Madinah, mereka semua memberikan masukan dan menyetujuinya (watha’a), maka aku menamakannya dengan al-Muwatha “.
Penilaian Imam Malik sebagai Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil adalah bentuk dari ijtihadnya. Sedangkan dalam kaidah ushul Fiqih dikatakan  :
اَلْإِجْتِهَدُ لَا يُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَدِ
“ Ijtihad itu tidak bisa digugurkan dengan ijtihad (lain) ”
Kaidah ushul fiqih ini pun dibenarkan, bahkan dikuatkan oleh hadits di mana Nabi Saw bersabda  :
إِنَّ الْوَالِيَ إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ الْحُكْمَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“ Sesungguhnya seorang wali (hakim) di mana ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan di mana ijtihadnya salah maka ia mendapatkan satu pahala ”. (Shahih Bukhari 9 / 108, Sunan Nasai 8 / 223, Jami’ al-Ma’mur 11 / 328, Fadhail Ash-Shahabah 1 / 180, Musnad Ahmad 11 / 367Mu’jam Abu Ya’la 1 / 194, Syarh Musykil al-Atsar 8 / 264, al- Majalisah al-Jawahir al-“ilmi 8 / 186,  al-Mu’jam al-Ausath 9 / 15 Sunan Ad-Daruquthni 5 / 364, Al-Ibanah al-Kabir 2 / 599, Al-I’tiqad 1 / 234, Syu’bul Iman 10 / 34, Ma’rifah As-Sunan wal Atsar  1 / 209 (derjat hadits shahih/masyhur)
Karena ijtihad yang dilakukan oleh seorang hakim atau orang yang ahli di bidangnya merupakan perwujudan rahmat Allah untuk umat ini. Jadi rahmat Allah itu tidak bisa di-dhaif-kan apalagi disalahkan oleh akal pikiran kita. Begitulah cara ulama ahlussunnah mazhab NU dalam membangun sebuah hujjah.
Jawaban ketiga, pada hal. 241 dikatakan : “ jika meriwayatkan hadits dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah Saw atau Qala Rasulullah Saw tanpa menyebutkan sanadnya maka hadits tersebut adalah shahih. Pernyataan ini aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama. Sekali lagi hadits itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan dhaifnya.
Sebetulnya tidak ada yang aneh, sebenarnya hal ini terjadi karena ketidakpahaman para penulis TIM ABI dalam memahami kerangka standar hadits shahih yang beragam dalam mazhab ahlussunnah. Bahwa setiap mujtahid memiliki standar shahih-nya masing-masing dan inilah yang harus kita imani dan amini. Kemudian dalam pernyataan anda “ karena kemungkinan dhaifnya ”, kemungkinan itu harus dibuktikan dengan data yang akurat, bukan sekedar melepaskan sanggahan tanpa bukti. Kemungkinan dhaif itu bukan berarti mutlak dhaif, karena bisa saja ia menjadi hasan atau shahih melalui jalur periwayatan atau peng- akuan ulama lainnya.
Jawaban keempat, masih pada hal. 241 karena penulis TIM ABI sepertinya belum puas maka mereka mengatakan  : “ Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabi’in yang bisa jadi dhaif atau tsiqat. Jika tabi’in itu tsiqat (terpercaya) pun, dia kemungkinan men- dengar dari tabi’in lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqah dan seterusnya. Kemungkinan seperti itu tidak akan bertepi ”. Tentang hal ini saya akan bagi menjadi 3 bagian :
Dalam kalimat “ Karena bisa jadi perawi yang terputus itu ” menunjukkan bahwa penulis TIM ABI dalam hal ini telah menjadikan sesuatu yang zhanni (tidak pasti) dipaksakan dan digiring menjadi sesuatu yang qath’i  (pasti) dalam logika syiahnya. Hal ini merupakan sebuah kesalahan yang fatal dan merupakan pelanggaran kode etik dalam mengungkap sebuah kebenaran.
Dalam kalimat “ yang bisa jadi dhaif  atau tsiqat ”, dalam hal ini jelas dapat kita keta- hui bersama, bahwa penulis TIM ABI hanya menduga-duga saja tanpa menyertakan bukti otentiknya. Sudah barangtentu, persangkaan seperti ini adalah bathil dan ter- tolak.
Dalam kalimat “ dia kemungkinan mendengar dari tabi’in lain yang bisa jadi dhaif atau tsiqah dan seterusnya. Kemungkinan seperti itu tidak akan bertepi ”, sekali lagi penulis TIM ABI pun gamang dan tidak memiliki kepastian dalam beragumentasi dengan menggunakan kalimat “ kemungkinan “. Kalo yang namanya kemungkinan itu bisa A bisa B bisa C bisa juga D. Dan salah satu jalan untuk mendapatkan sunnah Nabi-Nya, para perawi syariat mendapatkannya dengan jalan mendengarkan, mem- baca atau menuliskannya. Jadi pasti bertepi bukan tidak bertepi.

  Jawaban kelima, masih dalam hal.242, untuk meyakinkan muslim syiah bahwa hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ dhaif, maka penulis TIM ABI kembali melancarkan serangannya dengan mengatakan : “ Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam “ Ilm Mushthalah al-Hadits “ oleh A. Qadir Haasan h. 109 dengan mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak bolehnya menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Ibnu Hajar berkata : “ Boleh jadi yang gugur itu sahabat, tetapi boleh jadi juga seorang tabi’in. Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabi’in, boleh jadi tabi’in tersebut seorang yang lemah atau terpercaya. Kalau kita andaikan dia seorang yang terpercaya, maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang sahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabi’in lain “.
Dalam perkataan Imam Ibnu Hajar tersebut terdapat kata-kata “ boleh jadi “ yang diulang sebanyak empat kali, yang mana kata-kata tersebut bersifat zhanni (tidak pasti). Hal ini menunjukkan kehati-hatian beliau dalam menggunakan hadits mursal, bukan menolak secara mutlak.
Dalam hal ini, penulis TIM ABI memiliki kelemahan dan celah yang besar dengan tidak memberikan definisi hadits mursal dan bagaimana hukum hadits mursal tersebut menurut para imam mazhab ahlussunnah. Oleh karena itu, “ barangkali “ penulis TIM ABI kelupaan atau memang tidak tahu, biarlah saya kutipkan untuk kalian semua.
Al-Muhadits al-Musnid Muhammad Alawi al-Maliki berkata : “ Ada pun pengertian hadits mursal menurut etimologi ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi Saw. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “ Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda …”. (Ilmu Ushul Hadits hal. 100)
Mengenai hukum hadits mursal ini para ulama berselisih pendapat, namun terdapat tiga pendapat yang populer, yaitu :
Hadits mursal bisa dijadikan hujjah secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, dan segolongan ulama ahli fiqh, ahli hadits, dan ahli ushul. Bahkan ada yang menilainya lebih kuat daripada hadits musnad. Mereka mengata- kan : “ Barangsiapa menggunakan hadits musnad, maka ia akan diubah olehnya, dan barangsiapa yang menggunakan hadits mursal maka ia akan dijamin olehnya “.
Hadits mursal adalah dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Ini adalah pendapat mayo- ritas ahli hadits.
Hadits mursal harus dilihat lebih dahulu, jika dikuatkan oleh hadits lainnya, maka ia dapat diterima dengan syarat yang mengeluarkan hadits tersebut adalah tabi’in besar, terpercaya, dan riwayatnya tidak berbeda atau menyalahi dengan riwayat orang-orang hafizh yang terpercaya, serta harus sejalan dengan perkataan sahabat, atau kebanyakan fatwa ulama. Jika satu syarat saja dari syarat-syarat tersebut tidak terpe- nuhi, maka hadits mursal itu tidak dapat diterima.

Hadits Musnad adalah : hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, yaitu Nabi Saw. Hadits musnad memiliki dua syarat : marfu’ dan muttasil. Ditinjau dari segi musnadnya, hadits-hadits yang termasuk dalam kategori hadits musnad adalah hadits maqhtu’ dan hadits mauquf, sedang ditinjau dari dari kemuttasilan sanadnya ialah : hadits mursal, muntaqhi, mu’dhal dan mu’allaq Demikian ini pendapat yang paling popular dikalangan ahli hadits. Ilmu Ushul Hadits Hal. 74

Jadi jelaslah, bahwa hadits mursal ini, dapat dijadikan hujjah secara mutlak menurut standar hadits shahih ahlussunnah dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Sedangkan perbedaan pendapat dalam wilayah ijtihadiah bagi para mujtahid merupa- kan rahmat bagi umat ini. Alhamdulillah

Jawaban keenam, hadits pendukung “ Kitabullah wa Sunnati “ diantaranya :
Nabi Saw bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، فَتَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“ Sesungguhnya kelak siapa di antara kalian yang hidup lama sepeninggalku, maka diwajib- kan kalian selalu berpegang kepada sunnahku dan sunnahnya al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan geraham (kalian) “ (Shahih Ibnu Hibban 1 / 178, Sunan Abu Dawud 4 / 200, Sunan at-Turmudzi 5 / 44, Sunan Ibnu Majah 1 / 15, Sunan Darimi 1 / 228, Musnad Ahmad 28 / 373, 28 / 375, Musnad al-Bazzar 10 / 137, Musnad Asy-Syamiyyin 1 / 254, 1 / 402, 1 / 446, 2 / 197, 2 / 298, Musnad al-Mustakhraji 1 / 35, 1 / 47, As-Sunan al-Kabir 10 / 195, Al-Mustadrak 1 / 174 – 177, al-Mu’jam al-Ausath 1 / 28, al-Mu’jamAl-Kabir 18 / 245 – 249,  Muwarid azh-Zhaman Ilaa Zawaid,  Ibnu Hibban 1 / 56, Jami’ al-Bayan, Ibnul Barr 2 / 1164, 2 / 1168,  SyarhAs-Sunnan Al-Baghawi 1 / 205, Ma’rifah wal Atsar 1 / 183 (derajat hadits masyhur/mutawatir)
Nabi Saw bersabda :
اللَّهُمَّ ارْحَمْ خُلَفَاءَنَا ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا خُلَفَاؤُكُمْ؟ قَالَ: الَّذِينَ يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِي، يَرْوُونَ أَحَادِيثِي وَسُنَّتِي وَيُعَلِّمُونَهَا النَّاسَ
“ Ya Allah rahmatilah khalifahku “ (Ibnu Abbas) bertanya : “ Ya Rasulullah siapakah khalifah anda ? “ Nabi menjawab : “ Yaitu mereka yang memberikan (menyampaikan ilmu) sesudahku), meriwayatkan hadits-haditsku dan sunnah-sunnahku serta mengajarkannya kepada masyarakat “ (Al-Mu’jam al-Ausath 6 / 77, Burnamaj at-Tajibi  1 / 15, Ath-Thayuriyah 1 / 239, Tartibul Amali al-Khamisiyah.  Asy-Syajari 1 / 25 (derajat hadits hasan)

Nabi Saw bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“ Semoga Allah mencemerlangkan wajah orang yang mendengar hadits dariku, lalu ia sampaikan seperti apa yang didengarnya. Tidak sedikit orang yang menerima lebih paham daripada orang yang menerimanya, dan tidak sedikit orang yang mendengar tidak lebih paham daripada yang menerimanya “ (Sunan Abu Dawud 3 / 322,  Sunan Turmudzi 5 / 33,  Sunan Ibnu Majah 1 / 84-86, Burnamaj at-Tajibi  1 / 10-13, Shahih Ibnu Hibban 1 / 268,  al-Kifayah fil ‘Ilmi Ar-Ru’yah,  al-Khatib 1 / 200,1 / 190, Jami’ al-Bayan 1 / 761, Ma’rifah As-Sunan 1 / 109, 1 / 132 (derajat hadits shahih)

Nabi Saw bersabda :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ، وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ، وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ
 “ Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga, dan sesungguhnya para malaikat-Nya meletakkan sayapnya bagi dirinya karena ridha dalam pencarian ilmunya, dan sesungguhnya pencari ilmu dimohonkan ampun oleh penghuni langit dan bumi, termasuk pula semut di dalam liangnya dan apa yang terdapat di dalam lautan “ (Sunan Abi Dawud 3 / 317, Sunan Turmudzi 5 / 48, Musnad Abi Ibnu Syaibah 1 / 55,  Musnad  Ahmad 14 / 66, 36 / 46, Musnad Ahmad Makhrajan 14 / 66, 36 / 45, Sunan Darimi 1 / 361 (derajat hadits shahih)
Dalam kalimat “ Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga ”, apabila orang yang meniti jalan untuk mencari ilmu saja Allah mudahkan jalannya menuju surga, lalu bagaimana dengan para mujtahid yang sudah menyiapkan ilmu-Nya bagi para peniti jalan tersebut ? Apa iya masuk neraka kang mas ?

Nabi Saw bersabda :

مَنْ تَعَلَّمَ أَرْبَعِينَ حَدِيثًا مِنْ أَمْرِ دِينِهِ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي زُمْرَةِ الْفُقَهَاءِ وَالْعُلَمَاءِ
“ Barangsiapa yang mengajarkan 40 hadits dari sebagian agamanya akan dibangkitkan dia bersama para ahli fiqih dan ulama “ (Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhilah 1 / 197 (derajat hadits shahih)

Apabila para mubaligh syiah mengajarkan 40 hadits dari sebagian agamanya, maka tanpa disadari, sebenarnya sudah mengamalkan pula hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ yang dianggap dhaif  tadi.  
Kesepuluh, pada hal. 242-249 penulis TIM ABI dengan berusaha keras kembali ingin membuktikan kebenaran hujjahnya tentang dhaif-nya salah satu perawi hadits “ Kitabullah wa Sunnati “. Sebenarnya hal ini telah dijawab mulai point ke-1 sampai ke-9. Akan tetapi bisa dianggap saya tidak mampu untuk meluruskan pemahaman yang keliru dan berat sebelah ini, maka saya akan kembali menjelaskannya sebagai berikut :
Dikatakan oleh penulis TIM ABI sebagai berikut : “ Telah dinyatakan sebelumnya bahwa terdapat empat jalur sanad hadits “ Kitabullah wa Sunnati “, yaitu :

Sanad Ibnu Abbas r.a terdapat dalam kitab al-Mustadrak karya al-Hakim, as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi. Perawi yang dipermasalahkan adalah : Abu Uwais dan ini menurut pendapat : Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu abi Lalkaiy, an-Nasa’i, dan Ibnu Hajar al-Asqalani.
Sanad Abu Hurairah r.a terdapat dalam kitab al-Mustadrak, al-Hakim, as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, Sunan ad-Daruquthni, al-Jami ash-Shagir, as-Suyuthi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, al-Khatib al-Baghdadi, at-Tahmid, Ibnu Abdil Barr, dan al-Ihkam, Ibnu Hazm. Perawi yang dipermasalahkan adalah : Shalih bin Musa al-Thalhi dan ini menurut pendapat : al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Abu Nu’aim.
Sanad ‘Amr bin ‘Auf r.a terdapat dalam kitab at-Tahmid lima fi al-Muwatha, Imam Malik, al-Ma’ani wa al-Asaanid, Ibnu Abdil Barr. Perawi yang dipermasalahkan adalah : Katsir bin Abdullah dan ini menurut pendapat : Imam Syafi’i, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, ad-Daruquthni, Abu Hatim, an-Nasai, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Hibban, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, Ibnu Adi, dan Ibnu al-Jauzi al-Baghdadi.
Sanad Abu Sa’id al-Khudri r.a terdapat dalam kitab al-Faqih mutafaqqih, al-‘Ilma ila Ma’rifah Ushul al-Riwayah wa Taqyid al-Sima, karya Qadhi bin Iyadh.Perawi yang dipermasalahkan adalah : Saif bin Umar at-Tamimi dan ini menurut pendapat : adz-Dzahabi, Ibnu al-Jauzi, Ibnu Hibban, Ibnu Adi dan Yahya bin Ma’in.

Kelompok pertama, yaitu  perawi yang dipermasalahkan adalah : Abu Uwais dan ini menurut pendapat : Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Abi Lalkaiy, an-Nasa’i, dan Ibnu Hajar al-Asqalani yang akan berhadapan dengan al-Hakim dan al-Baihaqi. Dengan ini saya sertakan kelebihan dan keutamaan al-Hakim dan al-Baihaqi menurut para ulama sbb :
Abu ath-Thahir as-Salafi berkata : “ aku telah mendengar para syaikh kami berkata : “ Abu Bakar Ibnu Ishaq dan Abu al-Walid an-Naisaburi sering bertandang menemui Abu Abdillah al-Hakim untuk menanyakan tentang Jahr wa at-Ta’dil, illat (cacat) hadits dan menentukan hadits yang shahih dari yang tidak shahih “ (Biografi Ulama Salaf hal. 657)
Adz-Dzahabi berkata : “ Abu Abdillah al-Hakim adalah seorang imam yang Hafizh, kritikus hadits yang dalam ilmunya serta syaikhnya para ulama ahli hadits.  (Ibid 17/163 lihat Biografi Ulama Salaf hal. 658). Barangsiapa yang merenungkan karya-karya Imam al-Hakim, pembahasannya ketika memberikan ‘imla dan analisa pandangannya mengenai jalur-jalur periwayatan hadits, maka ia akan mengakui kecerdasan dan kelebihan yang dimiliki Imam al-Hakim. Sesungguhnya Imam al-Hakim mengikuti jejak para pendahulunya di mana para ulama setelahnya akan kerepotan meng- ikuti jerih payah sebagaimana yang dilakukannya. Dia hidup dengan terpuji dan tidak ada seorang pun setelahnya yang menyamainya “. (Tadzkirah al-Huffazh 3/1043-1044, Siyar A’lam an-Nubala 17/171 lihat Biografi Ulama Salaf hal. 658)
Adz-Dzahabi berkata : “ Jika al-Baihaqi menginginkan madzahab sendiri dengan jalan berijtihad, maka ia mampu untuk itu karena ilmunya yang luas dan pengetahuannya yang dalam mengenai masalah-masalah khilaf. Oleh karena itulah, kamu lihat ia membela penda- pat ulama yang didukung oleh hadits shahih “ 
At-Taj as-Subki juga mengatakan : “ Imam al-Baihaqi adalah salah satu imam kaum muslimin, penunjuk kebenaran bagi kaum mukminin dan dai’ yang mengajak kepada tali Allah yang kukuh. Ia adalah seorang al-Hafizh yang besar, ahli ushul yang cerdas, zuhud, wira’i, puas dengan Allah dan membela mazhab, baik dasar-dasar maupun cabang-cabang- nya. Ia adalah gunung dari gunung-gunung ilmu “

Dalam hal ini, dapat kita ketahui bersama, bahwa ternyata kedua imam besar ini adalah seorang mujtahid. Yang mana telah diterangkan sebelumnya, bahwa ijtihad para mujtahid tidak dapat digugurkan oleh ijthad lainnya. Jadi berbesar hati dalam menerima ijthad para mujtahid adalah rahmat-Nya, dan kita tidak perlu memaksakan orang lain untuk mengklaim kebenaran satu mujtahid dengan membuang ijtihad mujtahid lainnya.
Kelompok kedua, yaitu  perawi yang dipermasalahkan adalah : Shalih bin Musa al-Thalhi dan ini menurut pendapat : al-Khatib al-Baghdadi, al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Abu Nu’aim yang akan berhadapan dengan al-Hakim, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, as-Suyuthi, al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Hazm.
Tentang Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi sudah disampaikan walaupun secara ringkas. Sekarang kita lihat bagaimana pendapat ulama tentang Imam ad-Daruquthni.
Adz-Dzahabi berkata : “ Ad-Daruquthni adalah seorang imam, al-Hafizh, ahli tajwid, syaikh al-Islam dan simbol para ulama “
Abu Bakar al-Khatib berkata : “ Ad-Daruquthni adalah imam dan ulama besar yang tiada bandingannya pada masanya, kepadanyalah berhenti ilmu atsar, pengetahuan illat-illat hadits dan nama-nama para perawi hadits “
Ash-Shuwari mengatakan : “ Aku mendengar al-Hafizh Abdul Ghani mengatakan : “ Manusia yang paling bagus pembicaraannya mengenai hadits Rasulullah Saw adalah tiga orang, yaitu : Ibnu al-Mandini pada masanya, Musa bin harus (Ibnu al-Hammal) pada masa- nya, dan ad-Daruquthni pada masanya “
At-Taj as-Subki mengatakan : “ Imam yang agung, Abu al-Hasan ad-Daruquthni, salah seorang penduduk Baghdad, al-Hafizh, manusia yang terkenal namanya, pemilik banyak karya, imam di zamannya, pemimpin para ulama pada masanya dan syaikh ahli hadits “22
Kelompok ketiga, yaitu  perawi yang dipermasalahkan adalah : Katsir bin Abdullah dan ini menurut pendapat : Imam Syafi’i, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, ad-Daruquthni, Abu Hatim, an-Nasai, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Hibban, Yahya bin Ma’in, al-Uqaili, Ibnu Adi, dan Ibnu al-Jauzi al-Baghdadi yang akan berhadapan dengan Imam Malik dan al-Hafizh Ibnu Abdil Barr. Tentang Imam Malik sudah diceritakan pada awal pembahasan. Sedangkan tanggapan para ulama tentang al-Hafizh Ibnu Abdi Barr adalah sbb :
Al-Humaidi mengatakan : “ Abu Umar bin Abdil Barr adalah seorang ahli fikih, al-Hafizh, ulama yang banyak meriwayatkan hadits, mengetahui macam-macam bacaan al-Quran dan khilaf para ulama, mengetahui ilmu hadits beserta perawinya dan menguasai ilmu sejarah. Dalam bidang fikih ia condong ke mazhab asy-Syafi’i “
Abu al-Qasim bin Basykawal mengatakan : “ Ibnu Abdil Barr adalah imam tertinggi pada masanya “
  Adz-Dzahabi mengatakan : ” umurnya sangat panjang dan sanad yang ia punyai sangat banyak. Murid-murid banyak berdatangan kepadanya. Kegiatannya adalah mengumpulkan ilmu, menyusun karya, meneliti mana sanad yang tsiqah dan mana yang dhaif. Kitab-kitab karyanya sangat banyak dan keilmuannya telah diakui oleh para ulama pada masa itu “25
Dari keterangan ini, dapat kita yakini bahwa para ulama yang mengkritik atau yang membela seorang perawi semuanya adalah para mujtahid. Setiap perkataan orang dapat diambil dan ditinggalkan kecuali sabda Rasulullah Saw. Namun, jika seorang imam mujtahid ada yang salah dalam ijtihadnya, maka kita tidak boleh melupakan kebaikan-kebaikannya atau tidak mau mengakui pengetahuan-pengetahuan yang telah dicapainya. Hal ini merupa- kan sesuatu yang dibenarkan oleh Nabi Saw mengingat mereka semua adalah para mujtahid. 
Imam Syafi’i berkata : Setiap mujtahid mempunyai pengetahuan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh ilmu zahir yang dicapainya. Jika qiyas hanya menghasilkan pengeta- huan yang bersifat zahir bukan ilmu secara mendetail, maka wajar saja jika para mujtahid berbeda pendapat dalam menghukumi permasalahan yang sama. Hasil qiyas yang dilakukan oleh seorang mujtahid terkadang berbeda dengan hasil qiyas yang dilakukan mujtahid lain, meski pun dalam pengqiyasan salah seorang mujtahid tersebut terdapat kekurangan, seperti halnya seorang qadhi yang tidak dianggap berdosa jika menolak persaksian seseorang, meski qadhi yang lain menerimanya. Sebab ia tidak melihat yang dapat dilihat qadhi lain.
Jika demikian keadaan para mujtahid, maka satu hal yang wajar jika mereka berbeda pendapat dalam menghukumi permasalahan yang sama sebagaimana telah kami terangkan. Sebab, masing-masing mujtahid telah melaksanakan kewajibannya dan mengambil sesuatu yang merupakan akhir dari usaha yang dilakukannya. Oleh sebab itu, meski pengetahuan yang diperoleh melalui jalan qiyas melahirkan jenis pengetahuan seperti ini, namun hasil qiyas itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh diamalkan, bahkan dianjurkan. Diriwayatkan dari Amr bin Ash r.a bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“ Jika seorang hakim memutuskan hukum, dan ia berijtihad (dalam menghukuminya) kemudiian hukumnya itu benar, maka ia mendapat dua ganjaran, dan apabila salah, maka ia mendapatkan satu ganjaran ”
Yang saya sayangkan, para penulis TIM ABI hanya terfokus pada hadits “ Kitabullah wa Sunnati “ saja. Mereka tidak mau meneliti hadits-hadits lainnya misalnya hadits yang berbunyi “  فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي ”  hadits ini mewajibkan sunnah Nabi Saw dan Khulafa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk setelah Nabi Saw, bukan hanya ‘itrati saja. Ataukah para penulis TIM ABI takut ketahuan keshahihan atau kemutawatiran hadits tersebut ?
Mari kita lihat hadits di bawah ini :
وَقَالَ أَيْضًا: وَفيِ "اَلطَّيُورِيَاتِ" بِسَنَدِ إِلَى جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِعَليٍّ بْنِ أَبيِ طَالِبٍ [- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -] : «نسمعكَ تَقُولُ فيِ الْخُطْبَةِ: اَللَّهُمَّ أَصْلِحْنَا بِمَا أَصْلَحْتَ بِهِ الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِيْنَ، فَمَنْ هُمْ؟ فَاغْرَوْرَقَتْ عَيْنَاهُ ، فَقَالَ: هُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، إِمَامَا الْهُدَى، وَشَيْخَا الْإِسْلَامِ ، وَرَجُلاً قُرَيْشٍ، وَالْمُقْتَدَى بِهِمَا بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مَنِ اقْتَدَى بِهِمَا عُصْمٌ، وَمَنِ اتَّبَعَ آثَارِهِمَا هُدِيَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ، وَمَنْ تَمَسَّكَ بِهِمَا فَهُوَ مِنْ حِزْبِ اللهِ
 “ dan dikatakan dalam riwayat lainnya : di dalam “ ath-Thayuriyah ” dengan sanad dari Jafar bin Muhammad , dari ayahnya berkata : “ bertanya seorang pemuda kepada Ali bin Abi Thalib r.a : aku mendengar engkau berdoa di dalam khutbah “ Ya Allah selamatkanlah kami semua seperti Engkau menyelamatkan al-Khulafa ar-Rasydin yang telah mendapatkan petunjuk “, Lelaki ini bertanya : “ Siapakah mereka ? “ Maka bercucuran air mata Ali bin Abi Thalib, maka beliau berkata : “ Mereka adalah kekasih kami (yaitu) Abu Bakar dan Umar (mereka) adalah imamnya hidayah dan pembesar Islam dan lelaki dari Quraisy, dan ikutilah petunjuk mereka berdua sesudah Rasulullah Saw, barangsiapa yang mengikuti petunjuk mereka berdua tercegah dari kesalahan, dan barangsiapa yang mentaati jejak mereka berdua akan membawa kepada jalan yang benar, dan barangsiapa yang memegang teguh keduanya maka mereka adalah sebagian dari tentara Allah “ (Ath-Thayuriyah 2/378, 4/1375 (derajat hadits jayyid)
Jelaslah, imam Ali r.a sendiri mengakui keagungan dan kemuliaan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar r.a, bahkan mereka memerintahkan bagi seluruh kaum muslimin untuk mentaati dan mengikuti petunjuk mereka berdua, inklusif termasuk muslim syiah di dalamnya. Allahu Akbar wa lillaahilhamdu
Dalam riwayat lainnya dikatakan :
نا مَسْرُوقُ بْنُ الضَّحَّاكِ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جَعْفَرٍ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ يَذْكُرُ عَنْ أَبِيهِ: قَالَ فَتًى مِنْ بَنِي هَاشِمٍ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ حِينَ انْصَرَفَ: " سَمِعْتُكَ تَخْطُبُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الْجُمُعَةِ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ أَصْلِحْنَا بِمَا أَصْلَحْتَ بِهِ الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ» ، فَمَنْ هُمْ؟ " قَالَ: فَاغْرَوْرَقَتْ عَيْنَاهُ، يَعْنِي ثُمَّ انْهَمَلَتْ عَلَى لِحْيَتِهِ، ثُمَّ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، إِمَامَا الْهُدَى، وَشَيْخَا الْإِسْلَامِ، وَالْمُقْتَدَى بِهِمَا بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَنِ اتَّبَعَهُمَا هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ، وَمَنِ اقْتَدَى بِهِمَا رَشَدَ، وَمَنْ تَمَسَّكَ بِهِمَا فَهُوَ مِنْ حِزْبِ اللَّهِ، وَحِزْبُ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ»
“ Mengabarkan kepada kami Masruq bin Dhahak maula Rasulullah Saw, berkata : aku mendengar Abu Jafar Muhammad bin Ali bin Husain mengingatkan dari ayahnya (Ali bin Abi Thalib r.a) berkata : “ bertanya seorang pemuda dari Bani Hasyim kepada Ali bin Abi Thalib r.a : aku mendengar engkau (berdoa) di dalam khutbahmu Ya Amirul Mukminin dalam shalat Jum’at : “ Ya Allah selamatkanlah kami semua seperti Engkau menyelamatkan al-Khulafa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk “, Lelaki ini bertanya : “ Siapakah mereka ? “ Maka bercucuran air mata Ali bin Abi Thalib, maka beliau berkata : “ Mereka adalah kekasih kami (yaitu) Abu Bakar dan Umar (mereka) adalah imamnya hidayah dan pembesar Islam dan lelaki dari Quraisy, dan ikutilah petunjuk mereka berdua sesudah Rasulullah Saw, barangsiapa yang mengikuti petunjuk mereka berdua tercegah dari kesalahan, dan barang- siapa yang mentaati jejak mereka berdua akan membawa kepada jalan yang benar, dan barangsiapa yang memegang teguh keduanya maka mereka adalah sebagian dari tentara Allah, dan tentara Allah adalah orang-orang yang beruntung “  (Syarh Ushul al-I’tiqad ahlussunnah wal Jama’ah 7/1396 (derajat hadits jayyid)

Khalifah Umar peminum khamar ?

Karena Ustad BU yang sudah jelas ke-rafidhahannya terlihat belum puas untuk menghina Khalifah agung ini, maka pada hal. 42 dikatakan : “ Ada kisah lain yang tak kalah menariknya tentang Khalifah kedua ini. Al-Jashshas membawakannya untuk kita. Seorang Arab dusun meminum minuman Umar. Ia mabuk dan Umar menetapkan hukum cambuk baginya. Arab dusun itu protes “ Aku meminum minumanmu “. Umar meminta minumannya itu, lalu mencampurkan air ke dalamnya, kemudian meminumnya dan berkata, “ Siapa yang ragu untuk meminumnya, campurkan air ke dalamnya “
Ibrahim an-Nakha’i meriwayatkan hadits yang sama dari Umar dan berkata : “ Umar meminumnya setelah mencambuk si Arab dusun itu “ Bahkan di saat-saat kritis ketika menghadapi sakaratul maut, Umar tidak bisa meninggalkan kebiasaannya minum khamar, demikian seperti dilaporkan oleh Abu Ishak dari ‘Amru bin Maimun yang melihat Umar meminum khamar beberapa saat setelah ditusuk oleh Abu Lu’luah “.
Jawaban pertama : nama sebenaranya dari Ibrahim an-Nakha’i adalah Abu Imran bin Yazid bin Qais an-Nakha’i al-Kufi, beliau seorang ulama fiqh di Kufah dan seorang Tabi’in yang mulia. Beliau termasuk ulama Kufah yang sering menemui ‘Aisyah r.a dan Ibnu as’ud r.a. Beliau termasuk tabi’in yang tidak langsung meriwayatkan hadits dari seorang sahabat pun padahal ia pernah menemui segolongan dari mereka. Namun beliau memiliki kedudukan yang tinggi dalam bidang hadits dan ilmu riwayat. Seluruh ulama sepakat dan menyatakan bahwa beliau adalah seorang yang tsiqah dan seorang yang ahli dalam fiqh. Beliau menerima hadits dari ulama-ulama tabi’in di antaranya adalah alqamah, al-Aswad, Abdurrahman, Masyruq dan lain-lain. Beliau wafat tahun 96 H. (Tahdzibul Asma’i wal Lughat, an-Nawawi, at-Tahdzib, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam riwayat Ibrahim an-Nakha’i)
Dengan adanya penerangan dari Imam Nawawi ad-Dimasyqi ini, maka tertolaklah keyakinan ustad BU dan pengikutnya yang menyatakan Khalifah Umar r.a pernah meminum khamar ini. Hal ini disebabkan sanadnya mauquf alias terputus, baik yang dihubungkan dengan perkataan atau pun perbuatan sahabat.   Dalam hal ini, ustad BU terlalu ceroboh dan terlalu singkat dalam penelitiannya. Sehingga tanpa terasa telah menyesatkan dirinya dan orang banyak. Allahummaghfir lahu
Jawaban kedua : Karena Imam Ibrahim an-Nakha’i adalah seorang ulama Kufah, maka saya akan coba merinci kepada para pembaca dalam kitab-kitab yang berasal dari Iraq, apakah ada sanad yang bersambung langsung dari Imam Ibrahim an-Nakha’i kepada Khalifah Umar r.a seperti yang dituduhkan oleh al-Jashashas.
Sunan Turmudzi 1/157 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Ibrahim at-Taimi, dari ‘Amru bin Maimun, dari Abdullah al-Jadalli, dari Khuzaimah bin Tsabit r.a, 6/238 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a
Kitab Mushanaf Ibnu Abi Syaibah : “ tidak ada “
Kitab Musnad Ishaq bin Rahawaih 3/846 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari ‘Aisyah r.a,
Kitab As-Sunnah Ahmad bin Hanbal : “  tidak ada “
Kitab Fadhail ash-Shahabah 1/329 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i, dari alqamah bin Qais, dari ‘Ammar bin Yasir r.a
Kitab Musnad Ahmad 6/241 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i, dari alqamah bin Qais, dari Abdullah r.a, 37/564 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i, dari Sa’id al-Musayyib, dari Qatadah r.a, 37/380 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i, dari Hammam, dari Khudzaifah r.a,
Sunan Darimi : “ tidak ada “
As-Sunnah Ibnu Ashim 2/439 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ali bin Abi Thalib r.a,
Musnad al-Bazzar 5/186 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari ‘Abidah as-Salami dari Abdillah bin Mas’ud r.a, 14/45 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Anas r.a
 ‘Amal al-Yaum wa Lailah, Ibnu Sina 1/423 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari   Rabi’i dari Khutsaimin dari Abdullah r.a
Musnad Abu Ya’la 3/189 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah bin Qaisy dari Ammar bin Yassir r.a, 8/475 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a, 9/49 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari ‘Abidah as-Salami dari Ibnu Mas’ud r.a, 9/226 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Abdullah r.a
Al-Kina wal Asma, ad-Dulani 3/1116 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari al-Aswad dari ‘Aisyah r.a
Mukhtashir al-Ahkam 3/456  dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari ‘Aisyah r.a
Hadits as-Siraji : “ tidak ada ”
Mustakhraji Abu Awanah 1/39 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Abdullah bin Mas’ud r.a, 1/174 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari ‘Aisyah r.a, 2/394 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Abdurrahman bin Yazid dari Ibnu Mas’ud r.a, 5/6 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Hammam bin al-Harits dari ‘Addi bin Hatim r.a
Syarh Musykil wal Atsar 2/189 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari Ibnu Mas’ud r.a, 3/247 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Rabi’i dari Khutsaimin dari Abdullah r.a, 7/397 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Hammad dari Khudzaifah r.a, 12/537 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a, 12/541 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a, 14/136 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari ‘Aisyah r.a, 14/184 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a, 14/185 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a, 15/403 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a
Syarh Ma’ani al-Atsar 1/48 : dengan sanad Ibrahin an-Nakha’i dari Hammam dari ‘Aisyah r.a, 1/256 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Ibnu Mas’ud r.a, 2/265 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari ‘Aisyah r.a
Musnad asy-Syasyi 1/415 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a,  dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari alqamah dari Abdullah r.a, 1/423 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari Ibnu Mas’ud r.a, 1/424 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Abdullah r.a, 2/322 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari Ibnu Mas’ud r.a
Mujam Ibnu ‘Arabi 3/919 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari Abdullah r.a, 2/920 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari Abdullah r.a
Fawaid, Abu Muhammad al-Fakahi 1/367 :  dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Abdillah al-Jadalli dari Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari r.a
Al-Fawaid asy-Syahir bil Ghilaniyat, Abu Bakr asy-Syafi’i 2/821 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Hammam dari ‘Aisyah r.a
Shahih Ibnu Hibban 5/16 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari al-Aswad dari Ibnu Mas’ud r.a, 6/380 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a, 9/335 dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ibnu Mas’ud r.a,
Asy-Syari’ah, al-Ajari 14/1916 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari alqamah dari Ammar bin Yasir r.a
Ad-Dua, ath-Thabarani 1/128 : dengan sanad Ibrahim an-Nakha’i dari Abdurrahman bin Yazid dari Ammar bin Yasir r.a
Al-Mu’jam al-Ausath : dengan sanad dari tabi’in adalah : alqamah, al-Aswad, Sahmi bin Minhaj, al-Qarsa’i adh-Dhabi’i, Sulaiman ibnu Qaisy, Fahdi bin Sinan, Hammam bin Harits, Abdullah al-Jadalli, Jarir. Sedangkan dari sahabat r.a adalah : Khuzaimah bin Tsabit, Ibnu Mas’ud r.a, Abdullah r.a, Abu Said al-Khudri, Abu Ayyub al-Anshari, ‘Aisyah r.a. Dan hanya ada satu riwayat yang bersambung kepada Umar r.a. dan ini pun tentang keutamaan membaca shalawat kepada Nabi Saw.

عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ أَجِدْ أَحَدًا يَتْبَعُهُ، فَفَزِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَأَتَاهُ بِمِطْهَرَةٍ، فَوَجَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا فِي مَشْرُبَةٍ، فَتَنَحَّى عَنْهُ مِنْ خَلْفِهِ، حَتَّى رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: «أَحْسَنْتَ يَا عُمَرُ حِينَ وَجَدْتَنِي سَاجِدًا، فَتَنَحَّيْتَ عَنِّي، إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي، فَقَالَ: مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ مِنْ أُمَّتِكَ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا، وَرَفَعَهُ بِهَا عَشَرَ دَرَجَاتٍ»
“ dari Ibrahim an-Nakha’i dari al-Aswad dari Umar bin Khatab r.a berkata : “ Rasulullah Saw keluar (dari rumahnya) tanpa ada seorang pun yang menyertainya, ………….Umar bin Khatab, maka ……………………………., bersujudlah Nabi Saw dalam sujud yang panjang (lama), maka ………………………………………. Dari belakangnya, sehingga Nabi Saw mengangkat wajahnya, dan berkata : “ Bagus sekali Ya Umar (engkau ikut) bersujud bersamaku,………………………, sesungguhnya Jibril mendatangiku, dan berkata : “ Barangsiapa yang bershalawat kepadamu dari umatmu satu kali Allah akan bershalawat baginya 10 kali, dan diangkat baginya 10 derajat “ (Al-Mu’jam al-Ausath 6/353, al-Mu’jam ash-Shagir 2/193 (derajat hadits hasan)
Al-Mu’jam ash-Shagir :  dengan sanad dari tabi’in adalah : ‘Abis bin Rabi’ah, alqamah, Hammam bin al-Harits, Abu Abdillah al-Jadalli, Abu Abdillah, Sahmi bin Minhaj, Qartsa’in, ‘Abidah as-Salmani, Rabi’ bin Khutsaimin. Sedangkan dari sahabat r.a adalah : Khuzaimah bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Khudzaifah, Ali bin Abi Thalib, ‘Aisyah,  Abu Ayyub, dan Umar r.a. Ada pun hadits yang sanadnya bersambung dengan Umar r.a adalah masalah mencium Hajar Aswad.

عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ: رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: اسْتَقْبَلَ الْحَجَرَ فَقَبَّلَهُ ثُمَّ قَالَ: أَمَا وَاللَّهِ , إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَمْلِكُ لِي ضُرًّا , وَلَا نَفْعًا , وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“ dari Ibrahim an-Nakha’i dari ‘Abis bin Rabi’ah berkata : aku melihat Umar bin Khatab r.a “ mencium Hajar (Aswad), lalu beliau berkata : Demi Allah aku sesungguhnya tahu engkau ini hanyalah sebuah batu yang tidak dapat memberikan madarat atau manfaat, andai saja aku tidak melihat Rasulullah Saw menciummu maka aku pun tidak akan menciummu ” (al-Mu’jam ash-Shagir 1/118  (derajat hadits hasan)
As-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 2/533 terdapat hadits yang sanadnya bersambung sampai Umar r.a sbb, dengan sanad Ibrahim an-Nakhai sesungguhnya Umar r.a ….hadits ini pun menceritakan tentang shalat berjama’ah Umar r.a. Begitu pula yang terdapat di dalam Juz 8/105 dan 9/239 dengan sanad langsung kepada Umar r.a bukan masalah minum khamar.
Di hadirkannya jawaban yang cukup panjang ini untuk membuktikan kepada ustad BU dan para pembaca sekalian, bahwa ke-28 kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab fiqh dan hadits yang biasa dijadikan rujukan oleh muslim ahlussunnah di Iraq dan disekitarnya, wabil khusus bagi muslim yang bermazhab Hanafi dan Hanbali. Sedangkan di dalam literatur ahlussunnah, sudah menjadi pakem bahwa kekuatan hadits itu selalu diambil dari yang teratas, sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Waliyullah al-Dahlawi, yaitu : kitab Shahih, kemudian Sunan, kemudian Musnad, kemudian Mushanaf, kemudian Mu’jam, dan seterusnya. Sedangkan kitab hujjah yang pakai oleh ustad BU adalah kitab Ahkamul Quran karya Abu Bakr Ahmad al-Razi al-Jashshah yang tidak termasuk kitab hujjah dalam literatur ahlussunah. Bahkan, masuk dalam jajaran kitab Mu’jam pun tidak. Jadi sungguh “ terlalu “ seperti yang dikatakan Bang Haji Rhoma Irama. Padahal dalam buku ustad BU tersebut pada halaman 7 dikatakan : “ Saya tulis buku ini bukan untuk mendiskreditkan siapa saja yang namanya saya sebut. Saya hanya mengikuti permainan dan tawaran mereka saja berapa pun “ harga “ yang mereka inginkan “ Wani piro ? “. Dan ternyata kalimat “ Wani piro ? “ tersebut, sepertinya harus ditarik kembali dan diganti dengan kata-kata yang lebih menyejukan dan memperlihatkan tingkat intelektualitas yang sesungguhnya.
Jawaban ketiga : 
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُولُ بِهِ
“ dari Abu Dzarr r.a, berkata : aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “ Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran atas lisan Umar dan perkataannya ” (Sunan Abu Dawud 3/139, Sunan Ibnu Majah 1/40, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 6/353 riwayat Abu Dzarr dan Abu Hurairah r.a (derajat hadits hasan shahih)

Jawaban keempat : 
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: مَا كُنَّا نُبْعِدُ أَنَّ السَّكِينَةَ تَنْطِقُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ
“ dari Ali r.a, berkata : “ Kami para sahabat Rasulullah Saw tidak pernah ragu bahwa kedamaian senantiasa terucap pada lisan Umar “ (Fadhail ash-Shabah, Ahmad bin Hanbal 1/330, 1/358, 1/401 dari jalur Ali r.a ini diriwayatkan oleh kalangan sahabat diantaranya : Ibnu Umar, Abu Dzarr, Abu Hurairah, Abu Juhaifah, dan sedikitnya diriwayatkan oleh tabi’in dan tabi’ tabi’in sebanyak 30 periwayat tsiqah dan dhabit. Adz-Dzahabi berkata : “ Hadits ini mutawatir dari Ali r.a. (Tarikh Khulafa 1/39)

Jawaban kelima : 
عَنْ وَهْبٍ السُّوَائِيِّ، قَالَ: خَطَبَنَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: " مَنْ خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قُلْنَا: أَنْتَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ: لَا، خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ وَمَا كُنَّا نُبْعِدُ أَنَّ السَّكِينَةَ تَنْطِقُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ "
“ dari Wahbin as-Suwai, berkata : khatib kami Ali r.a bertanya : “ siapakah orang yang terbaik dari umat ini setelah Nabi Saw ? “ seseorang menjawab : engkau wahai Amirul Mukminin. Ali r,a menjawab : “ Bukan, orang terbaik dari umat ini setelah Nabi Saw adalah Abu Bakar kemudian Umar, kami para sahabat tidak pernah ragu bahwa kedamaian senantiasa terucap pada lisan Umar “  (as-Sunnah, Abdullah bin Hanbal 2/587, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 6/351(derajat hadits hasan)
Jawaban keenam :
عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ , قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا , يَقُولُ: «قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خَيْرِ مَا قُبِضَ عَلَيْهِ نَبِيٌّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ» , قَالَ: ثُمَّ اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ فَعَمِلَ بِعَمَلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِسُنَّتِهِ , ثُمَّ قُبِضَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى خَيْرِ مَا قُبِضَ عَلَيْهِ أَحَدٌ , وَكَانَ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا , ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ فَعَمِلَ بِعَمَلِهِمَا وَسُنَنِهِمَا ثُمَّ قُبِضَ عَلَى خَيْرِ مَا قُبِضَ عَلَيْهِ أَحَدٌ , وَكَانَ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا وَبَعْدَ أَبِي بَكْرٍ
“ dari Abdi Khair, berkata : aku mendengar Ali r,a berkata : “ Rasulullah Saw adalah menggenggam teguh atas kebaikan sebagaimana Nabi-nabi lainnya. Beliau meneruskan perkataannya : “ kemudian dibelakangnya ada Abu Bakar yang beramal dengan amalan Rasulullah Saw dan sunnah-sunnahnya, kemudian Abu Bakar menggenggam teguh atas kebaikan itu, ia adalah sebaik-baiknya umat setelah Nabi Saw,  kemudian dibelakangnya (Abu Bakar) ada Umar yang beramal dengan amalan Rasulullah Saw dan sunnah-sunnahnya, kemudian Umar menggenggam teguh atas kebaikan itu, ia adalah sebaik-baiknya umat setelah Nabi Saw dan Abu Bakar “ (Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 7/433, as-Sunnah, Abdullah bin Ahmad, hadits yang bersumber dari tabi’in yang mendengar langsung Ali r.a mangatakan hal tersebut berjumlah 16 0rang (derajat hadits mutawatir), Fadhail ash-shabah 1/311)  hadits yang bersumber dari tabi’in yang mendengar langsung Ali r.a berjumlah 36 jalur periwayatan, Musnad Ahmad 2/201, hadits yang bersumber dari tabi’in yang mendengar langsung Ali r.a berjumlah 17 jalur periwayatan (derajat hadits mutawatir), Musnad al-Bazzar 2/120 terdapat 3 jalur periwayatan (derajat hadits hasan shahih), Asy-syari’ah, al-Ajari terdapat 8 jalur periwayatan (derajat hadits hasan shahih), al-Mu’jam al-Ausath terdapat 12 jalur periwayatan (derajat hadits shahih/masyhur), al-Mu’jam al-kabir 7 jalur periwayatan (derajat hadits hasan shahih)

Jawaban ketujuh : hadits ini sangat panjang yang berasal dari Fadhal al-Abbas r.a, di mana di akhir hadits ini Nabi Saw mendoakan dan berkata kepada Umar r.a :
اَللَّهُمَّ ارْزُقْهُ صِدْقًا وَإِيمَانًا، وصَيِّرْ أَمْرَهُ إِلَى خَيْرٍ ، فَتَكَلَّمَ عُمَرُ بِكَلِمَةٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عُمَرُ مَعِي وَأَنَا مَعَ عُمَرَ، وَالْحَقُّ بَعْدِي مَعَ عُمَرَ حَيْثُ كَانَ
“ Ya Allah berikan reziki padanya yaitu kejujuran dan keimanan, dan kesabaran dalam urusannya dengan baik, maka Umar pun mengikuti (doa Nabi Saw) dengan kalimat beliau, bersabda Rasulullah Saw : “ Umar bersamaku dan aku bersama Umar, dan kebenaran setelahku bersama Umar “ (al-Mu’jam al-Ausath, 3/104, al-Mu’jam al-Kabir 18/280, al-Mukhalashiyah 3/141  (derajat hadits hasan)

Jawaban kedelapan :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ، فَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ، وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
 “ dari Abu Sa’id al-Khudri, berkata : “ bersabda Rasulullah Saw : Tidak ada seorang nabi pun melainkan dia memiliki dua mentri di langit dan di bumi. Ada pun dua mentriku di langit adalah Jibril dan Mikail. Sedangkan dua mentriku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar “ (Sunan Turmudzi 5/616, Fadhail ash-Shabah, Ahmad bin Hanbal 1/134, 1/164, asy-Syari’ah, al-Ajari 4/1858, Tarikh Khulafa 1/43 (derajat hadits hasan)

Jawaban kesembilan :
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ المُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ لِأَبِي بَكْرٍ: يَا خَيْرَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَا إِنَّكَ إِنْ قُلْتَ ذَاكَ فَلَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ عَلَى رَجُلٍ خَيْرٍ مِنْ عُمَرَ
“ dari Muhammad al-Munkadir dari Jabir bin Abdullah r.a , berkata : berkata Umar kepada Abu Bakar “ Wahai orang yang paling baik setelah Rasulullah ? “ Kemudian Abu Bakar berkata : “ Jika engkau mengatakan demikian maka sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda : “ Matahari tidak menyinari seseorang yang lebih baik daripada Umar ” (Sunan Turmudzi 5/618, 6/59, al-Mustadrak 3/96, as-Sunnah, Ibnu Abi Ashim 2/586, Musnad al-Bazzar 1/159,  1/194, al-Kina wal Asma, ad-Dulani 3/963  (derajat hadits hasan)

Jawaban kesepuluh :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَبْغَضَ عُمَرَ فَقَدْ أَبْغَضَنِي، وَمَنْ أَحَبَّ عُمَرَ فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَإِنَّ اللَّهَ باهَى بِالنَّاسِ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ عَامَّةً، وباهَى بِعُمَرَ خَاصَّةً، وَإِنَّهُ لَمْ يَبْعَثْ نَبِيًّا إِلَّا كَانَ فِي أَمَّتِهِ مُحَدَّثٌ، وَإِنْ يَكُنْ فِي أُمَّتِي مِنْهُمْ أَحَدٌ فَهُوَ عُمَرُ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ مُحَدَّثٌ؟ قَالَ: «تَتَكَلَّمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى لِسَانِهِ
“ dari Abi Said al-Khudri berkata : bersabda Rasulullah Saw : “ Barangsiapa yang membuat Umar marah maka dia telah membuatku marah. Dan orang-orang yang mencintai Umar maka dia telah mencintaiku. Sesungguhnya Allah membanggakan orang-orang yang ada di Arafah di sore hari secara umum dan Allah membanggakan Umar secara khusus. Sesungguhnya Allah tidak mengutus seorang Nabi pun, kecuali di antara umatnya ada seorang muhaddtasun. Dan jika itu ada di antara umatku maka dia itu adalah Umar. Para sahabat berkata : “ Ya Rasulullah, bagaimana seorang muhaddatsun itu ? “ Rasulullah Saw menjawab : “ Malaikat berbicara melalui lisannya “ (Al-Mu’jam al-Ausath 7/18, al-I’tiqad, al-Baihaqi  1/314 (derajat hadits hasan)
Jawaban kesebelas :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا فِي السَّمَاءِ مَلَكٌ إِلَّا وَهُوَ يُوَقِّرُ عُمَرَ، وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَيْطَانٍ إِلَّا وَهُوَ يَفْرَقُ مِنْ عُمَرَ ".
Tidak ada satu pun malaikat di langit yang tidak menghormati Umar dan tidak ada satu pun setan yang ada di atas bumi kecuali ia tidak takut kepada Umar “ (Syarh Madzab ahlusunnah wal jama’ah, Ibnu Syahin 1/157, Fadhail ash-Shahabah 1/329 dengan penjelasannya, Tarikh Khulafa 1/96 (derajat hadits hasan)
Malaikat mengormati Umar r.a, dan setan saja yang terkutuk takut kepadanya. Tetapi masih saja ada orang-orang yang tidak menghormati dan tidak takut kepada Umar r.a. Atau mungkinkah mereka lebih mulia dari malaikat atau lebih terkutuk dari setan ?
Jawaban keduabelas :
عَنِ الْحَكَمِ بْنِ جَحْلٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: «لَا يُفَضِّلُنِي أَحَدٌ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِلَّا جَلَدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِي»
“dari al-Hakim bin Jahlin, berkata : aku mendengar Ali r.a berkata : Tidak ada seorang pun yang menganggapku lebih utama dari Abu Bakar dan Umar r.a, kalau ada yang menganggap- nya demikian maka aku akan menderanya sebagai hukuman atas kebohongannya“ (As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad 2/562, Fadhail ash-Shahabah 1/83, 1/294, as-Sunnah, Ibnu Abi Ashim 2/575, asy-Syari’ah, al-Ajari 5/2327, al-Mukhalashiyat 3/365, 4/3327, al-I’tiqad, al-Baihaqi 1/358, Tarikh Khulafa 1/39
 
Jawaban ketigabelas :
عَن أَبيِ جَعْفَرٍ مُحَمَّدْ اَلْبَاقِرْ قَالَ : مَنْ لَمْ يَعْرِفْ فَضْلَ أَبيِ بَكْرٍ وَعُمَرٍ فَقَدْ جَهْلٌ بِالسُّنَّةِ
“ Dari Abu Ja’far Muhammad al-Baqir berkata : “ Barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan Abu Bakar dan Umar sesungguhnya ia telah menyalahi sunnah “ (Samtha an-Nujum 2/395
Jawaban keempatbelas :       
وَقَالَ جَعْفَرُ الصَّادِقِ: أَنَا بَرِيءٌ مِّمَنْ ذَكَرَ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرٍ إِلَّا بِخَيْرٍ

“ dan berkata Ja’far ash-Shadiq : Aku berlepas diri dengan orang-orang yang mengatakan tentang Abu Bakar dan Umar kecuali kebaikan mereka “ (Tarikh Khulafa 1/99)
Dengan banyaknya periwayatan hadits mulai dari yang berderajat hasan, shahih dan mutawatir, maka di sinilah tempatnya akal kita di tundukkan di hadapan kebenaran. Imam Ali r.a begitu menghormati, memuliakan dan mengagungkan Abu Bakar dan Umar r.a. Bukankah sesuatu yang kontradiktif ketika ada orang yang mengaku-aku sebagai pengikut Imam Ali r.a justru membenci dan melecehkan mereka berdua ? Bukankah hal ini adalah sesuatu yang sangat tidak rasional ?
Kami pun pernah mendengar, bahwa sebagian muslim Syiah ada yang mengatakan : “ bagaimana kami harus memuliakan dan mengagungkan Abu Bakar dan Umar, sedangkan Imam Ma’shum telah menjatuhkan laknat atas mereka “. Kalau memang begitu perlihatkan- lah kepada kami mana redaksi laknat dari para Imam Ma’shum tersebut. Apakah benar para Imam Ma’shum rela mengotori jiwa mereka  dengan melaknat orang-orang yang mendapat- kan keridhaan dari Allah dan Rasul-Nya. Kalau memang benar Imam Ma’shum melaknat Abu Bakar dan Umar r.a, mengapa Allah tidak memerintahkan Nabi Saw untuk melaknat mereka ? ataukah Imam Ma’shum lebih berwenang dari Nabi Saw yang paling Ma’shum ?
Rasulullah Saw bersabda :
عُرِضَتْ عَلَيَّ أُمَّتِي الْبَارِحَةَ لَدَى هَذِهِ الْحُجْرَةِ أَوَّلُهَا إِلَى آخِرِهَا . فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَذَا عُرِضَ عَلَيْكَ مَنْ خُلِقَ، فَكَيْفَ عُرِضَ عَلَيْكَ مَنْ لَمْ يُخْلَقْ؟ فَقَالَ: صُوِّرُوا لِي فِي الطِّيْنِ، حَتَّى لَأَنَا أَعْرَفُ بِالْإِنْسَانِ مِنْهُمْ مِنْ أَحَدِكُمْ بِصَاحِبِهِ
“ Kepadaku diperlihatkan umatku tadi malam pada sebuah batu, baik orang-orang yang permulaan mau pun yang terakhir “. Bertanya seseorang : “ Ya Rasulullah ditampakkan kepadamu orang-orang yang telah diciptakan (adalah masuk akal), lalu bagaimana caranya ditampakkan kepadamu orang-orang yang belum diciptakan ? “ Beliau menjawab : “ Mereka semua digambarkan (oleh Allah) kepadaku dengan air dan tanah sehingga aku lebih mengetahui seseorang di antara mereka daripada seeorang di antaramu terhadap sahabatnya (sendiri) “. (Al-Mu’jam al-Kabir 3/181 riwayat Hudzaifah r.a, hadits yang semakna dengan hadits ini pun dikeluarkan dalam kitab, Jami’ al-Ma’mur, Ibnu Rasyad 10/24, Sunan Ibnu Majah 2/1214, Musnad Abu Dawud ath-Thayalis 3/188, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 5/306 (derajat hadits hasan shahih)
Rasulullah Saw bersabda :
رَأَيْتُ مَا تَلْقَى أُمَّتِي بَعْدِي وَسَفْكَ بَعْضِهِمْ دِمَاءَ بَعْضٍ
“ Aku mengetahui apa yang ditemukan umatku sesudahku, demikian pula mengenai pertumpahan darah yang terjadi di antara sesama mereka “ (Musnad Ahmad 45/400, as-Sunnah Abu Ashim 1/96, at-Tauhid Ibnu Khuzaimah 2/657, al-Mu’jam al-Ausath 5/52 (derajat hadits hasan)

Baik muslim Sunni atau Syi’i mereka semuanya meyakini muzijat Nabi Saw sebagai- mana yang dinyatakan hadits di atas. Aneh tapi nyata bila Nabi Saw yang dapat melihat peri- laku dan kondisi umatnya yang berada ratusan bahkan ribuan tahun darinya, tetapi perilaku sahabat dekatnya sendiri tidak terlihat. Bukankan sangat aneh ?
Akal sebagai alat pencari kebenaran yang diberikan Allah kepada manusia berfungsi sebagai penerang dan petunjuk, tetapi pada kenyataannya masih banyak para pemilik akal yang berusaha untuk  “ mengakali “ agamanya sendiri, atau mungkin saja para pemilik akal sedang mengakali akalnya sendiri, sesuatu yang aneh, nyeleneh tetapi nyata.
Sebagai penutup dalam bab ini, maka saya akan hadirkan sebuah hadits, di mana Nabi Saw bersabda kepada Umar r.a :
اَلْآنَ يَا عُمَرُ
“ Sekarang sempurnalah imanmu wahai Umar ! ” (Shahih Bukhari 8/129 , Musnad Ahmad 37/180, Musnad al-Bazzar 8/383, al-Mu’jam al-Ausath 1/102
 Jadi bagaimana mungkin seseorang yang imannya sempurna masih menegak khamar. Kalaulah kita masih membenarkan argumentasi ustad BU, berarti Nabi Saw-lah yang salah dan Ustad BU-lah yang benar. 

Kelompok sunni kebingungan atas tafsir hadits 12 khalifah ?

Ustad BU dengan kecongkakannya dan memandang remeh kepada “ para ulama ahlussunnah ” menganggap kebingungan dalam memahami hadits 12 khalifah yang banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits dan tarikh. Ustad BU mengatakan pada hal 25-26 demikian : “ al-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa menyebut 4 khalifah yang terkenal ditambah dengan al-Hasan, Muawiyah, Ibnu Zubair dan Umar bin Abdul Aziz……….lalu ia menulis- kan “ Lalu siapa yang ke-12 ? Sekiranya al-Suyuthi hidup sampai akhir abad ke-12 mungkin ia akan menyebut ia adalah Muhammad bin Abdul Wahhab, hingga jumlahnya genap 12. Atau mungkinkah ia Mirza Ghulam Ahmad  ? “
Dengan menghina salah satu simbol yang diagungkan oleh muslim ahlussunnah, dapat dipastikan bahwa ustad BU memang termasuk pengikut syiah yang tidak terpimpin (Rafidhah). Baiklah kita mulai kajian ilmiahnya.
Hadits pertama :
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: «إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ لَا يَنْقَضِي حَتَّى يَمْضِيَ فِيهِمِ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً» ، قَالَ: ثُمَّ تَكَلَّمَ بِكَلَامٍ خَفِيَ عَلَيَّ، قَالَ: فَقُلْتُ لِأَبِي: مَا قَالَ؟ قَالَ: «كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ»
“ dari Jabir bin Samurah, berkata : aku dan ayahku datang kepada Nabi Saw dan mendengarnya bersabda : “ Urusan umat ini tidak berlalu selama mereka dipimpin 12 orang. Kemudian beliau berbicara perlahan kepada ayahku. Aku bertanya kepada ayahku, “ Apa yang Rasulullah Saw katakan ? “ Beliau bersabda : “ Semuanya berasal dari Quraisy ” (Shahih Muslim 3/1452-1453)
Hadits kedua :
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا يَزَالُ هَذَا الدِّينُ قَائِمًا حَتَّى يَكُونَ عَلَيْكُمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً، كُلُّهُمْ تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الْأُمَّةُ» ، فَسَمِعْتُ كَلَامًا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ أَفْهَمْهُ، قُلْتُ لِأَبِي: مَا يَقُولُ؟ قَالَ: «كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ
“ dari Jabir bin Samurah, berkata : aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “ Tidaklah akan tegak agama ini sehingga datangnya 12 khalifah, semuanya berasal dari Quraisy yang menyatukan semua umat, apa yang disabdakan Nabi Saw aku tidak paham, maka kau bertanya kepada ayahku : apa yang disabdakan beliau ?. Ayahku berkata : “ Semuanya berasal dari Quraisy ” (Sunan Abu Dawud 4/106)
Diriwayatkan pula dalam kitab-kitab lainnya seperti dalam :
Musnad Ahmad : riwayat  Jabir bin Samurah
Musnad al-Bazzar riwayat : Jabir bin Samurah dan Abi Juhayfah
Musnad Abu Ya’la : riwayat  Jabir bin Samurah
Shahih Ibnu Hibban : riwayat  Jabir bin Samurah
Al-Mu’jam al-Ausath : Jabir bin Samurah dan Abi Juhafah
Al-Mu’jam al-Kabir : Jabir bin Samurah
Al-Mustadrak : Jabir bin Samurah

Jawaban pertama : hadits ini hanya diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah dan Abu Juhaifah, tidak ada pembesar sahabat lain yang meriwayatkannya. Misalnya Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Umar bahkan Imam Ali sendiri pun tidak termasuk dalam deretan perawi tersebut. Apabila pengangkatan 12 khalifah ini menjadi sesuatu yang dianggap penting dalam tubuh Islam, mengapa Nabi Saw hanya membisikan hal tersebut kepada ayahnya Jabir bin Samurah atau ayahnya Abu Juhaifah ? Mengapa tidak mengumumkannya dalam khutbah-khutbah beliau atau meng- adakan pertemuan yang sudah biasa beliau lakukan ? Tokh, tidak akan ada satu pun sahabat yang berhak memprotesnya bukan ? Karena keputusan Nabi Saw adalah keputusan Allah juga.

Jawaban kedua : Apabila pengangkatan 12 khalifah dianggap suatu kewajian menurut akidah Islam, mengapa Imam Ali tidak menerima wasiat penunjukkan 12 khalifah beserta keturunan beliau ? Tidak rasional bila Nabi Saw yang memiliki sifat shiddiq, fathanah,  dan amanah tidak men-tabligh-kannya kepada para sahabat lain, padahal ini adalah suatu hal yang sangat penting bagi kepemimpinan Islam di masa yang akan datang. Dan apabila Nabi Saw kita yakini benar tidak men-tabligh-kan hal tersebut, maka gugurlah salah satu sifat kenabiannya, dan itu hal yang mustahil dan tidak bisa kita terima.

Jawaban ketiga : dari sekian puluh riwayat, tidak sekali pun Nabi Saw menyatakan bahwa yang berhak menjadi 12 khalifah semuanya keturunan Imam Ali sebagaimana yang diyakini oleh kaum Syiah. Pertanyaan kami, jadi manakah hadits shahih yang memuat nama ke-12 imam tersebut ?
Jawaban keempat :
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ، أَخْبَرَنِي حَمَّادٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ، عَنْ سَفِينَةَ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اَلْخِلَافَةُ ثَلَاثُونَ سَنَةً، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا, ثُمَّ قَالَ: أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِي بَكْرٍ سَنَتَيْنِ، وَخِلَافَةَ عُمَرَ عَشْرًا وَعُثْمَانَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً، وَعَلِيٍّ سِتًّا

“ Mengabarkan kepada kami Ali, mengabarkan kepadaku Hammad, dari Sa’id bin Jumhan, dari Safinah (Maula Nabi Saw) berkata : “ aku mendengar Nabi Saw bersabda : “ Kekhalifahan masanya 30 tahun, kemudian (diteruskan) dengan kerajaan, kemudian beliau bersabda : awal kekhalifahan ada pada Abu Bakar selama 2 tahun, kemudian kekhalifahan Umar selama 10 tahun, kemudian Utsman 12 tahun dan Ali 6 tahun (semuanya pas 30 tahun) ”

Hadits ini jauh lebih kuat dan kokoh dibandingkan hadits 12 khalifah yang dibawa- kan oleh penulis Syiah. Hadits ini terdapat dalam :

Sunan Turmudzi 4/503 : riwayat Sa’id bin Jumhan dengan tidak menyatakan lamanya memerintah ke-4 Khalifah
Musnad Ishaq bin Rahawaih 4/163 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 6/363 : Abdullah bin Umar
As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad 2/591 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
Fadhail ash-Shahabah 1/478, 1/388, 2/601 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
 Musnad Ahmad 30/357, 36/248, 36/250, 36/252 : riwayat Safinah bin Abdurrahman dan Khudzaifah bin Yamani
al-Ahaadits wal Mutsani, Ibn Abi Ashim 1/116, 1/129 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
as-Sunnah, Ibn Abi Ashim 2/562, 2/563, Lisunnah : riwayat Safinah bin Abdurrahman
Musnad ar-Ruyani 1/439 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
as-Sunnah, Abu Bakr ibn Khalal 2/411, 2/421 : riwayat Safinah bin Abdurrahman dan Abu Abdillah
Syarh Musykil wal Atsar 8/414 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
Shahih Ibnu Hibban 15/35, 15/36 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
asy-Syari’ah, al-Ajari 4/1703, 4/1706, 4/1760 : riwayat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khudzaifah, Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash  dan Safinah bin Abdurrahman
al-Mu’jam al-Kabir 1/54, 1/55, 1/90, 13/328  riwayat Abdullah bin ‘Amr dan Safinah bin Abdurrahman
Syarh Ushul ‘Itiqad Ahlussunnah wal Jama’ah 8/1469, 4/1480 : riwayat Ali bin Zaid dari Abdurrahman bin Abu Bakrah
Fadhail Khulafa ar-Rasyidin, al-Abu Nu’aim Ashabani 1/168 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhlah 2/1174 : riwayat Ali bin Zaid dari Abdurrahman bin Abu Bakrah
Syarh as-Sunnah, al-Baghawi 14/74, 14/75 : riwayat Safinah bin Abdurrahman
Mu’jam, ibn Asakir 1/112 : riwayat Safinah bin Abdurrahman

Dalam riwayat ini, Nabi Saw sendiri yang memetakan lamanya pemerintahan para al-Khulafa ar-Rasyidin. Kalimatnya jelas, tidak samar dan tidak sambil berbisik. Dan hadits ini pun terjadi sebagaimana kepemimpinan dalam Islam. Suka atau tidak, kepemimpinan Islam yang dilakukan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin sudah sesuai dengan sabda Nabi Saw dan kehendak-Nya. Sama seperti ketika Jibril mendatangi Nabi Saw dan memberitahukan peris- tiwa pembunuhan yang akan terjadi kepada cucunda tersayangnya, yaitu al-Husain bin Ali r.a yang akan terjadi di padang Karbala. Berita ini tersebar luas di kalangan sahabat dan tidak ada yang ditutup-tutupinya. Kelebihan hadits tersebut diriwayatkan lebih banyak perawinya, mereka adalah : Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Khudzaifah, Abdurrahman bin Abu Bakrah, Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, Abu Abdillah, Ali bin Zaid dan Safinah bin Abdurrahman.
Di dalam salah satu kriteria keshahihan sebuah hadits dalam metode ahlussunnah dikatakan : “ Terkadang sanadnya shahih, diukur dengan lima kriteria yaitu : muttasil, adil, periwayatnya dhabit, sanadnya tidak syadz dan tidak mengandung ‘illat qadihah, tetapi ada hadits lain yang lebih shahih dan lebih kuat sanadnya, dan hadits kedua ini berbeda dengan hadits pertama, serta keduanya dimungkinkan bersama-sama bersumber dari Nabi Saw. Dengan demikian, hadits pertama memiliki sanad shahih, tetapi matannya syadz, dan dinilai sebagai hadits dhaif, meski pun sanadnya shahih. Sedangkan hadits kedua memiliki sanad shahih dan matannya mahfuzh, dan dinilai sebagai matan yang shahih. Bila sanad suatu hadits dinyatakan shahih, dan matannya juga tidak syadz serta tidak mengandung ‘illat, maka hadits itulah yang disebut shahih matan dan shahih sanad-nya. (Metodologi Kritik Matan Hadits hal. 18)
Hadits pertama tentang 12 khalifah dinyatakan sebagai hadits yang memiliki sanad  syadz. Maksudnya adalah, sering terjadi sanad itu shahih bila diukur dengan 3 kriteria sebelumnya yaitu : muttasil, adil dan perawinya dhabit, tetapi ada sanad lain yang berbeda, yang nilainya lebih kuat karena adanya lebih banyak perawi tsiqah yang berbeda dengan periwayat-periwayat pada sanad pertama atau karena mereka memiliki daya hafal atau kete- litian lebih dibandingkan periwayat-periwayat pada sanad pertama. Dalam kondisi seperti ini, sanad pertama dinilai dhaif, dan biasa dikenal dengan istilah sanad syadz, sedang sanad syadz yang lain menjadi kuat, dan biasa dikenal dengan istilah sanad mahfuzh. (Metodologi Kritik Matan Hadits hal. 19)
Hadits 12 khalifah hanya bersumber dari 2 perawi saja, sedangkan hadits penetapan keempat al-Kulafa ar-Rasyidin bersumber dari 8 perawi yang sudah jelas memiliki bobot lebih baik dibandingkan perawi yang berada pada hadits 12 khalifah. Oleh karena itu, hadits-12 khalifah kedudukan terakhirnya sebagai hadits dhaif karena memiliki syadz as-sanad. Sedangkan hadits penetapan keempat al-Khulafa ar-Rasyidin kedudukan akhirnya sebagai hadits shahih dengan sanad mahfuzh. Ditambah dengan kedudukan para perawi yang terdapat dalam penetapan keempat al-Khulafa lebih tsiqah dan dhabit dibanding perawi dalam hadits 12 khalifah.

Jawaban kelima :

عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَوَّلَ دِينِكُمْ بَدَأُ نُبُوَّةٍ وَرَحْمَةٍ، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ وَرَحْمَةٌ، ثُمَّ يَكُونُ مُلْكًا وَجَبْرِيَّةً، يُسْتَحَلُّ فِيهَا الدَّمُ
“ dari ‘Ubaidah ibn al-Jarrah ia berkata : bersabda Rasulullah Saw : “ Sesungguhnya agama kalian diawali dengan sistem kenabian dan kasih sayang, kemudian disusul dengan sistem kekhalifahan dan kasih sayang, kemudian disusul dengan sistem kerajaan dan kediktatoran “ (Musnad al-Bazzar 4/108, al-Mu’jam al-Ausath 1/157 riwayat Abu Tsa’labah (derajat hadits hasan)
Dalam hadits ini pun Nabi Saw yang menjanjikan, bahwa setelah sistem kenabian dan kasih sayang, akan diteruskan dengan sistem kekhalifahan dan kasih sayang. Jadi bagaimana mungkin kita bisa mengamini orang-orang yang mengatakan bahwa sistem kekhalifahan yang dipimpin oleh keempat sahabat utama ada salah satunya yang melenceng dari ajaran agama ? Kemungkinan terbesarnya adalah berita-berita bohong yang disebarluaskan demi kepentingan kelompok tertentu atau demi menuhankan hawa nafsunya. Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim.
Akan tetapi, bila kita tetap tidak meyakini sejumlah hadits yang begitu kokoh ini, dan terus-menerus menerima dan meyakini berita-berita tentang keburukan atau ketidakadilan Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a. Maka dalam hal ini Nabi Saw dan Allah telah salah memilih dan menunjuk mereka sebagai pemimpin Islam. Dan ini sesuatu yang mustahil. Tidak ada pilihan lain, kecuali meyakini dan membenarkan pilihan Allah dan Rasul-Nya tentang keempat Khalifah ar-Rasyidin ini. 
Jawaban keenam :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْعَبَّاسِ: إِذَا كَانَ غَدَاةَ الِاثْنَيْنِ فَأْتِنِي أَنْتَ وَوَلَدُكَ حَتَّى أَدْعُوَ لَهُمْ بِدَعْوَةٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا وَوَلَدَكَ» ، فَغَدَا وَغَدَوْنَا مَعَهُ فَأَلْبَسَنَا كِسَاءً ثُمَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْعَبَّاسِ وَوَلَدِهِ مَغْفِرَةً ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً لَا تُغَادِرُ ذَنْبًا، اَللَّهُمَّ احْفَظْهُ فِي وَلَدِهِ
“ Dari Ibnu Abbas r.a, berkata : bersabda Rasulullah Saw kepada Abbas : “ Besok pada hari Senin datanglah kamu dan anakmu agar kubacakan satu doa untukku. Dengan doa ini Allah Swt akan memberi manfaat bagimu dan anakmu. Kemudian beliau keluar rumah di pagi hari dan kami mengikutinya. Lalu beliau mengenakan pakaian pada kami seraya berdoa : “ Ya Allah, ampunilah Abbas beserta anaknya dengan ampunan lahir dan batin sehingga tidak menyisakan dosa sedikit pun. Ya Allah, jagalah dia dan anak keturunannya “. (Sunan Turmudzi 5/653 , Musnad al-Bazzar 11/381, Fadhail ash-shahabah 2/934, as-Sunnah, Ibu Abi Bakr bin Khalal 1/89, (derajat hadits hasan)
Dalam hadits ini Nabi Saw mendoakan Ibnu Abbas agar Allah menjaganya dan anak keturunannya. Banyak para ulama yang menafsirkan, agar keturunan Ibnu Abbas dapat menjadi khalifah atau raja setelah Nabi Saw wafat. Penafsiran para ulama tersebut dibenar- kan oleh hadits Nabi Saw berikut ini.
Jawaban ketujuh :
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ، أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ: فِيْكُمُ النُّبُوَّةُ وَالْمَمْلُكَةُ
“ dari Abu Hurairah, ia berkata : “ Bersabda Rasulullah Saw kepada Abbas : “ Bagimu risalah kenabian dan kerajaan  ” (Musnad al-Bazzar 16/60 , Mukhalashiyah 3/109 (derajat hadits dhaif)
Dalam sabdanya “ Bagimu risalah kenabian “ merupakan ilmu yang mendalam dan luas bagi Ibnu Abbas, sedangkan dalam sabdanya “ dan kerajaan “ maksudnya adalah bagi anak keturunannya sebagaimana hadits sebelumnya di mana Nabi Saw mendoakan keselama- tan bagi Ibnu Abbas dan keturunannya agar mendapat manfaat. Dan dalam sejarah kepemim- pinan Islam terbukti bahwa anak keturunannya Ibnu Abbas dapat memerintah selama 620 tahun. Walau pun derajat hadits ini dhaif  tetapi pada kenyataannya benar-benar shahih terjadi. Oleh karena itu jangan pernah meremehkan hadits dhaif.

Jawaban kedelapan :

عَنْ ثَوْبَانَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُرِيتُ بَنِي مَرْوَانَ يَتَعَاوَرُونَ مِنْبَرِي فَسَاءَنِي ذَلِكَ، وَرَأَيْتُ بَنِي الْعَبَّاسِ يَتَعَاوَرُونَ مِنْبَرِي، فَسَرَّنِي ذَلِكَ
“ Dari Tsauban r.a berkata : sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : “ Aku bermimpi melihat Bani Marwan (Bani Muawiyah) bergantian naik ke atas mimbarku dan aku merasa sedih karenanya. Lalu aku bermimpi melihat Bani Abbas bergantian naik ke atas mimbarku dan aku merasa senang karenanya  ” (Al-Mu’jam al-Kabir 2/96 (derajat hadits hasan)
Dalam sabdanya “ Lalu aku bermimpi melihat Bani Abbas bergantian naik ke atas mimbarku dan aku merasa senang karenanya  ”, dengan mimpi Nabi Saw ini semakin meyakinkan kita, bahwa keabsahan hadits 12 khalifah semakin samar. Karena mustahil mimpi Nabi Saw tidak terbukti. Dalam hadits ini Nabi Saw tidak mengatakan, “Lalu aku bermimpi melihat 12  imam  bergantian naik ke atas mimbarku dan aku merasa senang karenanya  ”. Kemudian dalam sabdanya “ Aku bermimpi melihat Bani Marwan bergantian naik ke atas mimbarku dan aku merasa sedih karenanya ”, jelaslah bahwa Nabi Saw tidak pernah merasa bahagia dengan kekhalifahan Bani Umayah. Salah berat apabila ada sebagian kaum Syiah yang mengatakan bahwa muslim Sunni mengakui keabsahan dan merasa bahagia dengan kepemimpinan khalifah Bani Umayah. Dan bila ada muslim Sunni yang  mengakui keabsahan kepemimpinan khalifah Bani Umayah kecuali Umar bin Abdul Aziz, sangat dimungkinkan mereka belum mengetahui hadits ini atau mereka termasuk pengikut Ibnu Taimiyah, Salafi Wahabi atau memang mereka benar-benar tidak mengetahui hadits-hadits di atas tersebut.
Dikatakan pula dalam tafsir Ruhul Bayan, Imam Ismail Haqqi al-Buruswi mengatakan : “ Dalam Insaanul Uyun dikatakan : “ Marwan adalah penyebab kematian Utsman bin Affan r.a. Dan Abdul Malik, yaitu anak Marwan merupakan sebab bagi kematian Abdullah bin Zubair r.a. Pada al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik telah terjadi aneka kejadian yang mengerikan “ (Ruhul Bayan 4/406)
Penulis berkata : “ Rasulullah Saw melihat keturunan Umayyah dalam sosok kera. Beliau melaknat mereka dengan mengatakan :
وَيْلٌ لِّبَنىِ أُمَيَّةَ
“ Kecelakaanlah bagi bani Umayah ”
Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Tidaklah lahir dari mereka kebaikan kecuali sangat sedikit.
Dampak lain dari ke-dhaif-an hadits 12 khalifah ini, maka secara otomatis gugur pula hadits tentang penunjukkan Imam Ali sebagai washi, wazir dan khalifah ke-1 setelah Nabi Saw itu, itu pun kalau hadits tersebut benar-benar shahih. Karena tidak mungkin terjadi dua buah hadits yang kedua-keduanya dianggap shahih dalam masalah kepemimpinan ini dalam sebuah masa. Sedangkan sejarah telah mencatat kebenaran berada pada hadits penunjukkan keempat al-Khulafa ar-Rasyidin. Dan untuk membuktikan kebenaran logika ala NU ini mari kita lihat kedudukan akhir hadits-hadits yang menunjuk Imam Ali sebagai washi, wazir dan khalifah ke-1 setelah Nabi Saw.
Hadits pertama :
حَدَّثَنَا هَيْثَمُ بْنُ خَلَفٍ قثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَرَ الدُّورِيُّ قثنا شَاذَانُ قثنا جَعْفَرُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ مَطَرٍ، عَنْ أَنَسٍ، يَعْنِي: ابْنَ مَالِكٍ، قَالَ: قُلْنَا لِسَلْمَانَ: سَلِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَصِيُّهُ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ وَصِيُّكَ؟ قَالَ: «يَا سَلْمَانُ، مَنْ كَانَ وَصِيَّ مُوسَى؟» قَالَ: يُوشَعُ بْنُ نُونٍ، قَالَ: " فَإِنَّ وَصِيِّي وَوَارِثِي يَقْضِي دَيْنِي، وَيُنْجِزُ مَوْعُودِي: عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ
“ Mengabarkan kepada kami Haisyam bin Khalaf mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Umar ad-Duriyyu mengabarkan kepada kami Ja’far bin Ziyad, dari Mathar dari Anas, yakni Ibnu Malik, berkata : aku bertanya kepada Salman  : (tolong) tanyakan kepada Nabi Saw siapakah washi beliau, maka ditanyakan hal itu oleh Salman : Ya Rasulullah, siapakah washi anda ? Nabi Saw menjawab : Ya Salman siapakah yang menjadi washi Musa ? Salman menjawab : Yusa bin Nun, Nabi Saw bersabda : “ Sesungguhnya washiku dan pewarisku (yang) melunasi hutangku dan (yang) menepati janjiku adalah Ali bin Abi Thalib ” (Fadhail ash-Shahabah 2/615 (derajat hadits dhaif/maudhu)
Jawaban kesembilan : di dalam rangkaian hadits tersebut terdapat nama Mathar, yakni Mathar bin Maimun al-Iskaf. Al-Bukhari, an-Nasai, Abu Hatim dan as-Saji berkata : “ Dia adalah perawi yang haditsnya mungkar “ (Mizan al-I’tidal 4/127). al-Hafizh Ibnu Hibban berkata : “ Ia adalah salah seorang yang meriwayatkan hadits-hadits maudhu (palsu) dari para perawi yang kuat. Ia meriwayatkan hadits yang berasal Anas r.a yang bukan termasuk haditsnya mengenai keutamaan Ali dan lainnya. Tidak boleh meriwayatkan hadits darinya “ (Al-Majruhin 3/5)

Maksud dari hadits maudhu adalah : hadits palsu yang dibuat dengan memasukkan namanya dalam rangkaian perawi dhabit atau tsiqah, agar hadits yang dibawakannya itu dianggap dhabit dan maqbul. Jadi jelaslah, bahwa membawakan hadits ini sebagai hujjah penguatan hadits Ali r.a sebagai washi dan wazir merupakan tindakan yang tidak layak digunakan di kalangan para ulama hadits.
Hadits kedua :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْحَضْرَمِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ الثَّعْلَبِيُّ، ثنا يَحْيَى بْنُ يَعْلَى، عَنْ نَاصِحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لِكُلِّ نَبِيٍّ وَصِيٌّ، فَمَنْ وَصِيُّكَ؟ فَسَكَتَ عَنِّي، فَلَمَّا كَانَ بَعْدُ رَآنِي، فَقَالَ: «يَا سَلْمَانُ» فَأَسْرَعْتُ إِلَيْهِ، قُلْتُ: لَبَّيْكَ، قَالَ: «تَعْلَمُ مَنْ وَصِيُّ مُوسَى؟» قُلْتُ: نَعَمْ يُوشَعُ بْنُ نُونٍ، قَالَ: «لِمَ؟» قُلْتُ: لِأَنَّهُ كَانَ أَعْلَمُهُمْ، قَالَ: «فَإِنَّ وَصِيِّ وَمَوْضِعُ سِرِّي، وَخَيْرُ مَنْ أَتْرُكُ بَعْدِي، وَيُنْجِزُ عِدَتِي، وَيَقْضِي دَيْنِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ»
“ Mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdillah al-Hadhrami mengabarkan kepada kami Ibrahim bin al-Hasan ats-Tsa’labi, mengabarkan kepada kami Yahya bin Ya’la, dari Nashih bin Abdillah, dari Simak bin Harbi, dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Salman berkata : Ya Rasulullah, setiap Nabi memiliki washi, siapakah washi anda ? Beliau pun terdiam sambil manatapku, bersabda Nabi Saw : Ya Salman, hal ini dirahasiakan atasnya, katakanlah aku memenuhi undanganmu, lalu Nabi Saw bertanya : tahukah engkau siapakah washi Musa : maka Salman menjawab : Ya aku tahu ia Yusa bin Nun, Nabi Saw bersabda : Sesungguhnya ia adalah orang yang alim, Nabi Saw bersabda kembali : Sesungguhnya washiku dan tempatku menyimpan rahasia, dan sebaik-baiknya orang yang aku tinggalkan setelahku, dan menjalankan janjiku, dan (yang) melunasi hutangku (ia) adalah Ali bin Abi Thalib ” (Al-Mu’jam al-Kabir  6/221 (derajat hadits dhaif/maudhu)
Jawaban kesepuluh : di dalam matan (redaksi) hadits tersebut terdapat matan al- gharib (redaksi yang aneh) yaitu ketika Nabi Saw menyatakan “ Ya Salman, hal ini dirahasiakan atasnya ” sampai kalimat ini sudah baik, tetapi setelah itu Nabi Saw membeberkan rahasia yang seharusnya tidak dikatakannya. Menjadi sebuah hal yang kontradiktif menyatukan antara kejujuran dan kebohongan, padahal Nabi Saw pernah bersabda :
لَا يَجْتَمِعُ الْإِيمَانُ وَالْكُفْرُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ، وَلَا يَجْتَمِعُ الْكَذِبُ وَالصِّدْقُ جَمِيعًا، وَلَا تَجْتَمِعُ الْخِيَانَةُ وَالْأَمَانَةُ جَمِيعًا
“ Tidak akan bersatu keimanan dan kekafiran di dalam hati, dan tidak akan bersatu kedustaan dengan kejujuran semuanya, dan tidak pula bersatu khianat dengan amanat semuanya “ (Al-Jami’ Ibnu Wahhab 1/568, 1/633)


Jawaban kesebelas : di dalam rangkaian hadits tersebut terdapat nama Nashih bin Abdullah. Al-Bukhari berkata : “ Haditsnya munkar “. (Mizan al-I’tidal 4/240). Al-Fallas berkata : “ Matruk ” (ditinggalkan). Ibnu Ma’in, “ Tidak ada apa-apanya “.   Adz-Dzahabi berkata : “ Ini adalah hadits munkar “. (Ibid, lihat Siapa Bilang Sunni Syiah Tidak bisa Bersatu hal. 306). Karena hadits ini batil, maka tidak seorang muslim pun diperkenankan untuk berhujjah dengannya.
Jawaban keduabelas :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُبَيْدَةَ بْنِ عَقِيلٍ الْمُقْرِئُ، ثنا أَبِي، ثنا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ حَمَّادٍ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ خَاصَّةً مِنْ أَصْحَابِهِ، وَإِنَّ خَاصَّتِي مِنْ أَصْحَابِي أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا»
“ Mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdillah bin ‘Ubaidah bin ‘Aqil al-Muqarri, mengabarkan kepada kami Abdurrahman bin Hammad, dari al-Amasy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Abdullah, sesungguhnya Nabi Saw bersabda : “ Sesungguhnya setiap Nabi memiliki orang khusus dari sahabatnya, dan sesungguhnya orang khususku dari sahabatku adalah Abu Bakar dan Umar r.a ” (Al-Mu’jam al-Kabir 10/88 (derajat hadits hasan)
Hadits ini walau pun derajatnya hasan, tetapi hadits ini maqbul dan tidak memiliki matan syadz di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa hadits ini lebih kokoh daripada dua hadits di atas tentang penunjukkan Imam Ali sebagai washinya Nabi Saw.
Jawaban ketigabelas :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِكُلِّ نَبِيٍّ خَلِيلٌ فِي أُمَّتِهِ وَإِنَّ خَلِيلِي عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ
“ dari Abu Hurairah, berkata : “ bersabda Rasulullah Saw : “ Sesungguhnya setiap Nabi memiliki orang kekasih dari umatnya, dan sesungguhnya kekasihku adalah Utsman bin Affan r.a ” (Hilyah al-Auliya 5/202 (derajat hadits hasan)
Dari penjelasan hadits di atas, Nabi Saw dengan tegas menyatakan bahwa “ kekasih- nya “ dari umatnya adalah Utsman bin Affan, bukan Abu Bakar, Umar dan Ali r.a. Begitu pula dalam hadits sebelumnya, bahwa yang menjadi orang khusus di kalangan sahabatnya adalah Abu Bakar dan Umar r.a, bukan Utsman bin Affan dan Ali r.a. Begitu pula dalam hadits lain yang menyatakan bahwa Ali r.a. adalah adalah saudara dunia dan akhirat beliau, tidak mengatakan saudara dunia dan akhirat beliau itu kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a.  Semua hadits-hadits ini hanyalah berbagai keutamaan sahabat terdekat Nabi Saw. Dan dapat dipahami, walau pun Nabi Saw dengan kebenaran-Nya menyatakan berbagai perbeda- an tentang keutamaan al-Khulafa ar-Rasyid ini, hal itu tidak menjadikan Nabi Saw men- diskreditkan mereka berempat. Justru yang sangat aneh dan nyeleneh adalah, sebagian dari umat Nabi Saw telah berani mendiskreditkan ketiga sahabat utama selain Imam Ali r.a. Padahal yang paling berhak mendiskreditkan salah satu dari al-Khulafa ar-Rasyidin hanyalah Allah dan rasul-Nya bukan kita semua. Bukankah begitu ustad ?
Dengan diriwayatkannya hadits tentang 12 khalifah oleh para imam ahlussunnah, justru membenarkan bahwa ke 12 khalifah itu benar-benar nyata menurut keyakinan ahlussunnah bukan menurut Syiah. Apabila para imam ahlussunnah meyakini ke 12 khalifah itu sebagaimana keyakinan Syiah, sudah barangtentu mereka akan menjadi orang-orang Syiah bukan menjadi imamnya ahlussunnah.  Mengutip sebuah hadits dengan melemparkan keyakinan asli para muhaditsin-nya merupakan hal yang tercela dan tidak pantas dilakukan seorang pencari kebenaran, apalagi jika mereka masih tergolong orang-orang yang ceroboh dan mengedepankan hawa nafsunya.
Saya anggap cukup penjelasan dalam bab. ini dan semoga seluruh pembaca kembali tercerahkan serta berusaha untuk menata dan membangun kembali tembok keimanan yang sudah retak dengan mengembalikan kesadaran dan kesehatan akal kita secara objektif, adil, dan terawat. Karena Muslim sejati adalah mereka yang senantiasa mencari kebenaran sampai relung terdalam dari yang mampu diusahakannya. Dan muslim sejati adalah mereka yang meneguhkan keyakinan dan ibadahnya dengan mengkaji dalil syar’i dari al-Quran dan hadits yang shahih melalui akal-akal terbaik dan terpilih pula.
Suatu penyimpangan dapat membuat akar-akar kesehatan dan kesadaran akal kita hilang. Sehingga kita mengikuti sesuatu yang terlihat benar, padahal setelah dilakukan peng- kajian lebih mendalam lagi, ternyata sesuatu itu bukanlah kebenaran sejati. Sehingga berten- tangan dengan kemurnian kebenaran itu sendiri. Kebenaran sejati merupakan sumber alami bagi Islam, karena ia bersandar kepada ketundukan hati dan kekuatan logika yang terbebas dari fanatisme yang tercela.