Thursday 11 June 2015

Gusdur di mata Gusdurian

KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan sosok yang istimewa. Beliau memiliki banyak talenta yang tidak dimiliki manusia lainnya. Selain jenius, humoris, berpikiran terlalu maju, pluralis, dan NU banget, Gus Dur memiliki jutaan Gusdurian-nya.   Walhasil, beliau menjadi salah seorang legenda hidup bagi  Indonesia  dan NU itu sendiri. Mengenal NU tanpa mengenal Gus Dur seperti laut tanpa garam. Saya akan kutipkan beberapa pendapat mengenai Gusdur dari para Gusdurian-nya.
Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ mengatakan : “ Dalam sejarah bangsa Indonesia, Gus Dur termasuk dua atau tiga orang yang paling penting, paling utama, paling mengherankan, paling menggelikan, jadi paling agung. Gus Dur amat cocok untuk dibandingkan dengan Proklamator Indonesia yang juga Presiden Pertama kita, Bung Karno. Kalau Gus Dur dibandingkan dengan Bung Karno, maka yang mencolok adalah betapa mereka berbeda, namun betapa lebih mendalam kesamaan mereka. Bung Karno seorang orator tanpa tanding. Ia mengutip tokoh-tokoh dunia. Orang yang menguasai panggung. Bung Karno suka memakai seragam yang cespleng. Gus Dur muncul compang-camping. Orang mencintai Bung Karno dan mencintai Gus Dur. Orang mendengar Gus Dur omong tak jarang juga ngawur sedikit (namun Gus Dur kalau ngawur tidak pernah betul-betuk ngawur dan rakyat yang kenal Gus Dur tahu itu) akan senang, bahkan bangga dan terbangun mendengarkannya. Pada Bung Karno minoritas-minoritas bangsa ini merasa aman, apalagi pada Gus Dur membuat orang menjadi bangga bahwa mereka orang Indonesia.
 Bung Karno wafat dalam keadaan tersingkir dan sepi. Bung Karno mencapai puncak-puncak keterpandangan di dunia, namun hidupnya berakhir dengan tragika yang mendalam. Gus Dur pun diliputi tragika. Ia Presiden RI hanya selama 21 bulan dan tiga hari. Ia berhenti karena diberhentikan oleh MPR RI. Namun, beda dengan Bung Karno, Gus Dur sesudah berhenti sebagai presiden RI tetap menjadi sosok publik yang memikat perhatian rakyat. Bahkan, ia semakin dikagumi, diminati dan dipuja.
Dua-duanya, Bung Karno dan Gus Dur. Adalah manusia dengan hati besar. Dua-duanya Muslim, Gus Dur tentu secara istimewa karena berasal dari keluarga ulama terpandang, cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan kemudian beliau sendiri selama 15 tahun memimpin NU itu. Dua-duanya memperlihatkan kepada bangsa Indonesia bentuk suatu Islam yang dapat merangkul, menghormati, mencintai dan seperlunya melindungi para minoritas.
Gus Dur Jawa tulen, namun orang Jawa yang selalu mampu melihat realitas dari pelbagai segi sekaligus, yang menyadari pentingnya rasa, yang berakar dalam tradisi mistik Jawa yang memang erat sekali bertalian dengan tradisi sufi. Tetapi dua-dunya terutama adalah manusia Indonesia. Dua-duanya nasionalis dalam arti terbaik dan terkuat. Cinta mereka pada bangsa sangat terasa dan bagi rakyat Indonesia berciri simpatik.
Gus Dur mirip dengan sosok Semar dalam pewayangan, mencerminkan sesuatu yang bagi masyarakat Jawa ya masyarakat Indonesia, merupakan tanda kebesaran istimewa. Di Indonesia orang yang betul-betul agung tak perlu kelihatan mentereng dan pongah. Mereka kenal sosok Semar. Semar, abdi para Pandawa yang betul-betul tidak cantik, anak rakyat yang sederhana, oleh para buta (raksasa) dan lawan lain selalu diremehkan. Tetapi sebenar- nya Semar lebih ampuh daripada para dewa dan mereka yang tidak menghiraukan nasihat- nya pasti akan celaka. Sebaliknya para Pandawa, selama menuruti nasihatnya aman.
Bagi orang-orang kecil Indonesia, mereka tidak mudah tertipu oleh kesederhanaan tampang Gus Dur. Mereka merasakan kebaikan, mutu, dan kekuatan bersinar dari pandang biasa Gus Dur. Bagi mereka, ia memang ampuh, ia betul-betul kuat, ia membawa berkat bagi mereka yang bertemu dengannya. Dalam bahasa tradisional : Gus Dur ada wahyunya. Meskipun ia diturunkan sebagai Presiden namun ia tidak kehilangan aura itu. Maka banyak sekali rakyat, ya kita-kita ini kagum dan gembira bahwa pada bangsa Indonesia pernah muncul sosok seperti Gus Dur itu. Karena itulah setiap hari begitu banyak orang ziarah ke makam Gus Dur di Jombang.
SD. Pramono (Ketua Dewan Pembina Yayasan Universitas Presiden) mengatakan : “ Gus Dur, meskipun hanya menjadi Presiden dalam waktu kurang dari dua tahun, pengaruhnya kepada kelangsungan hidup NKRI absolut, artinya negara ini sudah bubar tanpa beliau. Seorang Brahmana menjadi Presiden atau Ksatria dalam konteks kebudayaan Jawa, terpaksa menurunkan statusnya demi menyelamatkan negara dan bersedia mengorbankan dirinya. Tidak aneh kalau kita berkunjung ke makamnya, harum baunya dan suasana damai kita nikmati “.
KH. Husni Hidayat mengatakan : “ Gus Dur adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Basyaiban alias Sultan Hadiwijaya yang menyelamatkan pertikaian kerajaan Demak dari politisasi agama. Anda jangan heran, tatkala semasa hidupnya, Gus Dur sering mengunjungi Sang Joko Tingkir ini, di Pringgoboyo, Lamongan. Seorang datuk yang merupa- kan seorang ulama sekaligus pahlawan nasional. Dari beberapa hal yang saya sebutkan, Gus -Dur memiliki darah pendekar bangsa, yang diimbangi dengan nuansa keagamaan yang kental. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman Addakhil, seorang penakluk yang mendobrak bangsa ini dari keterbelakangan. Jadi, bila dirunut dari darah birunya, dan kapabilitas intelektualnya Gus Dur adalah tokoh segala-galanya.
Ibarat sebuah bangunan, Indonesia memerlukan banyak pasak atau sokoguru. Maka, saya memposisikan Gus Dur sebagai salah satu pasak negara ini. Mengapa ? Coba anda perhatikan, ormas Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang identik dengan tradisio- nalisme, kaum sarungan, dan orang-orang ndeso. Tapi, setelah Gus Dur menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama, eksistensi NU tidak hanya memberikan sisi progesif bagi bangsa Indonesia, tapi diakui oleh dunia internasional, diantaranya tokoh-tokoh barat banyak yang tertarik untuk mengkaji Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama sekarang, tidak hanya dibatasi dengan literatur-literatur lokal, tetapi juga turut mewarnai ensiklopedia inter- nasional.
Di sisi lain, kaum non-muslim banyak yang menganggap Gus Dur adalah sang penyelamat, karena Gus Dur tidak hanya seorang muslim yang berjuang untuk orang-orang Islam saja, tapi juga memusnahkan ketertindasan yang dialami orang-orang non muslim di Indonesia, seperti orang-orang Cina yang dilarang untuk merayakan hari Imlek dan orang-orang Kristen yang selalu dianggap sebagai kaum yang layak diperangi.
Al-Quran menyebutkan :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَاالنَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“ dan orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka  ”  (QS. 2 / al-Baqarah : 120)
Ayat tersebut diaktualisasikan dalam tafsir sang Abdurrahman Wahid sebagai keyaki- nan terhadap identitas agama masing-masing. Jadi, bukan orang Yahudi dan nashrani yang membenci muslim, lantas harus diperangi, tapi seorang muslim harus berani bersaing secara sehat dengan Yahudi dan Nashrani untuk mengembangkan ajaran Islam. Kenapa kita harus takut dengan Kristenisasi dan Yahudisasi, sementara kita sendiri berlomba-lomba untuk melakukan Islamisasi. Islam adalah agama universal, keberadaannya untuk mengayomi alam semesta, sebagaimana Rasulullah Saw diutus bukan untuk memerangi orang-orang kafir, tapi untuk menyelamatkan mereka dari penyakit kekufuran.
Kaum minoritas tidak disingkirkan oleh Gus Dur, tapi diberikan hak hidup dan dibebaskan untuk menentukan pilihannya. Saya teringat Jendral Tharik bin Ziyad tatkala menaklukan Andalusia (Spanyol). Penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Islam tempo dulu untuk menyelamatkan manusia dari ketertindasan, bukan agar mereka memeluk agama Islam dan menjalankan syariatnya. Tak heran bila dikenal istilah kafir dzimmi (non muslim yang tidak bermaksud memerangi Islam) dalam literatur Islam.
Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانىِ
“ Barangsiapa yang memusuhi (kafir) dzimmi sesungguhnya ia memusuhiku ”
Artinya siapa yang memusuhi non muslim atau kelompok minoritas yang dilindungi oleh bangsa dan negara, berarti memusuhi Rasulullah Saw.
Gus Dur sebagai tokoh moderat yang pernah belajar di Mesir sudah sepatutnya menjadi figure. Gus Dur selalu hadir sebagai penyeimbang, tatkala kebanyakan orang berbondong-bondong menuju arah kanan, Gus Dur mengingatkan arah kiri, dan sebaliknya. Jadi bagi saya itu bukan sesuatu yang nyeleneh, tapi merupakan stabilisasi keadaan agar tidak timpang dan carut-marut. Meneladani Gus Dur dari sisi ideologi harus dipandang dengan pikiran terbuka dan wawasan yang luas, walau sering tidak dipahami oleh kebanyakan orang. Dengan catatan, keterbukaan ideologis yang difahami tetap pada khittah organisasi dan tidak menyimpang.
Gus Dur adalah sosok nasionalis sejati, tidak hanya harta dan benda yang beliau korbankan untuk bangsa dan negara ini, namun beliau sering lupa akan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Pernah terjadi tatkala beliau menjadi Presiden, dokter kepresidenan kebingungan karena beliau kencing darah, tapi ternyata beliau menganggap dengan enteng dan santainya : “ Saya yang kencing darah, kok kalian yang repot ..!! “. Sebuah kepribadian yang patut kita contoh karena sangat perduli terhadap kemaslahatan orang lain, bangsa dan negara, hingga tidak menghiraukan dirinya sendiri.
Gus Dur seorang pengamal tarekat, Kyai Sonhaji dari Kebumen yang menjadi mursyid tarekatnya, banyak memberikan pencerahan terhadap dimensi spiritualnya, seperti memaknai hadits :
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“ Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah ” (Sunan Turmudzi 4/339 (derajat hadits shahih)

Tidak hanya diartikan secara tekstual, dengan kata lain, senyum adalah sedekah. Akan tetapi hakikatnya senyum adalah sebuah wujud solidaritas kepedulian seseorang terhadap orang lain.
Manifestasi Nasionalisme Gus Dur adalah cerminan seseorang yang selalu menyempurnakan imannya, karena Hubbul wathan minal imam. Di sisi lain, Gus Dur sering dihujat karena keyakinannya untuk membela yang lemah dan teraniaya, seperti membela Ahmadiyah yang secara undang-undang tidak bisa dilarang dan diusir dari bumi Indonesia, walaupun secara ideology, Gus Dur bukanlah seorang Ahmadiyah. Tuduhan Syi’ah, sesat, antek Zionis dan sebagainya sering diterimanya dengan lapang dada. “ Gitu aja kok repot “ balasan santainya yang masyhur di antara kita.
Bagi Gus Dur, melawan sebuah kemungkaran harus dengan strategi dan tehnik yang teratur dan mengena sasaran. Adagium Arab menyatakan : “ Man ‘arafa lughata qawmin amina min makhrihim “, terjemahan bebasnya, sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan, bisa dilakukan dengan hal-hal yang menurut kita tak terduga. Gus Dur memanifestasikan kasih sayang itu tidak hanya di Indonesia, nemun juga di seluruh dunia. Semoga kita bisa menteladani beliau agar Gus Dur hidup kembali spiritnya untuk menebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan ruhamatan lil muslimin, rahmat bagi semesta alam, bukan hanya rahmat bagi orang Islam.

No comments:

Post a Comment