Thursday 11 June 2015

Masalah Furuiyah Dalam Kacamata Kyai NU

Dari segi kata, ikhtilaf berarti tidak sama atau tidak sepakat. Menurut ulama, ikhtilaf atau khilaf memiliki dua arti.
Pertama, perlawanan, perpecahan, perdebatan, dan benturan yang mengakibatkan permusuhan dan kebencian.
Kedua, perbedaan pendapat dan sudut pandang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan dan informasi.
Ikhtilaf dalam perkara agama merupakan suatu perkara yang lazim terjadi, bahkan dikalangan sahabat Nabi Saw  pun ikhtilaf sudah terjadi. Ikhtilaf diantara manusia merupa- kan perkara yang wajar. Hal tersebut terjadi dikarenakan kemampuan, pemahaman, wawa- san, wacana, dan sumber ilmu yang berbeda-beda.
Perselisihan juga masih bisa dikatakan sesuatu yang wajar apabila muncul karena sebab yang masuk akal, dan bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta terhadap suatu mazhab atau dikarenakan hanya mempertahankan satu pendapat saja. Para  ulama salaf  yang merupakan generasi  terbaik  dari  umat Islam telah terbukti sangat menjaga tata krama, atau adab dalam menghadapi permasalahan tentang khilafiyah ini. Mereka adalah  sebaik- baiknya contoh  yang  harus  ditiru  oleh  kita, bukan hanya ajaran fikihnya saja tetapi akhlaknya pun harus kita ikuti dan amalkan.
Ikhtilaf ada yang diperbolehkan dan adapula yang dilarang. Yang diperbolehkan adalah seputar masalah furu’ (cabang), yaitu hal-hal yang bersifat zhanni atau yang mengan- dung berbagai penafsiran, tersembunyi dan diperselisihkan oleh para ulama. Sedangkan yang tidak dibolehkan berikhtilaf adalah dalam masalah akidah yang sudah jelas dalil atau nashnya secara qoth’i.
Dalam ikhtilaf ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah :
Bahwa ikhtilaf dalam masalah fikih pasti terjadi.
Ikhtilaf bukan untuk memecah belah umat.
Aib ikhtilaf terdapat dalam fanatisme bermazhab.
Tidak ada paksaan dalam masalah ijtihad
Ikhtilaf merupakan rahmat dan keleluasaan dalam syariat.
Yang dijadikan patokan adalah esensi bukan nama atau istilah.

Adapun adab dalam ikhtilaf adalah, ikhlas dalam mencari kebenaran, keinginan kuat untuk bersatu, menjalin ukhuwah dengan harmonis, bersikap objektif dan berbuat adil terhadap pihak yang memiliki pendapat yang berbeda, berdiskusi di bawah naungan payung keindahan akhlak, menjauhi fanatisme mazhab yang berlebihan, tidak mengingkari ikhtilaf yang mu’tabar serta meninggalkan perkara yang tidak menghasilkan pahala.
Para Ulama telah membagi ikhtilaf menjadi berbagai dimensi, diantaranya adalah :
Ikhtilaf tanawwu, yaitu mengenai berbagai macam pendapat tetapi semuanya tertuju kepada maksud yang sama, tetapi salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Misalnya, sebagian ahli tafsir ada yang memberikan arti pada kalimat shiratal mustaqim dengan Al-Quran, As-Sunnah, Islam atau jama’ah. Semua pendapat ini tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan saling memperkuat antara satu dengan yang lainnya.

2. Ikhtilaf Tadhad, yaitu tentang pendapat-pendapat yang bertentangan yang mana masing-masing pendapat orang yang berselisih tersebut berlawanan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan pendapat salah satunya bisa dikatakan salah. Misalnya dalam satu perkara ada ulama yang mengatakan halal dan ada yang mengatakan haram. Dalam pendapat seperti ini tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengambil pendapat berdasarkan hawa nafsunya tanpa melihat kepada akar permasalahan yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil-dalil yang ada.
3. Ikhtilaf Afham, yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal seperti ini diper- bolehkan tetapi dengan berbagai syarat, diantaranya harus berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah, tidak menyalahi manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk kepada orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
Adapula para ulama yang membagi ikhtilaf menjadi dua dimensi, yaitu :
1. Ikhtilaful Qulub, yaitu perbedaan dan perselisihan hati dan yang  termasuk  didalamnya adalah tafarruq atau perpecahan dan setiap perpecahan harus ditolak dan tidak bisa ditolelir. Contohnya, hasud atau dengki terhadap berbagai pemikiran orang yang masih berada dalam bingkai furu’iyah (cabang).
2. Ikhtilaful ‘uqul wal Afkar, yaitu perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman, yang juga terbagi menjadi ikhtilaf dalam berbagai masalah ushul (prinsip). Hal ini pun termasuk ke dalam hal yang bisa mendatangkan tafarruq atau perpecahan, sehingga harus ditolak dan tidak bisa ditolelir. Misalnya, ada suatu kelompok yang menyatakan bahwa untuk mengambil sumber hukum itu cukup dengan Al-Quran saja tidak perlu bantuan dari As-Sunnah, atau sebaliknya.
Setiap tafarruq merupakan ikhtilaf, tetapi tidak setiap terjadi ikhtilaf mendatangkan perpecahan. Namun setiap terjadi ikhtilaf dimungkinkan sebagai suatu potensi untuk terjadinya perpecahan yang disebabkan oleh pengaruh hawa nafsu, sempit dan dangkalnya wawasan keagamaan, tidak menjaga moralitas dan etika dalam berbeda pendapat.
Sebab terjadinya perselisihan pendapat dikalangan ulama dalam suatu hukum diantaranya sebagai berikut :
Pertama, karena belum sampainya dalil. Ini tidak hanya terjadi di zaman sabahat, bahkan dizaman tabi’in, tabi tabi’in, ulama salaf sampai zaman kita sekarang ini.
Kedua, adakalanya hadits telah sampai dikalangan orang alim namun dia belum percaya secara penuh kepada pembawa beritanya. Dia beranggapan bahwa hadist tersebut tidak lebih kuat dari hadist yang dia miliki, sehingga dia mengambil hadist yang lebih kuat menurut perkiraannya.
Ketiga, hadits telah sampai kepada para ulama, namun adakalanya dia lupa atau telah meninggal dunia sehingga hadits yang dimilikinya tidak sempat tersampaikan kepada orang lain.
Keempat, dalil telah tersampaikan kepadanya, namun dia tidak memahami hadits tersebut sesuai dengan maksud yang tersurat ataupun tersirat didalamnya.
Kelima, telah sampainya dalil kepadanya, dan dia pun memahaminya , namun  hukum  yang ada padanya telah dihapus (mansukh) dengan dalil yang lainnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
Di dalam kitab Kulliyat Juz I hal 79-80, Imam Abu Al-Baqa Al-Kafawi menyebutkan empat macam perbedaan antara ikhtilaf dan khilaf, yaitu :
Dalam ikhtilaf jalannya berbeda namun tujuannya satu, dalam khilaf keduanya berbeda.
Ikhtilaf bersandar kepada dalil, sedangkan khilaf tidak.

Ikhtilaf terjadi karena rahmat, sedangkan khilaf karena bid’ah.
Jika seorang hakim menetapkan suatu hukum karena khilaf, maka keputusannya batal, sedangkan apabila karena ikhtilaf keputusannya dianggap sah.
Ikhtilaf terjadi pada bidang yang memungkinkannya ijtihad, sedangkan khilaf dikarenakan menentang Al-Quran , As-Sunnah dan menentang ijma.

Dr. Abdullah Nadzir Ahmad di dalam pengantar kitabnya “ Mukhtashar Ikhtilaful ‘Ulama “  berkata :   “ Sesungguhnya tumbuhnya ikhtilaf dalam hukum-hukum syara berasal dari perkembangan ijtihad, yang bermula dalam hal yang kecil pada zaman Nabi saw. Pada zaman itu para sahabat tidak memerlukan ijtihad, karena merasa tercukupi dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi saw setiap terjadinya kejadian. Kemudian ikhtilaf meluas di zaman para sahabat, karena wahyu sudah terputus dan para sahabat sudah tersebar diber- bagai negeri. Sangat jelas bahwa ikhtilaf telah meluas pada hukum-hukum syara. Mengapa ? Karena nash-nash syara  terbatas  dan  terputus  bersamaan  dengan   terputusnya wahyu, sementara peristiwa yang terjadi tidak terhingga. Setiap hari pada kehidupan manusia, berbagai peristiwa yang baru terjadi. Ikhtilaf tidak akan pernah bisa dihilangkan, karena ikhtilaf bukan saja bagian dari tabiat manusia, tetapi juga merupakan sifat dari nash-nash syara “.
Di dalam kitab  Jami’ Bayan Al-Ilm wa Fadhilah Juz II hal. 59  dikatakan, “ Ketika terdengar kabar kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz tentang ikhtilaf di antara para sahabat yang berakibat parah para ulama di zamannya, dia berkata “ Aku tidak suka apabila para sahabat tidak berikhtilaf. Sekiranya pendapat mereka hanya satu pendapat saja, maka manusia akan berada dalam kesempitan Mereka adalah para imam yang harus diikuti. Orang  boleh  memilih  salah   satu  pendapat  di antara pendapat mereka (para sahabat), pastilah agama akan memberikan keleluasaan “. Pernyataan khalifah Umar bin Abdul Aziz ini merupakan semangat yang memenuhi semua pembicaraan mengenai ikhtilaf dalam ruang lingkup masalah furuiyah (fikih).
Yakinlah bahwa perbedaan itu adalah rahmat yang tak terbantahkan jika kita sikapi dengan ilmu yang benar. Ketika seseorang menolak perbedaan yang haq, maka sebenarnya mereka telah menolak rahmat Allah itu sendiri. Dengan mempergunakan akal yang sadar dan cerdas maka ikhtilaf  itu akan memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa kita lebih dekat  kepada  kebenaran. Dan  sedapat mungkin kita bersikap seperti Imam Ghazali yang mengatakan, “ Sebelum kita berhak mengkritik kita harus berupaya untuk memahami pendapat yang akan kita kritik itu seperti pemahaman para penganutnya “.
Al-Imam Ibnu Qudamah  didalam kitabnya  Al-Mughni berkata : “ Sesungguhnya dengan rahmat dan karunia Allah swt telah menjadikan para pendahulu umat ini, para imam yang berpengetahuan. Melalui mereka, Allah telah mempersiapkan kaidah-kaidah Islam dan menjelaskan kemusykilan hukum. Kesepakatan mereka merupakan hujjah yang pasti dan perbedaan di antara mereka merupakan rahmat yang luas. Hati dihidupkan dengan berita yang mereka bawakan. Kemuliaan tercapai dengan mengikuti jejak yang mereka tinggalkan. Penghulu umat terdahulu memandang ikhtilaf sebagai kemudahan dan rahmat yang diberikan Allah swt  kepada  hamba-hamba-Nya   yang   tidak   mampu  untuk mengambil hukum-hukum syara dari sumbernya yang asasi oleh mereka sendiri “.
Al-Imam Al-Hujjah Al Qasim Ibn Muhammad ibn Abi Bakr salah seorang ulama tabi’in berkata: “ Dengan perbedaan amal para sahabat Nabi saw, Allah memberikan manfaat. Setiap orang yang mengamalkan salah satu amal para sahabat itu melihat di dalamnya tidak lain kecuali keluasan dan kebaikan “.
Al-Qadhi Yahya ibn Sa’id Al-Anshari salah seorang ulama  dari  kalangan tabi’in berkata : “ Tidak henti-hentinya para pemberi fatwa mengeluarkan berbagai fatwanya. Yang seseorang menghalalkan dan yang lainnya mengharamkan. Orang yang mengharamkan tidak memandang orang yang menghalalkan akan binasa karena penghalalannya. Demikian juga sebaliknya “.
Imam Dzahabi berkata : “ Ahli ilmu adalah ahli memberikan keluasan. Para pemberi fatwa selalu ikhtilaf, yang satu menghalalkan dan yang lain mengharamkan, tetapi mereka tidak mencela satu dengan yang lainnya “.
Sebagian dari para ulama salaf dan orang-orang saleh berusaha untuk menghilangkan istilah ikhtilaf dari kamus manusia. Di dalam biografi Thalhah ibn Musharif seorang tokoh tabi’in yang sezaman dengan Al-Qasim ibn Muhammad muridnya Musa Al-Juhani berkata : “ Apabila dikatakan kata ikhtilaf dihadapan Thalhah, ia berkata : “ Janganlah kalian mengucapkan ikhtilaf, tetapi ucapkanlah As-sa’ah (keluasan) “. Dalam kitab Majmu Fatawa dikatakan ada seseorang menulis kitab tentang ikhtilaf. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ‘ Janganlah engkau memberi judul ikhtilaf, berilah nama Keluasan, Ikhtilaf memberikan kesan perpecahan dan pertentangan, sedangkan keluasan   memberikan   suatu   kesan kemudahan, keringanan dan keleluasaan “.
Para ulama terdahulu menyukai keluasan di dalam menjalankan syariat, karena dalam keluasan itu terdapat banyak kemudahan. Kemudahan adalah salah satu dari tujuan asasi syariat Islam. Dengan menggunakan paradigma akhlak, ikhtilaf mengembangkan ilmu dan memperbanyak pilihan sehingga kesempitan dan kesulitan bisa dihindari. Seperti yang terjadi pada diri imam mazhab, ikhtilaf tidak mengurangi saling menghormati dan saling mencintai di antara mereka.
Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik bin Anas, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berguru kepada Imam Sufyan Ats-Tsauri, dan Imam Sufyan Ats-Tsauri berguru kepada Imam Ja’far Shadiq. Pada  suatu malam Imam Ahmad bin Hanbal bermimpi dan berjumpa dengan Nabi saw. Nabi saw berpesan kepada Imam Ahmad bin Hanbal agar memberitahukan perihal Mihnah ( cobaan besar ) yang akan menimpa dirinya. Imam Ahmad mengirimkan orang dengan membawa jubah pemberian dari Imam Syafi’i kepada dirinya untuk menyampaikan berita tersebut kepada Imam Syafi’i. Setelah Imam Syafi’i menerima berita dan menerima jubahnya, kemudian beliau mengembalikan jubah tersebut kepada sipembawa berita. Setelah sipembawa berita ini sampai di rumahnya Imam Ahmad beliau memasukan jubah gurunya tersebut ke dalam air wudhu, dan ia berwudhu dengan menggunakan air tersebut untuk mengambil berkah darinya. Inilah yang disebut dengan tabarruk , dan tabarruk hanya kita lakukan pada orang yang kita cintai.
Dr. Wahbab Al-Zuhaili didalam kitabnya “ Al-Fiqh Al-Isalami wa Adillatuh juz I hal.22-23 berkata : “ Apabila agama dan akhlak saling memperkokoh satu dengan yang lainnya, maka akan tercipta kesejahteraan individu dan kesejahteraan masyarakat sekaligus. Dengan itu, juga dirintis jalan keabadian nikmat di alam akhirat. Kerinduan akan keabadian adalah cita-cita umat manusia sejak zaman dahulu. Karena itu, tujuan akhir dari ilmu fiqh adalah kebaikan  dan kebahagiaan di dunia dan akhirat “.
Salah satu prinsip yang mengaitkan fiqh dengan akhlak adalah maqashid al-syari’ah (tujuan syaria’ah). Tidak boleh hukum fiqh dirumuskan apabila melanggar lima prinsip utama kemaslahatan (al-mashaalih al-dharuriyah) yaitu :
1. Memelihara agama, tidak boleh adanya ketetapan fiqh yang menimbulkan rusaknya keberagamaan seseorang.
2. Memelihara jiwa, tidak boleh ada ketetapan ilmu fiqh yang mengganggu jiwa orang lain atau menyebabkan orang lain menjadi menderita.
3. Memelihara akal, tidak boleh ada ketetapan ilmu fiqh yang dapat mengganggu akal sehat, menghambat perkembangan pengetahuan, atau membatasi kebebasan berpikir secara sehat.
4. Memelihara keluarga, tidak boleh ada ketetapan ilmu fiqh yang menimbulkan rusaknya sistem kekeluargaan seperti hubungan orang tua dan anak.
5. Memelihara harta, tidak boleh ada ketetapan ilmu fiqh yang menimbulkan perampasan kekayaan secara batil.
Imam Yahya bin Sa’ad Al-Anshari berkata : “ Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, di mana para mufti (pemberi fatwa) selalu saja terjadi berbeda pendapat, sehingga ada yang menghalalkan dan yang mengharamkan. Namun mereka tidak saling mencela “. (Kitab Tadzkiratul Huffazh Juz I hal. 39)
  Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi, salah seorang murid dan sahabat Imam Syafi’i berkata : “ Aku tidak  pernah mendapatkan orang yang lebih cerdas dibandingkan  Imam Asy-Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdebat dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata, “ Wahai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah ? “. (Kitab Syi’ar A’lam An-Nubala Juz X hal 16-17)
Suatu ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid berbekam, kemudian langsung mengimami shalat tanpa berwudhu kembali (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Imam Abu Hanifah) pun ikut shalat bermakmum di belakangnya, padahal berdasarkan Mazhab Hanafi berbekam itu membatalkan wudhu “. (Kitab Majmu Al-Fatawa Juz XX hal. 364-366)
Imam Ahmad bin Hanbal termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika ia ditanya oleh seorang “ Bagaimana apabila seorang imam tidak berwudhu lagi setelah ia berbekam atau mimisan ? apakah aku boleh shalat dibelakangnya ?  “.  Imam  Ahmad bin Hanbal  pun menjawab, Subhanallah ! Apakah kamu tidak mau shalat dibelakang Imam Sa’id bin Al-Musayyab dan Imam  Malik  bin  Anas  ?  karena  mereka  berdualah  yang  telah menyatakan bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu kembali. (Kitab Majmu Al-Fatawa Juz XX hal.364-366)
Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Imam Syafi’i  dan imam-imam yang lain berpendapat wajib membaca membaca basmalah sebagai ayat pertama dalam surat Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di kota Madinah yang bermazhab Maliki, padahal imam-imam shalat tersebut tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras “. (Kitab Al-Inshaf lid-Dahdawi hal. 109)
Imam Syafi’i sering berziarah kubur ke makam Imam Abu Hanifah, dan ketika menjadi imam shalat subuh beliau meninggalkan qunutnya demi menghormati Imam Abu Hanifah yang telah wafat, karena beliau menghargai fatwa Imam Abu Hanifah yang memfatwakan bahwa shalat subuh tidak menggunakan qunut. Padahal ketika Imam Abu Hanifah wafat Imam Syafi’i baru lahir “. (Kitab Al-Inshaf hal,110)
Imam Syafi’i telah memberikan sebuah contoh yang sangat indah, yaitu menghargai orang yang pendapatnya berbeda  dengan  dirinya  meski pun  Imam  Abu Hanifah  telah  lama wafat. Sebuah contoh yang sangat sukar ditiru oleh sebagian orang-orang yang katanya bertaqlid kepada mazhab Syafi’i atau kepada mazhab yang lainnya.  Mereka hanya mau bertaqlid kepada ilmu fiqhnya saja tetapi tidak mau mencontoh akhlak imamnya. Ini hanyalah sebagian contoh kecil saja bukan untuk menyudutkan mazhab Syafi’i atau mazhab yang lainnya. Bagaimana mungkin penulis bisa menyudutkan mazhab Imam Syafi’i atau mazhab yang lainnya, sedangkan penulis sendiri bermazhab Imam Syafi’i dan penulis pun sangat menghormati mazhab yang lainnya.
Para muqallid (orang yang bertaqlid) kepada salah satu imam mazhab suka melupakan sesuatu yang sebenarnya harus dipahami secara benar dan bijaksana. Bahwa melakukan ketaatan kepada ilmu fiqhnya saja tanpa mau memahami ruhnya ilmu fiqh itu sendiri merupakan pola pemikiran yang salah. Betapa banyak orang yang berpengalaman bisa tertipu dengan konsep fanatisme mazhabnya, mereka tidak menyadari bahwa apa yang selama ini diyakininya bisa membawa dirinya lebih jauh kepada perasaan egoisme yang berlebihan dengan menganggap pendapat mazhabnya-lah yang benar dan yang lain salah. Bandingkan dengan ucapan para imam-imam besar, di antaranya adalah :
1.    Imam Sufyan Ats-tsauri berkata kepada muridnya: “ Jika kamu melihat seseorang mengamalkan sesuatu yang diikhtilafkan dan kamu mempunyai pendapat yang lain janganlah kamu melarang dia“. (Kitab Al-Faqih wal Mutafaqqih II : 69) 
2.    Imam Abu Hanifah berkata : “ Apa yang menjadi pegangan kami hanyalah pendapat, dan kami tidak pernah memaksakan seseorang untuk mengikutinya. Kami tidak pernah berkata : Wajib orang menerimanya dengan terpaksa. Jika ia mempunyai pendapat yang lebih baik, berikanlah kepada kami“.  (Kitab Tarikh Al-Baghdadi XIII :352)
3.    Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “ Tidak pernah ada orang yang melewati jembatan khurasan (Irak) yang lebih utama dibandingkan dengan Imam Ishaq bin Rahawaih, walaupun ia banyak berbeda dengan kita. Bukankah orang biasa berbeda satu dengan yang lainnya ?  (Kitab Syiar I’lam Al- Nubala XI : 371)
4.    Imam Maliki berkata kepada khalifah Al-Manshur : “ Ya Amirul Mukminin, janganlah anda memerintahkan kepada setiap hakim untuk beramal dengan kitabku ( Al-Muwaththa ), biarkanlah setiap negeri berpegang kepada ilmu yang ada pada ulama mereka. Jika anda mau mengambil ilmu ini, ambillah untuk dirimu saja. Para sahabat Rasulullah Saw saja telah berikhtilaf pada hal-hal furu ( fikih ), dan tersebar diberbagai penjuru. Semuanya benar. Al-Manshur berkata : Jika anda benar  menyetujuinya ,  sungguh  aku  akan  memerintahkannya. (Kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad hal. 440) 
Lihatlah keluwesan dan kemuliaan akhlak  imam-imam agung ini dalam berfatwa, sangat bijaksana dan tidak mau menimbulkan konfrontasi di dalam hati para pengikutnya, bahkan kepada siapapun yang membaca fatwa-fatwa beliau ini. Mereka adalah contoh akhlak yang harus  diikuti  sebagai  perwujudan  dari  akhlak  Rasulullah Saw. Mereka adalah ulama panutan umat, cahaya kebijaksanaan bersemayam dalam setiap desiran darah dan helaan nafas mereka, serta mampu diterjemahkan dalam praktek dakwahnya.
Ruhul Qudus Nabi Isa as berkata : “ Janganlah kamu seperti ayakan, yang darinya keluar sesuatu yang halus tetapi tersisa yang kasar. Perintah dan fatwa keluar dari mulutmu, tetapi iri dan dengki tertinggal di dalam hatimu “.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw berkata : “ Orang yang terburuk di mata Allah adalah orang yang mengumpulkan ilmu dari berbagai negeri namun tetap tertutup dari kegelapan. Mereka menuntut ilmu lebih banyak namun tidak tahu bahwa sedikit ilmu yang benar dan bermanfaat jauh lebih baik daripada banyak ilmu namun semakin jauh dari Allah “.
Sayyidina Abu Bakar r.a berkata ; “ Jangan sampai seorang muslim menghina muslim yang lainnya, karena orang kecil di antara kaum muslim adalah besar di sisi Allah “
Imam Abu Hamid  Al-Ghozali berkata : “ Bahwa ilmu yang mengotori hati hanya akan menghasilkan argumentasi yang aneh dan kacau, mengubah niat serta menebarkan dan menyuburkan akhlak yang buruk “
Dalam kitab Al Maqshad Al Asna Hujjatul Islam Al Imam Abu Hamid Al Ghazali mengatakan : “ Bahwa terhadap perkara-perkara yang tersembunyi bagi akal manusia secara umum, dan bahwa hal tersembunyi” dari akal itu ada dua jenis yaitu:
Perkara-perkara yang kadang-kadang bisa dipahami oleh akal dan sebagiannya lagi tidak bisa dipahami.
Perkara-perkara yang tidak akan mampu dipahami oleh akal sekuat apa pun akal yang kita miliki.

Maka disini akal dipaksa mengakui bahwa akal itu dibatasi oleh sesuatu tingkatan yang lebih tinggi daripada kekuatan dan pemahaman akal itu sendiri. Dalam pengakuan ini tidak ada yang menjadikan akal tersebut menjadi tercela karenanya, akal tetaplah akal, akal tetap mulia dan terhormat karena yang tidak terhormat dan tidak mulia itu adalah akhlaknya bukan akalnya.
Demikian pula orang-orang yang berilmu bahkan para Aulia sekali pun mereka mengakui ketidakmampuan mereka dan harus puas dengan mengambil dari cahaya kenabian, sebab mereka mengakui “keterbatasan” setiap kekuatan kecuali kekuatan Nubuwwah (kenabian ini). Oleh sebab itu tidak ada satu pun dari orang yang bijaksana dan berakal mengakui memiliki pengetahuan sempurna tentang ilmu Allah sehingga tidak tersembunyi sesuatu pun bagi-Nya. Sebab tidak ada yang mengetahui ilmu Allah yang sebenar-benarnya kecuali Allah sendiri.
 Bukankah Allah telah berfirman :
قُلْ لَوْ كانَ الْبَحْرُ مِداداً لِكَلِماتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِماتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنا بِمِثْلِهِ مَدَداً
“ Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" (QS. 18. Al Kahfi 109).
Dalam firman lain-Nya :
وَلَوْ أَنَّما فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِماتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“ Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.                (QS. 31 Luqman 27)
Imam al-Ghazali pun berkata : “ Ilmu yang bersarang dalam dada dan akal manusia bagaikan satu bayangan semut ditengah-tengah hamparan padang sahara atau bagaikan seekor ikan teri di tengah samudra nan luas atau bahkan seperti sebutir debu di tengah luasnya cakrawala bumi ini. Meskipun pengetahuan para ulama dan orang-orang arif melampaui pengetahuan sebagian masyarakat, tetapi hal-hal yang tersembunyi dan tidak terungkap  akal dan panca indra justru lebih banyak dari yang didapat dan diungkap sehingga ketidakmam- puan tersebut membentuk pemahaman tersendiri dan menciptakan batasan-batasan tertentu terhadap sesuatu hal yang hanya bisa dicapai oleh akalnya “.
Imam Ghazali mengakui bahwa terhadap sebagian hakikat yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang berakal dengan massa akalnya. Tetapi dalam hal ini sipemilik akal harus puas dengan bertaqlid kepada Nabi Saw dan para perawi syari’atnya untuk mendapatkan hakikat-hakikat tersebut dengan dipandu oleh cahaya kenabian. Adapun ketika akal sendiri tidak mampu menjelaskan atau membuktikan kemustahilan atau bolehnya suatu pandangan tersebut  maka ia wajib membenarkannya.
Imam Ghazali selalu menuntut untuk tidak terjerumus kepada kefanatikan mazhab agar seseorang bisa melalui mencari kebenaran jalan nalar yang sehat, kuat dan dipandu oleh cahaya nubuwwah dan cahaya ilmu hikmah Ilahi. Seorang muqallid seharusnya tidak berdebat atau mencari jalan untuk mendebat orang lain mengenai masalah-masalah yang tidak dikuasai dan difahaminya. Muqallid seperti ini lebih tepat jika disebut “orang yang keras kepala” yang telah dibelenggu taqlid buta. Muqallid yang seperti ini adalah orang-orang yang jauh dari ruh Islam bahkan mendekati kepada kekufuran. Taqlid seperti ini yang menghancurkan keindahan dan kemuliaan agama Islam, taqlid seperti ini yang meng- akibatkan dakwah penuh amarah, kepicikan dan kesempitan dalam wawasan, menghadirkan penghinaan dan perpecahan yang berkepanjangan. Dan sikap yang lebih utama bagi kita adalah menahan lisan terhadap orang yang berbeda pendapat selama mereka semua tetap sebagai pencari iman dan mengakui keesaan Allah Swt dan menjalankan risalah Nabi Saw.
Imam Suyuthi berkata dalam kitab Jazil Al Mawahib Fi Ikhtilafi Al Madzahib, ketahuilah bahwa ikhtilaf berbagai madzhab dikalangan umat Islam adalah nikmat besar dan anugrah yang agung. Di dalamnya tersembunyi rahasia mulia yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mengerti dan tidak disadari oleh orang-orang jahil. Yang mengherankan adalah sebagian orang yang melebihkan sebagian mazhab di atas yang lain dan merendahkan serta menjatuhkan mazhab-mazhab yang lainnya. Kadang-kadang perbedaan mazhab ini menimbulkan permusuhan di antara orang-orang yang tak berilmu bahkan di kalangan orang-orang yang berilmu pun terlibat di dalamnya, sehingga menghidupkan kembali tradisi fanatisme jahiliyyah.   Sedangkan orang-orang yang berilmu dan berakhlak akan selamat dari kejahatan dan kesalahan seperti itu.
Para sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in adalah umat dan generasi terbaik saja telah berikhtilaf tetapi dengan adanya hal tersebut  justru menimbulkan jalinan kasih sayang yang kuat serta menghormati satu dengan yang lainnya tanpa disertai hinaan, cacian dan makian, karena mereka benar-benar memahami ruhnya dari firman Allah dibawah ini :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسى أَنْ يَكُونُوا خَيْراً مِنْهُمْ وَلا نِساءٌ مِنْ نِساءٍ عَسى أَنْ يَكُنَّ خَيْراً مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنابَزُوا بِالْأَلْقابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“ Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan-perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang zalim ”    ( QS. 49 Al Hujuraat 10-12)
Rasulullah Saw bersada :
إِنَّ الْجَنَّةَ حَرَامٌ عَلَى كُلِّ فَاحِشٍ أَنْ يَدْخُلَهَا
“ Sesungguhnya surga diharamkan kepada setiap orang yang suka mengucapkan kata-kata menjijikkan” (Al-Jami’ Ibn Wahhab Musthafa Abu al-Khair 1/572, al-Kina wal Asma, ad-Dulani 2/848, Hilyah al-Auliya 1/288)

Rasulullah Saw bersabda :
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“ Seseorang itu akan tetap berada pada agama temannya, maka lihatlah siapa yang menjadi temanmu“ (Sunan Abu Dawud 4 / 259, Sunan Turmudzi 4 / 589, Musnad Abu Dawud ath-Thayalis 4/299, Musnad Ishaq ibn Rahawaih 1/352,  Musnad Ahmad 13/398, 14/192)

3 comments:

  1. kuncinya harus kembali pada Al-qur'an, maksudnya mengikuti Al-qur'an dan Sunnah, bukan tetap mempertahankan akal nafsu... islam sudh sempurna, tak ada keraguan sedikitpun...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akal nya saya dan kita yang awam berbeda dg para ulama , mereka ber ijtihad tidak ada nafau dlm dirinya

      Delete