Merayakan peringatan maulid Nabi Saw merupakan salah satu amal yang paling utama dan sebuah cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Karena keseluruhan peringatan tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan dan kecintaan kepada beliau Saw. Dan cinta kepada Nabi Saw merupakan salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Salah satu hadits shahih dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda :
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِه ِوَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“ Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orangtua, anaknya dan manusia seluruhnya “(Shahih Bukhari 1/12, Shahih Muslim 1/67, Sunan Nasai 8/114 dll (derajat hadits shahih)
Merayakan peringatan Maulid Nabi Saw pada dasarnya adalah sambutan dan penghormatan terhadap beliau. Sambutan dan penghormatan terhadapnya merupakan perkara yang disyariatkan secara pasti (qath’i) karena termasuk prinsip utama dari segala prinsip dasar.
Telah menjadi kebiasaan dan tradisi di kalangan salafus shalih sejak abad ke-4 dan ke-5 merayakan peringatan maulid Nabi Saw yang agung. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai macam ketaatan dan ibadah pendekatan kepada Allah seperti memberi makan fakir miskin, membaca al-Quran, membaca dzikir-dzikir, melantunkan pusisi-puisi dan pujian-pujian tentang Rasulullah Saw. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama seumpama al-Hafizh Ibnu Jauzi, al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Hafizh Ibnu Dihyah al-Andalusi, al-Hafizh Ibnu Hajar dan Sang Penutup para huffazh (para penghafal hadist dalam jumlah yang banyak) al-Hafizh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, semoga Allah Swt melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka. Di dalam al-Quran Allah Swt berfirman :
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ
“ …dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah “ (QS. (14) Ibrahim : 5)
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“ …maka berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman “ (QS. (51) Adz-Dzariyyat : 55)
Merayakan peringatan Maulid Nabi Saw pada dasarnya adalah sambutan dan penghor- matan terhadap beliau. Sambutan dan penghormatan terhadapnya merupakan perkara yang disyariatkan secara pasti (qath’i) karena termasuk prinsip utama dari segala prinsip dasar.
Tanpa bisa ditolak dan diingkari lagi bahwa kelahiran Nabi Saw termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingatinya berarti melaksanakan perintah-Nya. Dan sudah barang tentu salah satu peringatan yang paling bermanfaat bagi orang-orang yang beriman adalah diperingatinya jiwa dan dirinya, bahwa mencintai, menteladani kehidupan, perilaku, dan akhlak Nabi Saw adalah sesuatu yang sangat prinsip dan penting.
Imam as-Suyuthi membantah orang yang berkata : “ Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini di dalam al-Quran maupun di dalam sunnah “, dengan menga- takan ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak lalu berarti tidak adanya sesuatu itu “. Beliau juga menjelaskan bahwa Imam para Hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar rahimahullah, telah menjelas- kan dasar hukumnya dari sunnah.
Imam Jalaluddin as-Suyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syariat. Adapun jika ada hubungan yang kuat dengan dalil syariat yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.
Imam as-Suyuthi berkata : “ Kegiatan merayakan maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan al-Quran, Sunnah, atsar maupun ijma’. Maka hal ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa-masa awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang sangat dianjurkan sebagimana diungkapkan oleh sultannya para ulama, al-Imam Izzudin bin Abdissalam.
Dasar hukum yang dikeluarkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid Nabi Saw adalah hadits yang terdapat di dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim bahwa Nabi Saw tiba di Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyura, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun menjawab, “ Ini adalah hari yang fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa pada-Nya sebagai ungkapan syukur kepada-Nya “(Shahih Bukhari 3/44, 4/153, 5/70, 6/72, 6/98, hadits tentang puasa Asyura ini derajatnya masyhur dan banyak sekali diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits. (derajat hadits shahih/masyhur)
Bahkan hadits yang lebih jelas lagi adalah yang diriwayatkan oleh Abu Musa r.a dia berkata :
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ وَإِذَا أُنَاسٌ مِنَ اليَهُودِ يُعَظِّمُونَ عَاشُورَاءَ وَيَصُومُونَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَحْنُ أَحَقُّ بِصَوْمِهِ، فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ
“ Tibalah Nabi Saw di Madinah ketika orang-orang Yahudi mengagungkan hari ‘Asyura dan mereka pun berpuasa karenanya, maka bersabda Nabi Saw : “ Aku lebih berhak untuk berpuasa (daripada kalian), maka beliau memerintahkan kepada kami untuk berpuasa juga “(Shahih Bukhari 5/70 (derajat hadits shahih/masyhur)
Nabi Saw tidak mengharamkan orang-orang Yahudi yang mengagungkan hari ‘Asyura karena syukur mereka kepada Allah. Ini adalah bukti toleransi beliau terhadap penganut agama lain. Bahkan beliau pun berpuasa sunnah pada hari itu dan memerintahkan para sahabat yang berkeinginan untuk berpuasa juga. Jadi ruh atau semangat dari hadits di atas adalah rasa syukur terhadap sebuah kemenangan Nabi Musa a.s terhadap Fir’aun. Dan jauh lebih mulia dan agung lagi apabila kita pun memperingati hari kemenangan Islam, yaitu lahirnya Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa rahmat bagi sekalian alam, dibanding Nabi Musa a.s yang hanya membawa rahmat bagi kaum Bani Israil saja. Seperti inilah cara ulama kami mengistinbath hukum. Bukan dengan cara mudah memvonis bid’ah dan musyrik tanpa penyelaman dan pendalaman lebih lanjut terhadap ruh dan semangat al-Quran dan as-Sunnah.
Di dalam kesempatan lain, Nabi Saw bersabda :
إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللهِ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“ Sesungguhnya Asyura adalah salah satu hari dari hari-hari Allah, barangsiapa yang hendak berpuasa puasalah dan barangsiapa yang hendak meninggalkannya tinggalkanlah “(Shahih Muslim 2/792, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 4/477 (derajat hadits shahih)
Apabila Asyura adalah salah satu hari-hari-Nya, dan memiliki berbagai keutamaan, maka begitu pula dengan hari lainnya, terlebih hari-hari yang di dalamnya terdapat berbagai keistimewaan dan keutamaan seperti, hari lahir Nabi Saw, hari Jum’at, hari-hari pada malam bulan Ramadhan, malam Nisyfu Sya’ban, malam dua hari Raya, malam Lailatul Qadar dan hari-hari lainnya.
Nabi Saw mengisyaratkan dan menetapkan dalam ucapannya “ Barangsiapa yang hendak berpuasa maka berpuasalah, dan barangsiapa yang hendak meninggalkannya maka tinggalkanlah “, dan apabila diqiaskan masalah puasa Asyura kepada peringatan maulid NabiSaw maka ucapannya adalah : “ Barangsiapa yang hendak memperingatinya maka peringati- lah, dan barangsiapa yang hendak meninggalkannya maka tinggalkanlah “. Bukan dengan mengatakan “ Barangsiapa yang memperingati maulid Nabi Saw adalah bid’ah, ahli neraka, berlebih-lebihan, mengkultuskan dan ucapan lainnya yang tidak bermoral dan tidak berpendidikan “. Itulah salah satu metode istinbath dalam mazhab kami, mazhab ahlus sunnah bukan sekte Salafi wahabi atau sekte Khawarizme. Di dalam firman lain-Nya :
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعائِرَ اللَّهِ فَإِنَّها مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“ Barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya (dia) termasuk orang-orang yang bertakwa ” (QS. 22 / Al-Hajj : 36)
Yang termasuk syiar-syiar Allah itu bukan hanya hari-hari yang memiliki berbagai kejadian penting dalam Islam, tetapi termasuk di dalamnya menghormati dan memuliakan orang-orang yang berperan dalam mendistribusikan risalah Ilahi ini. Di dalam hadits yang berasal dari Abu Bakar ash-Shidiq r.a, ia berkata :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ أَكْرَمَ مُؤْمِنًا أَكْرَمَهُ اللَّهُ، وَمَنْ عَظَّمَ مُؤْمِنًا عَظَّمَهُ اللَّهُ
“ Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “ Barangsiapa yang memuliakan orang yang beriman (sama dengan) memuliakan Allah, dan barangsiapa yang mengagungkan orang yang beriman (sama dengan) mengagungkan Allah ” (Musnad asy-Syamiyyin, ath-Thabarani 3/222 (derajat hadits hasan)
Imam as-Suyuthi berkata : “ Disunnahkan bagi kita untuk menampakkan rasa syukur atas lahirnya Rasulullah Saw. Dan tidak ada rumah atau mesjid yang di dalamnya di bacakan Maulid kecuali mendapatkan rahmat dari Allah Swt “(Tradisi Amaliyah NU dan Dalil-Dalilnya, hal. 60, al-Halabi “ Sirah Halabiah “ 1/83-84)
Ibnu Taimiyah berkata : “ Mengagungkan Maulid Nab Saw mengandung pahala yang sangat agung, karena hal itu adalah wujud ta’zhim kepada Rasulullah Saw “7 Nabi Saw bersabda :
مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقَيَامَةِ
“ Barangsiapa yang mengagungkan hari kelahiranku, baginya syafaatku pada hari kiamat ” (Tradisi Amaliyah NU dan Dalil-Dalilnya, hal. 294, Madarij al-Shu’ud Syarh al-Barzanzi hal. 15)
وَقَالَ عُمَرُ : مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَحْيَا اْلإِسْلَامَ
“ Dan berkata Umar r.a : “ Barangsiapa yang mengagungkan hari kelahiran Nabi Saw, sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam ” (Tradisi Amaliyah NU dan Dalil-Dalilnya, hal. 295, Madarij al-Shu’ud Syarh al-Barzanzi hal. 16)
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata : “ Bahwa perbuatan yang dilakukan atas dasar kenikmatan, atau (ingin) dijauhkan dari kesengsaraan di hari tertentu itu dibolehkan. Dan juga boleh untuk dirayakan di hari yang sama setiap tahunnya. Rasa syukur kepada Allah bisa ditunjukkan dengan berbagai bentuk ibadah, seperti bersujud, berpuasa, bersedekah, dan membaca al-Quran. Maka kenikmatan apa lagi yang lebih utama daripada kenikmatan munculnya Nabi Saw yang membawa rahmat bagi sekalian alam dengan kelahiran pada hari itu ?
Imam as-Suyuthi berkata : “ Peringatan maulid Nabi Saw di dalamnya tidak terdapat pertentangan dengan al-Quran, sunnah, atsar, dan ijma’ ulama. Oleh karena itu, peringatan itu tidak termasuk bid’ah tercela, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam asy-Syafi’i. Peringatan maulid Nabi Saw termasuk amal kebaikan yang belum diketahui pada awal Islam. Sebab, di dalam peringatan itu terdapat kegiatan memberi makan orang yang membutuhkan tanpa didasari dengan perbuatan dosa. Kegiatan semacam ini termasuk salah satu dari amal kebaikan. Berangkat dari itu, maka peringatan maulid Nabi Saw termasuk bid’ah yang disunnahkan, seperti yang pernah dijelskan Imam Izzuddin bin Abdissalam “
Imam as-Suyuthi pernah menukil perkataan al-Hafizh Syamsuddin bin al-Jazari dari kitabnya, ‘Arfut Ta’riif bil Maulidisy Syariif, ia berkata : “ Telah ada kabar yang sah bahwa Abu Lahab setiap hari Senin mendapatkan keringanan siksaan karena telah memerdekakan Tsuwaibah al-Alamiyyah saking gembiranya dengan kelahiran Muhammad bin Abdullah, keponakannya. Apabila seorang Abu Lahab saja, yang merupakan orang kafir dan dikecam dalam al-Quran bisa mendapatkan balasan berupa keringanan siksaan di neraka karena gembira dengan kelahiran Nabi Saw, maka balasan apa yang akan diterima seorang mukmin dari umat Muhammad Saw yang berbahagia dengan kelahiran beliau, dan mengerahkan segala kemampuannya untuk mencintai beliau ? Sungguh, balasannya dari Allah Swt adalah masuk ke dalam surga atas karunia Allah “.
No comments:
Post a Comment