Seperti dimaklumi bersama, lahirnya NU tak biasa dipisahkan dari peran KH. Wahab Chasbullah, menyusul semakin gencarnya arus pemutilasian dan pemanipusaian terhadap al-Quran dan hadits yang dilakukan oleh gerakan Wahabi yang semakin lama melampaui batas dari teori idealnya, sehingga harus dibendung dan dilawan.
Kyai Wahab berkesimpulan, bahwa para ulama harus bersatu-padu dengan cara mendirikan satu organisasi sendiri, sebagai benteng ahlus-sunnah wal jama’ah. Keinginannya tersebut disampaikan kepada gurunya, Hadratu asy-Syaikh Hasyim Asy’ari, pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang.
Sekalipun Kyai Hasyim dapat memaklumi keinginan Kyai Wahab, tetapi beliau tidak serta merta menyetujuinya. Bahkan konon beliau merasa resah, karena ide pembentukan jam’iyah yang menampung para ulama ahlus-sunnah wal jama’ah itu tidak mungkin ia putuskan sendiri. Selain itu, Kyai Wahab dikenal bahkan diakui oleh Kyai Hasyim Asy’ari sendiri sebagai sosok Kyai muda yang berpikiran terlalu ke maju.
Sepertinya gelagat itu kemudian ditangkap oleh gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan waliyullah yang memiliki mukasyafah. Dari sini kemudian Kyai Kholil memberikan perlambang-perlambang kepada mantan muridnya itu, yaitu melalui tongkat dan tasbih.
Dalam buku “ KHR. As’ad Syamsul Arifin : Riwayat Hidup dan Perjuangannya “, hal 33-38. Drs. Cjoirul Anam menulis penuturan yang sempat dia dengar langsung dari Kyai As’ad, betapa beliaulah yang saat itu nyantri pada Syaihona yang dijadikan mediator oleh Syaikhona kepada Hadrat asy-Syaikh Hasyim Asy’ari menjelang kelahiran NU. Berikut penuturan Kyai As’ad yang sempat direkam, dalam gaya tutur Cak Anam :
“ Berdirinya NU itu tidak seperti lazimnya perkumpulan lain. Berdirinya NU tidak ditentukan oleh perizinan dari bupati atau gubernur, tapi langsung dari Allah Swt. Dan izin Allah itu juga ditempuh melalui perjuangan para wali Sembilan. Karena itu di dalam simbol NU terdapat bintang Sembilan. Itu menandakan berdirinya NU tidak terlepas dari perjuangan wali sembilan.
Tidak seperti mendirikan organisasi pada umumnya. Asal ada ide, dibentuk. NU tidak, tidak seperti itu. Sekalipun ide itu ada, terutama datang dari KH. Abdul Wahab Chasbullah, namun KH. Hasyim Asy’ari sebagai sesepuh ulama waktu itu tidak langsung menyetujuinya. Kyai Hasyim mohon petunjuk Allah, memusatkan perhatiannya dengan melakukan shalat Istikharah. Namun, rupanya pertunjuk Allah tidak langsung diberikan kepadanya. Berkali-kali beliau melakukan shalat Istikharah, hasilnya tetap saja nihil.
Petunjuk Allah tersebut rupanya diberikan melalui perantara waliyullah Kh. Kholil Bangkalan. Dan saya bisa merasakan itu. Sebab, saya sendiri yang diperintahkan Kyai Kholil untuk mengantarkan lambang-lambang itu kepada KH. Hasyim. Peristiwa itu terjadi pada tahun1924. Saya dipanggil Kyai Kholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng Jombang.
Ceritanya, suatu hari saya dipanggil ke ndalem (rumah Kyai), beliau berkata : “ As’ad, tongkat ini antarkan ke Tebuireng dan sampaikan langsung kepada KH. Hasyim Asy’Ari “. Saya langsung berangkat. Mana ada santri yang berani menolak perintah kyai ? Tapi, kata Kyai Kholil, ada syaratnya, syaratnya kamu (As’ad) harus hapal ayat 17-23 surat Thaha. Sambil berangkat saya menghapal ayat-ayat yang menerangkan dua macam mukjizat Nabi Musa a.s itu. Ayatnya sebagai berikut :
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يَا مُوسَى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلى غَنَمِي وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرَى (18) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيْدُهَا
سِيْرَتَهَا الْأُولَى (21) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَآءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (22) لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى (23)
“ dan apakah yang ada di tangan kananmu Ya Musa ?. Dia (Musa) berkata “ Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lainnya. Dia (Allah) berfirman : “ Lemparkanlah ia (tongkatmu) wahai Musa !. Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Dia (Allah) berfirman : “ Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula. Dan kepitlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi puti (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain. Untuk Kami perlihatkan kepadamu (sebagian) dari tanda-tanda kebesaran Kami yang sangat besar “ (QS. 20 / Thaha : 17-23)
Sesampainya di Tebuireng, tongkat saya serahkan. Sambil menerima tongkat itu Kyai Hasyim bertanya : “ Apa tidak ada pesan dari Kyai Kholil ? “ Langsung saya jawab dengan hapalan ayat tadi. Dan Kyai Ksyaim kemudian berkata : “ Oh..ya, berarti ini berkaitan dengan rencana mendirikan jam’iyyah ulama itu “.
Ternyata, perintah sang guru tidak hanya sekali itu. Kira-kira pada pertengahan tahun 1935 saya dipanggil lagi untuk maksud yang sama. Bedanya, tugas yang kedua ini bukan mengantarkan tongkat, melainkan tasbih. Seperti halnya tongkat, tasbih inipun disertai pesan Kyai Kholil berupa bacaan al-asma’u al-Husna : Ya Jabbar Ya Qahhar 3x yang berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa.
Cara menyampaikan tasbih itupun menggambarkan betapa tunduknya santri zaman dulu kepada kyainya. Tasbih itu dikalungkan di leher saya oleh Kyai Kholil. Dan sampai di Tebuireng, posisi tasbih masih tetap terkalungkan di leher. Saya tidak berani mengubahnya, meskipun di perjalanan banyak orang mentertawakan. Dikira saya ini gila. Sesampainya di Tebuireng, saya bertemu Kyai Hasyim dan menyerahkannya sambil membungkuk. Kyai Hasyim sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher saya.
Saya tidak bisa melupakan kejadian itu. Terlebih, setelah menyerahkan tasbih berikut pesan sang guru berupa bacaan al-asma’u al-Husna tadi. Kyai Hasyim langsung meminta saya untuk membantu mengantarkan surat kepada beberapa ulama terkemuka di Madura. Dan selain saya ada beberapa nama lain yang juga diutus untuk tugas yang sama. Waktu itu saya dengar Kyai Machfudz Shiddiq dari Jember juga diminta menghubungi beberapa ulama di Jawa. Surat Kyai Hasyim itu belakangan saya ketahui berisi pemberitahuan mengenai rencana akan didirikannya jam’iyyah itu.
Dan benar, pada tanggal 31 Januari 1926 (bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H), berkumpullah beberapa ulama terkemuka dari Jawa, Madura dan Kalimantan di Surabaya untuk mendirikan organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama, yang kini dikenal dengan NU. Jadi berdirinya NU itu tidak gampang. Minta izin dulu kepada Allah Swt. KH. Hasyim minta petunjuk kepada Allah Swt, dan petunjuk itu diberikan melalui Kyai Kholil Bangkalan Madura. Dan saya sendiri ikut andil sekalipun hanya mengantarkan tongkat dan tasbih serta beberapa surat. Bahkan, kira-kira dua bulan sebelum Kyai Hasyim wafat (25 Juli 1947, bertepatan dengan 7 Ramadhan 1366 H), beliau datang ke Sukorejo (rumah Kyai As’ad) untuk menitipkan NU. Jadi, tak ada orang yang bisa membubarkan NU. Dan barangsiapa yang khianat kepada NU pasti akan hancur sendiri.
No comments:
Post a Comment