Thursday, 11 June 2015

NU menurut al-faqih KH. Sahal Mahfudh

Di dalam kata pengantar buku “ AHKAMUL FUQAHA ”, beliu mengatakan : “ Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyyah dan ijtima’iyyah, sejak awal terjadinya telah menjadikan faham Ahlussunah wal Jama’ah sebagai basis teologi (dasar berakidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang, sebagai kebutuhan (hajah) meskipun pada kenyataan kesehariannya para ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi’i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional berpaling ke mazhab lain.
Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang selalu mengambil sikap dasar untuk bermazhab. Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum fiqih dari referensi (maraji) berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematis dalam beberapa komponen : ibadah, mu’amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadha (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum bahtsul masail mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq maupun muntashib. Bila kebetulan diketemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipengangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih. Mereka juga sering meng- ambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap dalam menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajiah tahsibiyah (kebutuhan sekunder) maupun dharuriyah (kebutuhan primer).
Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masail NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan “ berwawasan luas “. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan pendapat antara kyai, santri baik yang tua maupun yang muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan “ berwawasan luas “ sebab dalam bahtsul masail tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf  (perbedaan pendapat) “.
Kenyataan mengenai terlalu dominannya mazhab Syafi’i memang ada. Pendapat para ulama Syafi’iyah masih cukup dominan dalam bahtsul masail NU. Namun demikian perlu saya tegaskan bahwa dominasi Syafi’i bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di luar Syafi’iyah. Walaupun terlihat kuat pengaruh mazhab Syafi’i bukan berarti menolak apalagi antipati dengan ulama lain. Sejak dulu para kyai tidak mengharuskan Syafi’i saja. Meskipun begitu, sudah ada perkembangan misalnya soal intiqal atau pindah mazhab. Dulu takut talfiq (mengambil pendapat yang paling mudah) sekarang sudah tidak lagi.
Fiqih itu produk ijtihadi. Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan merupakan barang sakral, yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru. Di mana-mana yang namanya fiqih adalah :
اَلْعِلْمُ بِالْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ عَدِلَّتِهَا تَفْصِلِيَّةٍ
“ Mengetahui hukum-hukum syari’at yang amaliahnya diambil dari dalil-dalil yang terperinci  ”
Defenisi fiqih sebagai al-muktasab (suatu yang digali) menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari produk penalaran intelektual (rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah.
Sebagai sebuah produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum islam selalu tidak lepas dari pertimbangan “ konteks lingkungan “ keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang di kalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodi- fikasikan dalam kitab-kitab, furu’ al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah dan ta’liqat juga dipandang sebagai “ figuran “ yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman teks.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad, maka para fuqaha terdahulu baik al-a’immah al-‘arba’ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah :
اَلْاِجْتِهاَدُ لَا يُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ
“ yakni : bahwa suatu ijtihad itu tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain “
Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin memang tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Di sinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis dan temporal, tidak kaku dan tidak permanen. Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tida relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih yang baru. Harus diingat bahwa fiqih itu mesti ijtihadi. Rumusan itu harus mengacu kepada prinsip maqashid al-syari’ah yang meliputi lima hal :
Melindungi agama (hifzh al-din)
Melindungi jiwa dan keselamatan (hifzh al-nafz)
Melindungi kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl)
Melindungi akal pikiran (hifzh al-‘aql)
Melindungi harta (hifzh al- mal)

Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak meng- khususkan perannya hanya dalam penyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan kerangka pandang ini, maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) yang harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dapat dilakukan dengan baik.

No comments:

Post a Comment