Thursday 11 June 2015

Tentang ke-Nu-an

Apa itu NU ?

NU adalah singkatan dari Nahdlatul Ulama, sebuah ormas Islam terbesar di dunia yang bediri tahun 1926. NU didirikan untuk menjaga dan mengembalikan pemahaman Islam ahlus-sunnah dari penyelewengan dan penafsiran yang menyesatkan dari aliran khawarij yang hidup kembali di abad ke-20. Aliran ini kemudian berganti nama menjadi Safafi-Wahabi yang didirikan di akhir abad ke-18 oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Saudi Arabia.
NU memiliki posisi yang begitu strategis dan sangat tepat dalam mengkampanyekan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin dengan paham ahlus-sunnah wal jama’ah-nya adalah potret Islam berwajah damai, moderat, penuh toleran terhadap kelompok dan agama lain. Bahkan, dunia barat menaruh harapan yang sangat besar terhadap NU untuk mengimbangi dan menjadi potret alternatif bagi Islam di dunia. Hal seperti ini belum pernah terjadi bagi ormas Islam di mana pun, kecuali bagi NU itu sendiri. Sehingga NU sampai sekarang telah berhasil membuktikan kepada dunia, bahwa NU mampu hidup berdampingan secara dinamis dalam masyarakat plural dan mampu memberikan serta mengubah beberapa kebijaksanaan yang tidak berpihak kepada peradaban Islam, baik secara regional maupun secara internasional.
NU adalah ashabul haq. Benar dalam cara beragama dan juga benar dalam cara bermasyarakat atau berpolitik kebangsaan. Pemahaman keagamaan NU adalah berpegang kepada Fikrah Nahdliyah yaitu : mengikuti imam mazhab yang 4, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam masalah fiqh. Dalam hal tasawuf kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali dan yang lainnya. Sedangkan dalam hal tauhid mengambil dari Imam Abu Musa al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
NU dalam memahami Islam melalui metode dan metodologi yang panjang, sehingga produk yang dihasilkannya pun mapan. Pertama, NU menggunakan metode Bayan Ilahi atau penjelasan dari Al-Quran. Tapi ayat-ayat dalam al-Quran memiliki jenis tertentu, ada yang muhkamat (tentang hukum) yang membutuhkan istinbat hukum tentangnya, mutasyabihat (samar) yang membutuhkan tafsir atau ta’wil tentangnya, muqayyad terbatas), ‘um (umum), ma’na hakiki, ma’na majazi , nasikh, mansukh, dan khas (khusus).
Kedua, bila sudah memahami ayat-ayat itu tapi belum mendapatkan kesimpulan yang utuh maka akan berpindah pada sumber kedua, yaitu Bayan Nabawi atau hadits. Sedangkan -hadits pun bermacam-macam derajatnya seperti : mutawatir, ahad, shahih, hasan, dhaif, marfu, mauquf dan maqthu.
Ketiga, bila sudah memahami hadits dengan berbagai macam kualitasnya masih juga belum memahami Islam dengan utuh, maka akan menggunakan metode rasional atau manhaj aqli yang harus dimaksimalkan. Akal ini ada dua bagian, yaitu akal para ulama atau mujtahid yang berkumpul kemudian menghasilkan sebuah keputusan yang disepakati namanya ijma’. Ijma pun dibagi dua yaitu : ijma’ qauli dan ijma’ sukuti. Jika akalnya ulama atau mujtahid tanpa melalui pertemuan hal ini dinamakan qias. Jadi tidak mungkin bisa memahami Islam secara universal dan utuh tanpa melalui ijma’ dan qias.
Sebagai contoh, di dalam al-Quran dan hadits tidak menerangkan komponen apa saja yang harus dipenuhi seseorang ketika akan shalat, yang disebut dengan syarat sah shalat. Ijma’ ulama sepakat bahwa syarat sah shalat adalah : Islam, baligh, berakal sehat (tidak gila), suci dari hadits kecil dan hadats besar, suci badan, tempat, pakaian serta masuk waktu. Hal seperti ini ditetapkan dengan menggunakan metode aqliyah yang bernama ijma’. Tanpa ijma’ kita tidak akan pernah tahu syarat sah shalat, haji, puasa dan ibadah lainnya.
Contoh qiyas dalam al-Quran dan hadits misalnya tidak ada yang menerangkan menampar orangtua, yang ada berbicara kasar dan membentak mereka. Ada yang namanya qiyas aulawi yang maksudnya, apabila berkata kasar dan menyinggung perkataan orang tua saja hukumnya haram, apalagi menampar mereka. Begitu pula ketika al-Quran dan hadits melarang umat muslim untuk tidak berkata menyakitkan kepada satu orang saudara muslim lainnya, tiba-tiba ada yang berkata “ Orang-orang NU adalah ahli bid’ah, penyebar kemusyrikan dan perkataan menyakitkan lainnya “ , maka hal ini dinamakan dengan qias aulawi. Orang yang tidak memahami metode seperti ini tidak akan mampu memahami Islam secara universal dan mendalam, bahkan cenderung sesat dan menyesatkan.
NU sebagai rumah sekaligus perpustakaan terbesar ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Asia Tenggara, memiliki banyak sanad keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah Saw.   Sudah barangtentu dalam berbagai hal ada perbedaan pendapat. Hal seperti ini merupakan sebuah rahmat dan keringanan bagi jam’iyyah Nahdliyyin itu sendiri yang harus disikapi secara proporsional dan profesional. 
NU sebagai ormas terbesar di dunia dengan jam’iyyah Nahdliyyin-nya yang berkisar 100 juta orang, tidak heran telah menjelma  “ bak “ seorang putri yang sangat cantik jelita sehingga tidak sedikit pihak yang ingin menjatuhkannya.  Bisa dikatakan, bahwa NU seka ---rang berada dalam kepungan ideologi “ Radikalisme Timur-Tengah dan Liberalisme Barat “, yang sama-sama berpotensi merusak NU dan NKRI.
Ideologi Transnasional dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi ini akan menggeret agama masuk dalam pusaran ketegangan benturan sosial politik. Pada gilirannya ia akan mereduksi substansi Islam sebagai agama cinta damai dan transendetal serta melepaskan dogmatisme agama. Sedangkan gerakan radikal yang ingin benar sendiri seperti yang diusung oleh paham Salafi-Wahabi, akan menghilangkan peran agama sebagai rahmat. Karena itulah kedua ideologi ini tidak bermanfaat sama sekali bahkan membahayakan keutuhan NKRI dan kesucian agama Islam itu sendiri. Yang pada akhirnya mereka akan membersihkan NU dari seluruh tradisi-tradisi peribadatan dan keagamaannya.

No comments:

Post a Comment