Berbicara tentang keshahihan sebuah hadits sebenarnya membutuhkan banyak pembahasan yang adil dan mendalam. Pembahasan ilmu hadits sebenarnya bukan diper- untukkan untuk masyarakat awam, ia adalah bagian dan haknya para mujtahidin atau setidaknya para fuqaha. Bagi orang NU shahih atau tidaknya sebuah hadits terlihatnya tidak begitu penting. Karena bagi mereka, ketika para kyainya mengatakan “ Nabi Saw bersabda “ mereka akan mengimani dan mengamininya. Mereka tidak akan bertanya apakah hadits tersebut shahih atau tidak.
Orang-orang NU lebih menitikberatkan kepada keshahihan perilaku mereka, bukan terhadap matan atau sanad haditsnya. Karena tidak sedikit dari saudara kita yang hanya meributkan keshahihan sebuah hadits, tetapi ternyata rekam jejak dan kenyataan dalam kehidupan perilaku mereka tidak shahih. Ada juga yang mengatakan “ Apabila ada hadits shahih yang bertentangan dengan al-Quran, maka hadits tersebut harus ditolak “. Sebenar- nya pernyataan seperti ini menyesatkan. Karena mustahil sebuah hadits shahih dapat bertentangan dengan al-Quran, paling-paling otak mereka saja yang tidak shahih sehingga tidak mampu memahami hubungan antara hadits dan al-Quran.
Karena Allah Swt berfirman :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“ dan tidaklah yang ducapkan (Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Tidak lain (yang diucapkannya itu) adalah wahyu (dari Tuhan-Nya) ” (QS. 53 / an-Najm : 4-5)
Jadi menurut ayat ini, kedudukan sabda Nabi Saw yang shahih sama dengan wahyu. Jadi bagaimana mungkin wahyu Ilahi dapat dikatakan sebagai hadits dhaif atau mungkar ?
Para perawi hadits di zaman Nabi Saw tidak kurang dari 124.000 sahabat dari kalangan Muhajirin dan al-Anshar. Bila satu orang satu hadits saja yang hafal, maka jumlah hadits adalah 124.000 hadits, dan apabila satu orang sepuluh hadits saja yang hafal, maka jumlah hadits 1.240.000 hadits, dan apabila satu orang 100 hadits saja yang hafal maka jumlahnya adalah 12.400.000 hadits. Padahal di antara para sahabat ada yang mampu meng- hafal sampai ribuan hadits jumlahnya. Ini adalah cara para Kyai NU menggambarkan bagaimana banyaknya hadits yang tidak tersampaikan kepada umat.
Sekarang mari lihat sebagian para ulama dari zaman-ke zaman, dan silahkan katakan mana perawi yang shahih dan mana yang tidak shahih. Mereka adalah :
Di dalam kitab “ Syarh Ushul al-I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah “ dikatakan : “ Dari tabi’in mereka adalah : Sa’id al-Musayyib, Thawus, Mujahid, Ikrimah, Muhammad Ibn Ka’ab al-Qurazhi, Ka’bul Ahbar, Abu ‘Aliyah, al-Hasan, Abdur Rahman ibn Abi Laila, Qatadah, ‘Abdul Rahman ibn Sabith, Abu Ishaq As-Sabi’, Ar-Rabi ibn Anas, Ibrahim Asha-igh, Yazid in Abi Malik, Abdul Wahid ibn Yazid al-Bashri, Adh-Dhahak ibn Muzahim, Abdul ‘Aziz ibn Umar Az-Zahid, Ibn Ar-Rabi’ As-Sayih, Abu Sinan. Tetapi selain mereka ada juga yang memasukkan nama seperti : Masruq al-Ajda, Urwah bin Zubair, Said bin Jubair, Amir bin Syarahil, Muhammad ibn Sirin, Az-zuhri, Ayyub as-Sakhtiani, Sulaiman bin Mihran, Abu Safar Malik bin Mughawal, Manshur bin Ibrahim, Ibnu al-Madini, Al-‘Ajali Abu Ishaq as-Saba’i, Abu ’Zur’ah, Makhul, Al-Qasim bin Muhammad, Utsman bin Hukaim, Ibnu Harmalah, Hisyam bin Sa’ad, Abdullah bin Abdullah bin Utbah, Kharizah bin Zaid dan Sulaiman bin Yasar “. (Syarh Ushul al-I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah 3 / 520)
Fuqaha dari Ahli Juhaifah (Madinah) yaitu : Malik bin Anas, Ibnu Abi Dza’bin, Abdul Aziz bin Abi Salamah, al-Majasyun. Sedangkan dari ulama Makkah : Ibnu Juraij, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Salam ath-Thaif, Sa’ad bin Salim al-Qaddah, Asy-Syafi’i, Abdullah bin Zubair al-Hamidi. Dari ulama Mesir : Al-Laits bin Sa’ad, Umar bin al-Harits a-Mishri, Haiwah bin Syuraih, Abdullah bin Lahi’ah, Abdullah bin Wahhab al-Mishri, Syahab bin Abdul Aziz, Abdullah bin Abdul Hakim, Abdul Rahman bin al-Qasim, Abu Ibrahim al-Muzani, Harmalah bin Yahya, Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, Ar-Rabi’ Sulaiman al-Jizii, Muham- mad bin Abdullah bin Abdul Hakim. Dari ulama Syam yaitu : Raja’bin Haiwah, Abdullah bin Muhairizin, Az-Zuhri, Ubadah bin Nusayi, Yahya bin Abi Katsir al-Yamami, al-Auzai, Sa’id ibnu Abdul Aziz, Muhammad ibnu al-Walid az-Zubaid. Dari penduduk Iraq , yaitu dari ulama Kufah : Abdullah bin Syubrumah, Muhammad bin Abdul Rahman bin Abi Laila, Sufyan Ats-Tsauri, al-Hasan bin Shalih bin Hayyin, Syarik, Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan. Sedangkan ulama fiqih dari Bashrah adalah : Sawwar bin Abdullah, al-‘Anbari, Ubaidillah bin Hasan al-Anbari, Mu’adz bin Mu’adz, al-Anbari, Utsman bin Sulaiman al-Batiy al-Kufi. Sedangkan ulama dari Baghdad adalah : Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Abu Tsauri Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, Abu Ubaid la-Qasim bin Salam. Sedangkan ulama dari Khurasan adalah : Ibrahim bin Thahman, Abu Abdil rahman Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi, Yahya bin Yahya an-Naisaburi, Ishaq bin Rahawaih al-Marwazi “ (Syarh Ushul al-I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah 3 / 529)
Di dalam keterangan lain dikatakan, bahwa para ulama ahli fiqih dan ahli hadits dari zaman tabi’in sampai dengan tahun 700 Hijriah di antaranya adalah : Masruq al-Ajda, Said bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Said bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz, Amir bin Syarahil, Thawus bin Kaisan, Al-Hasan al-Bashri, Muhammd bin Sirin, Az-Zuhri, Ayyub As-Sakhtiani, Sulaiman bin Mihran (Al-Amasy), Abu Hanifah, Abdur-rahman al-Auzai, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Hammad bin Salamah, Al-Laits bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, Malik bin Anas, Al-Mubarak Abdullah bin al-Mubarak, Al-Fudhail bin Iyadh, Waqi’ bin Al-Jarrah, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Said al-Qatan, Muhammad Idris Asy-Sayfi’i, Yazid bin Harun al-Wasithi, Abu Said al-Qasim bin Salam, Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, Ishaq bin Rahawaih, Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, Abu Dawud as-Sijistani, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Isa At-Turmudzi, Ibrahim bin Ishaq (Ibrahim al-Harbi), Abu Abdurrahman An-Nasai, Muhammad bin Nashr al-Mawarzi, Muhammad bin Jariri Ath-Thabari, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Ath-Thabarani, Abul Hasan Ad-Daruquthni, Ibnu Mandah, Al-Hakim Abu Abdillah Ibnu al-Bayy, Abu Muhammad bin Hazm, Abu Bakar al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Al-Khatib al-Baghdadi, Abul Qasim bin Asakir, Abu Faraj bin al-Jauzi al-Baghdadi, Abdul Ghani al-Maqdisi, Al-Izzu bin Abdissalam, An-Nawawi, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Hajar, al-Haitami, Abu Muhammad al-Ghazali, Ibnu Abi Hamzah, Amir bin Abdul Qais, An-Nahwi al-Qudwah, Ibnu Abi Arubah, Musa bin Ismail al-Tabudzaki, Yunus al-Muaddib, Abu Halal al-Askari, Al-Khalid bin Ahmad al-Faradhi al-Bashri, Abu Yusuf al-Ghadi Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari al-Kufi al-Baghdadi, Al-Qadhi Ibrahim bin al-Jarrah al-Kufi, Abil Abbas bin Abil Awwam, al-Muwaffaq al-Makki, Hafizhuddin al-Kardari, Al-Hafizh al-Quraisy, Al-Allamah Thasykubri Zadah, Isham bin Yusf al-Bulakhi, Al-Hafizh al-Aini, Muhammad bin Salam al-Bikandi (guru al-Bukhari), Al-Hafizh Adz-Dzahabai, Abu Zar’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Muhammad bin Ayyub al-Bujali, Ubaid bin Yaisy, Yahya bin Mu’in, Muhammad bin Fadhl, Husyaim bin Basyir, Ismail bin Iyas, Abdul Razzaq al-Yamani, Utsman bin Said Ad-Darami, Abu Ya’la al-Mushili, Abdullah ar-Rumi, dan lain-lain.
Mereka adalah para ulama yang bergelut di bidang ilmu fiqih dan ilmu hadits. Tidak semua ahli hadits mampu menjadi ahli fiqih, tetapi ahli fiqih sudah pasti ahli hadits. Sebagai contoh, sampai saat ini kita tidak pernah mendengar mazhab al-Bukhari atau mazhab Muslim, padahal mereka adalah salah satu imam hadits. Sedangkan pada kenyataannya Imam Bukhari bertaklid kepada Imam Syafi’i, sedangkan Imam Muslim bertaklid kepada Imam Malik. Atau dapat pula dikatakan bahwa menurut ijtihad Imam Bukhari mazhab yang paling shahih adalah mazhab Imam Syafi’i, sedangkan menurut ijtihad Imam Muslim mazhab yang paling shahih adalah mazhab Imam Malik. Hal ini menunjukkan bahwa seorang imam hadits belum tentu mampu menjadi seorang mujtahid mutlak atau pendiri mazhab. Sudah barang-
tentu kita wajib meletakkan kedudukan ulama di atas ulama lainnya sesuai dengan tingkat keilmuannya secara benar.
Nama para ulama di atas belum dirinci misalnya, perawi dari Mazhab Abu Hanifah, mazhab Imam Malik, mazhab Imam Syafi’i dan mazhab Imam Ahmad. Belum ditambah dengan mazhab-mazhab lainnya yang pernah ada. Hal ini akan menambah rumit dan tidak berujung kepada perilaku yang dinamis. Tetapi walaupun begitu, bukan berarti para Kyai NU tidak mendalami ilmi hadits. Setidaknya agar suatu sanad (perawi) dikatakan shahih dan dapat diterima, maka ia harus memenuhi beberapa syarat berikut :
Harus muttashil (bersambung), yakni setiap periwayat mengambil hadits dari periwayat sebelumnya dan menyampaikannya kepada periwayat setelahnya tanpa melalui perantara lain selain periwayat-periwayat yang disebutkan di dalam sanad.
Para periwayatnya adil, yakni telah diakui dalam hal kualitas keagamaannya, sehingga membuat dirinya takut melakukan kebohongan, penyimpangan ataupun gegabah dalam urusan agama Allah Swt.
Para periwayat harus dhabit, yakni telah dikenal memiliki daya hafal yang teguh, bila hadits itu diriwayatkan dengan hafalan, atau memiliki catatan akurat bila diriwayat- kan dengan tulisan.
Sanad tidak ada yang syadz, yakni sering terjadi sanad itu shahih bila diukur dengan kriteria-kriteria di atas, tetapi ada sanad lain yang berbeda, yang nilainya lebih kuat karena adanya lebih banyak periwayat tsiqah yang berbeda dengan periwayat-peri- wayat pada sanad pertama atau karena mereka memiliki daya hafal atau ketelitian lebih dibanding periwayat-periwayat pada sanad pertama. Dalam kondisi ini sanad pertama dinilai dhaif, dan biasa dikenal dengan istilah sanad syadz, sedang sanad yang lain menjadi kuat, dan biasa dikenal dengan istilah sanad mahfudz.
Sanad itu tidak mengandung ‘illat qadihah, yakni sering terjadi suatu sanad terlepas dari syadz, tetapi tidak terlepas dari ‘illat qadihah (yang mencatatkan keshahihan suatu hadits). Misalnya, secara lahiriah sanad itu bersambung dan shahih, tetapi ada sementara ahli yang melihat bahwa sanad itu munqathi (terputus di tabi’in). Atau secara lahiriah sanad itu marfu’ (bersambung kepada Nabi Saw) tetapi oleh sementara ahli dinilai mauquf (terhenti pada sahabat), yakni pernyataan sahabat. Dan dalam kondisi seperti itulah, para kritikus yang jeli akan mampu menilai bahwa sanad itu mengandung ‘illat, meskipun secara lahiriah tampak shahih.
Pada intinya, bahwa keshahihan sebuah hadits dapat juga dikatakan bila memenuhi empat syarat, yaitu : shahih fil wurud, shahih fid-dilalah, shahih fis-sanad, shahih fil matan.
Shahih fil wurud adalah : asal-asul haditsnya apakah dari Nabi Saw ataukah bukan. Untuk keperluan ini ada dua metode kritik, yaitu : kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad adalah : penelitian secara cermat asal-usul suatu hadits berdasarkan periwayatannya. Sedangkan kritik matan adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadits berdasarkan teks yang dibawa oleh para periwayat itu. Tujuan akhir dari kedua penelitian ini adalah menentukan apakah suatu hadits bisa diterima atau tidak (maqbul atau mardud).
Shahih fid-dilalah adalah : berkaitan dengan makna yang ditunjukkan oleh suatu hadits yang telah dinyatakan diterima berdasarkan penelitian terhadap wurud-nya. Sehingga, kajian terhadap dalalah suatu hadits bisa dilakukan bila hadits yang bersangkutan telah diuji wurud-nya dan telah diketahui hasilnya.
Shahih fis-sanad adalah : apakah periwayat yang meriwayatkan sebuah hadits tersebut bersambung kepada Nabi Saw ataukah tidak, dan apakah periwayat tersebut memiliki sifat-sifat tsiqah, dhabit dan yang dibutuhkan sebagai seorang penyampai risalah kenabian atau tidak ?
Shahih fil Matan adalah : apakah matan (redaksi) hadits yang disampaikan oleh perawi itu bertentangan dengan al-Quran, sifat-sifat Allah, sifat-sifat Nabi Saw ataukah tercampur dengan ucapan sahabat lainnya ataukah tidak.
Yang menjadi “ perang terbesar “ di dalam penelitian ilmu hadits adalah tentang kritik matan (redaksi hadits) yang jarang sekali disentuh. Hal ini dapat kita jumpai dalam penelitian para tokoh-tokoh besar dalam ilmu kritik hadits. Di antaranya adalah :
Syaikh al-Ustad Ahmad Amin yang mengatakan dalam kitabnya “ Fajr al-Islam “ sebagai berikut : “ Para ulama telah membuat kaidah-kaidah jahr wa ta’dil (tentang kecacatan sebuah hadits) yang tidak pada tempatnya bila saya sebutkan di sini. Akan tetapi demikianlah yang sebenarnya, mereka lebih banyak menitik- beratkan perhatian kepada studi sanad (perawi). Sedikit sekali anda dapat menemukan mereka melontarkan kritik, bahwa apa yang dinisbatkan kepada Nabi Saw sebenarnya tidak layak dan sesuai dengan situasi dan kondisi saat hadits itu beliau kemukakan, atau realitas sejarah ternyata bertolak belakang, atau redaksi hadits ini sebenarnya tidak lebih dari pernyataan falsafi yang sama sekali tidak ----
Sejalan dengan redaksi yang biasanya dipakai oleh Nabi Saw, atau pola dan gaya pengungkapan hadits itu lebih mirip dengan pernyataan fiqih, dan sebagainya. Berkenaan dengan hal ini, kita juga tidak menemukan sepersepuluh usaha yang mereka lakukan berkenaan dengan kritik sanad. Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri, dengan status dan akurasi penelitiannya, menilai bahwa hadits-hadits yang menunjukkan kejadian temporal atau eksperimental sama sekali tidak shahih. Hal ini tidak lain karena beliau membatasi diri dengan kritik sanad semata “.
Imam Ibn Khaldun pun berkomentar dalam kitabnya : “ Para ahli sejarah, ahli tafsir dan ahli hadits banyak melakukan kesalahan dalam mengungkap berbagai kasus atau peristiwa, dikarenakan landasan mereka hanyalah kritik ekstern (sanad) tanpa meneliti lebih jauh esensi kejadian itu, atau menganalogikan dengan latar belakangnya ataupun melakukan klarifikasi berdasarkan terma-terma falsafi, watak (karakter) setiap peristiwa, kritik objektif terhadap berbagai berita dan lain-lain. Akibatnya mereka terpental dari kebenaran dan ter- jerumus ke dalam kekeliruan dan kesalahan ”.
Sedangkan Syaikh Ahmad Amin di dalam kitabnya “ Dluhrul Islam ”, mengulas para ahli hadits sebagai berikut : “ Kita lihat dengan jelas, bahwa para ahli hadits lebih banyak memberikan perhatian mereka terhadap studi kritik sanad dibanding dengan perhatian mereka terhadap studi kritik matan. Padahal ada sanad yang benar-benar mengandung tadlis (semacam manipulasi yang terjadi dalam rangkaian periwayat hadits) dan mereka meneri- manya. Meskipun akal dan kenyataan jelas-jelas tidak mengakui, bahkan ada sebagian mereka menilai hadits semacam itu shahih hanya karena tidak ditemukan adanya jahr (cacat) dalam rangkaian sanadnya. Hal ini juga tidak luput melanda Imam Bukhari dan Imam Muslim. Meskipun suatu hadist dipandang shahih dari segi sanadnya, namun bila dikritik dengan ukuran asas-asas Islam, kadang-kadang tidak singkron ”.
Syaikh Mahmud Abu Rayyah, seorang penulis kenamaan berkata : “ Para ulama hadits jarang menilai idltirab terhadap suatu hadits, bila kerancuan terjadi pada matannya. Sebab hal itu memang bukan tugas mereka sebagai ahli hadits. Hal ini menjadi tugas para ahli ijtihad (Mujtahidin). Para ahli hadits hanya menilai idltirab (kebergaman periwayatan terhadap suatu hadits), baik oleh satu orang periwayatan yang meriwayatkannya lebih dari satu kali, atau oleh lebih dari satu orang periwayat tanpa ada indikator yang menunjukkan mana di antara riwayat itu yang paling kuat terhadap suatu hadits, bila kerancuan terjadi pada sanad, karena hal itulah yang menjadi tugas mereka ”.
Saya akan bawakan contoh hadits yang banyak dinilai shahih bahkan tidak sedikit yang menyampaikannya. Hadits ini secara sanad shahih tetapi sebenarnya hadits ini memiliki ‘illat (cacat) di dalamnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، وَأَبِي عَبْدِ اللَّهِ الأَغَرِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ "
“ Meriwayatkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari ibn Syihab, dari Abi Salamah dan Abi Abdullah al-Aghar, dari Abu Hurairah : sesungguhnya Rasulullah Saw bersabba : “ Turunlah Tuhan kami Yang Maha Suci dan Mahatinggi setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam akhir dan berfirman : “ Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan doanya, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan (hajatnya), dan barangsiapa yang memohon ampun akan Aku ampuni “ (Shahih Bukhari 2/53, 8/71, 9/143, Shahih Muslim 1/ 251 dll)
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، يَرْوِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ، نَزَلَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ ".
“ Mengabarkan kepada kami Jarir, dari Manshur, dari Abi Ishaq, dari al-Aghar Abi Muslim meriwayatkan dari Abi Sa’id dan Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda : “ Sesungguhnya Allah, jika telah pergi (berlalu) sepertiga malam yang pertama, pelan-pelan turun ke langit dunia. Maka Dia berfirman : “ Adakah orang yang minta ampun ? Adakah orang yang bertobat ? Adakah orang yang memohon ? Adakah orang yang berdoa ? hal ini (terjadi) hingga terbitnya fajar “ (Shahih Muslim 1/253, Sunan Ibnu Majah 1/435 dll)
Kelompok sanad oriented akan memberikan takwil kepada kalimat “ turun “ adalah turunnya rahmat, turunnya maghfirah, turunnya keselamatan, turunnya kebaikan dan takwil yang lainnya. Hal ini merupakan argumentasi yang lemah, karena kalimat ampunan, tobat, permohonan, keselamatan merupakan bentuk pertanyaan dari Allah untuk para malaikat ----atau manusia, jadi sebetulnya tidak perlu ada pembelaan dalam bentuk pengulangan terhadap apa yang telah dinyatakan oleh-Nya.
Lagi pula sejak kapan Allah butuh tempat sehingga harus turun ke langit dunia ? Bukankah Allah tidak bertempat ? Mengapa Allah harus turun ke langit dunia untuk mendengar orang yang meminta ampun , memohon keperluan segala hajatnya, bukankah Dia Maha Mendengar ? Mengapa Al-Malik harus repot-repot setiap malam turun ke langit dunia ? bukankah Dia memiliki malaikat pencatat amal yang senantiasa bolak-balik mela- porkan amal perbuatan dan kebutuhan hamba-hamba-Nya ? Bentuk pertanyaan tersebut dibenarkan oleh dua tokoh besar dalam Islam, yaitu Sayyidina Ali r.a dan Imam al-Ghazali.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a berkata : “ Dia (Allah) tidak pernah dilalui oleh masa, maka keadaan-Nya tidak pernah berbeda. Tidak pula Dia berada dalam suatu tempat yang mengharuskan-Nya berpindah tempat. Dia mengetahui segala rahasia yang ada di dalam hati- hati yang tersembunyi, bisikan orang-orang yang berbisik-bisik, dan kecenderungan sese- orang dalam hatinya “
Imam al-Ghazali berkata : “ Dia (Allah) tidak dibatasi oleh ukuran. Tidak tercakup oleh wilayah. Tidak dikelilingi arah. Tidak dilingkupi oleh langit. 13 Maha Tinggi Allah untuk dapat dimuat oleh ruang, sebagaimana Dia disucikan dari batasan waktu ”.
Sedangkan kalimat di dalam hadits yang menyatakan “ Turunlah Tuhan kami ke langit dunia dan Sesungguhnya Allah pelan-pelan turun ke langit dunia” tidak sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Sayyidina Ali r.a dan Imam al-Ghazali. Bila kita akan membenarkan redaksi hadits itu, berarti kita wajib menyalahkan pemahaman Sayyidina Ali r.a dan Imam al-Ghazali.
Akan tetapi, tidak sedikit juga tokoh-tokoh Ahlussunnah yang membela hadits di atas misalnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, di mana beliau berkata : “ Allah senantiasa turun ke langit dunia setiap malam dengan cara-Nya dan sesuai kehendak-Nya. Dia lalu memberikan ampunan kepada siapa saja dari hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki yang berbuat dosa, kesalahan dan maksiat. Mahasuci dan Mahatinggi Allah di atas semua yang tinggi, tiada Tuhan selain Dia yang mempunyai Asma al-Husna. Pengertian turunnya Allah ke langit dunia tidak berarti turunnya rahmat dan pahala seperti yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah dan Asy’ariah ”
Dalam ucapannya : “ Pengertian turunnya Allah ke langit dunia tidak berarti turunnya rahmat dan pahala seperti yang dikemukan oleh kaum Mu’tazilah dan Asy’ariah ”, dalam hal ini sepertinya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidak sependapat dengan keyakinan mayoritas al-Asy’ariyah, beliau memiliki pemahaman tersendiri.
Yahya bin Mu’in berkata : “ Jika ada penganut Jahmiyah yang berkata kepadamu, “ Aku ingkar kepada Tuhan yang turun “, maka katalah kepadanya, “ Aku beriman kepada Tuhan yang berbuat apa saja yang Dia kehendaki “.
Dari empat penjelasan yang telah disampaikan oleh para pemuka ahlussunnah di atas jelas terdapat perbedaan yang sangat tajam. Apakah kita akan mengikuti pemahaman Sayyidina Ali r.a sebagai gerbangnya ilmu kenabian dan Imam al-Ghazali sebagai Hujjatul Islam, ataukah kita akan mengikuti Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai Wali Kutub dan Imam Yahya bin Mu’in sebagai guru haditsnya Imam Bukhari ? Semoga Allah Swt tetap merahmati mereka dan kita semua.
Dari Abu Hurairah, dia mendengar Nabi Saw bersabda :
اِنَّ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ لَطَمَ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَأَعْوَرَهُ فَإِنْ كَانَ يَجُوْزُ عَلىَ مَلَكِ الْمَوْتِ اْلأَعْوَرَ جَازَ عَلَيْهِ الْعَمَى وَلَعَلَّ عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَدْ لَطَمَ اْلأُخْرَى فَأَعْمَاهُ
“ Sesungguhnya Nabi Musa a.s pernah menampar malaikat maut sampai (matanya) juling, maka dia juga bisa buta. Nabi Isa bin Maryam a.s juga pernah menampar yang lain sampai buta…” (Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, Ibnu Qutaibah bab. 87, lihat Ensiklopedia Hadis, Ibnu Qutaibah hal. 298, lihat pula : Shahih Muslim 4/1843, Musnad ahmad 13/507, 14/265, Mustakhraji Abi Awanah 1/160, Shahih Ibnu Hibban 14/116, Syarh as-sunnah, al-Baghawi 5/265 , hadits ini hanya diriwayatkan oleh satu sahabat saja yaitu Abu Hurairah. Lalu mengapa para sahabat utama tidak ada satupun yang meriwayatkannya ? )
Kita mengetahui bahwa Nabi Musa a.s seorang Nabi yang tegas dan keras terhadap Bani Israil dan musuh-musuh Allah, tetapi bukan keras dan kelewat batas terhadap malaikat Allah. Alasan Nabi Musa a.s menampar malaikat Maut adalah, karena Nabi Musa a.s tidak bersedia untuk mati. Padahal semua Nabi dan Rasul-Nya adalah hamba-hamba-Nya yang paling menerima qadha dan qadar. Lalu tiba-tiba Nabi Musa a.s melepaskan salah satu busana kenabiannya dengan menolak qadha dan qadar-Nya. Bukankah ini sesuatu yang sangat aneh dan teramat ganjil ?
Dr. Salahuddin berkata : “ Beberapa ulama hadits yang melakukan kritik atau periwayatan dengan sangat longgar itu terbukti telah meriwayatkan hadits-hadits yang dapat dinilai sebagai legitimasi adanya tasybih (penyerupaan) antara Sang Khaliq dengan makhluk, dan hadits-hadits maudhu’i lainnya, dan pemahaman literal terhadap suatu hadits seraya berpegang kepada kritik sanad semata dan tanpa berpegang pada teori kritik yang membantu kita mengetahui mana hadits yang mungkin muncul dari Nabi Saw dan mana yang tidak. Di saat yang sama, kelompok pertama (sanad oriented) dengan gencar menundukkan akal terhadap hadits, bila sanadnya shahih dengan cara melakukan penakwilan yang dipaksakan, meskipun jelas-jelas bertentangan dengan akal, bahkan hukum aksiomik. Mereka juga enggan menerima tuduhan negatif terhadap salah satu periwayat yang terdapat di dalam rangkaian para periwayat (sanad) yang dijadikan sebagai indikasi muttashil setidaknya atau marfu’ tidaknya suatu hadits.
Sebenarnya tidak mungkin terjadi kontradiksi antara hal-hal yang logis dan riwayat yang benar. Karena itu seyogyanya kita memberikan rambu-rambu bagi akal-kita agar tidak begitu saja menolak suatu hadits hanya karena adanya sedikit kontradiksi atau sesuatu yang kurang mungkin. Kita telah mengendalikan diri kita kepada Allah Swt di antaranya dengan cara mengikutkan hawa nafsu kita kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, bukan sebaliknya. Kita juga seyogyanya tidak mengabaikan akal kita, bila ternyata ada riwayat yang jelas bertentangan dengan hukum akal yang telah diakui. Inilah yang perlu kita camkan betul-betul dalam menyelesaikan persoalan di atas.
Akal sehat yang mampu memandang sesuatu secara objektif tidak akan mengakui penisbatan suatu persoalan kepada Rasulullah Saw yang tidak sejalan dengan sabda dan tingkah laku beliau kecuali dalam keadaan terpaksa. Akan tetapi ia tidak akan menolak mengakui adanya kesalahan atau kekeliruan periwayat tsiqah, karena bagaimana pun mereka tidak ma’shum. “ Wallahu ‘alam bish-shawab
Sedangkan menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a, orang yang meriwayatkan hadist terbagi ke dalam empat bagian, yaitu :
1.Kaum Munafik Pendusta
Orang munafik adalah orang yang memamerkan keimanan dan mengambil wajah seorang muslim, ia tidak ragu-ragu berbuat dosa dan tidak menjauh dari kemungkaran, bahkan ia dengan sengaja mengatas namakan hal-hal yang dusta terhadap Nabi saw. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah sahabat Nabi saw, telah bertemu beliau, mendengar kata-kata beliau dan mendapatkan ilmu pengetahuan dari beliau dll.
2. Orang Yang Keliru
Yaitu orang yang mendengar sesuatu dari Nabi Saw, tetapi mereka tidak meng- hafalnya melainkan hanya menyimpulkannya. Mereka tidak berdusta dengan sengaja. Kemudian mereka membawa ucapan itu dan meriwayatkannya, mengamalkannya, dan mengaku bahwa “ Saya mendengarnya dari Rasulullah Saw “.
3. Orang Yang Tidak Tahu
Yaitu orang yang mendengar Rasulullah Saw memerintahkan untuk melakukan sesuatu dan kemudian Nabi Saw melarang orang untuk melakukannya, tetapi orang tersebut tidak mengetahuinya. Atau ia mendengar Nabi Saw melarang orang terhadap sesuatu dan kemudian beliau mengizinkannya tetapi orang itu tidak mengetahuinya.
4. Orang Yang Menghafal Dengan Benar
Yaitu orang yang tidak berbicara dusta terhadap Allah maupun terhadap Rasul-Nya. Ia benci akan kepalsuan karena takut kepada Allah dan menghormati Rasul-Nya, serta tidak membuat kekeliruan, merekam dalam pikirannya tepat seperti apa yang didengarnya, tanpa menambah atau mengurangi sesuatu. Ia juga mengerti tentang hadits-hadits yang khusus dan umum, dan ia menempatkan segala sesuatu pada kedudukan yang semestinya.
Dari penjelasan di atas tersebut, sudah seyogyanya kita semua mengamini dan meng- imani perkataan beliau. Karena sangat dimungkinkan kita dan semua guru-guru dan para ulama kita termasuk orang-orang yang berada dalam salah satu kriteria di atas. Walhasil, berbesar hati dalam hal ini dengan didasari akal yang sadar dan terbuka akan mendatangkan keselamatan dan kebahagiaan bagi kita semua.
Dari sekian banyak kriteria yang telah dijelaskan, ada satu tambahan yang sangat penting untuk diimani dan diamini, bahwa bagi para ulama NU salah satu hujjah yang dapat dijadikan landasan hukum adalah “ Pendapat para ulama yang hidup dan sezaman dengan imam lainnya. Karena tentu saja mereka lebih tahu kondisi sebenarnya dibanding para ulama yang hidup di belakang mereka. “ Intinya, bahwa pendapat ulama dan imam yang hidup sezaman itulah yang lebih bisa diterima. Sedangkan pendapat ulama dan para imam yang hidup setelahnya bisa diterima bisa pula tidak “. Allah Swt berfirman :
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالاً لِّماَ بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
“ Maka Kami menjadikannya sebagai pelajaran bagi orang-orang pada masa itu maupun bagi mereka yang lahir kemudian, dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang taqwa ” (QS. 2 / al-Baqarah : 66)
No comments:
Post a Comment