Saturday, 13 June 2015

Anak Zina Masuk Neraka


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَدْخُلُ وَلَدُ الزِّنَا الْجَنَّةَ وَلَا شَيْءٌ مِنْ نَسْلِهِ إِلَى سَبْعَةِ آبَاءٍ
“ Dari Abu Hurairah, berkata : bersabda Rasulullah Saw : “ Tidak akan masuk surga anak zina sedikit pun dari nasabnya sampai tujuh turunan ” (Mushanaf Abdurrazzaq 7/455, al-Mu’jam al-Ausath 1/262, (derajat hadits maudhu)
Ucapan seperti ini sangat keterlaluan dan bertolak belakang dengan tujuan syari’at. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dijelaskan tentang hadits ini, antara lain :
Hadits ini memvonis dan memastikan seorang bayi yang tidak berdosa tidak akan masuk surga dikarenakan dosa orangtuanya.
Hadits ini memastikan seorang bayi sampai tujuh keturunannya masuk neraka, padahal mereka belumlah lahir.
Sungguh jauh dari kebenaran bila Nabi Saw yang mengucapkan hal sekeji ini.
Tentang hadits tersebut, telah dikritik oleh ‘Aisyah r.a, ia berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ عَلَى وَلَدِ الزِّنَا مِنْ وِزْرِ أَبَوَيْهِ شَيْءٌ» {وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} [الأنعام: 164]
“ Bersabda Rasulullah Saw : “ Tidaklah anak zina menanggung dosa ayahnya sedikitpun (sebagaimana ayat) “ Seseorang yang tidak berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain (QS. 6 – al-‘An-am : 164)” (Al-Mustadrak, al-Hakim 4/112, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 10/100 (derajat hadits shahih)
Jadi bagaimana mungkin Allah akan menghukum seorang bayi yang berada dalam kandungan, atau yang baru dilahirkan sedangkan telah datang kepada kita hadits nabawi yang jelas keshahihannya dan berasal dari Abu Hurairah juga, ia berkata : bersabda Rasulullah Saw :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ
 “ Setiap anak yang dilahirkan terlahir dalam keadaan fitrah (suci), maka orangtuanyalah yang (menjadikannya) yahudi, atau nashrani atau majusi “(As-Sunan al-Kabir 6/445, al-Qadha wal Qadar, al-Baihaqi 1/340, Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah 3/621, Shahih Ibnu Hibban 1/336, asy-Syari’ah 2/815, Musnad Ahmad 12/103, Shahih Bukhari 2/100, Sunan Turmudzi 4/447 (derajat hadits shahih/masyhur)


Dikuatkan pula dalam hadits lainnya sebagai berikut :
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلُودٍ عَلَى الْفِطْرَةِ فَنَادَاهُ النَّاسُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ؟ قَالَ: أَوْلَادُ الْمُشْرِكِينَ

“ Dari Samurah ibn Jundab, berkata : bersabda Rasulullah Saw : Setiap anak yang dilahirkan adalah suci “ Ada yang berseru di antara sahabat : Ya Rasulullah, walaupun bayi orang-orang musyrikin ? Beliau menjawab : “ Walaupun bayi seorang musyrikin “(al-Qadha wal Qadar, al-Baihaqi 1/340, al-Mu’jam al-Ausath 2/280, al-Mu’jam al-Kabir 1/284,  (derajat hadits shahih)

Dalam hadits yang diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ، وَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، فَإِنْ كَانَا مُسْلِمَيْنِ فَمُسْلِمٌ
“ Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Setiap manusia yang dilahirkan ibunya berada dalam kesucian, dan orangtuanya (yang menjadikannya) yahudi, atau nashrani, atau majusi, di mana kedua orangtuanya muslim maka (anaknya pun) muslim “(Syu’abul Iman, al-Baihaqi 1/183 (derajat hadits shahih)

Bahkan Abu Hurairah pun pernah bertanya kepada Nabi Saw tentang nasib seorang anak kecil yang mati.
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوتُ وَهُوَ صَغِيرٌ؟ قَالَ: اَللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِيْنَ "
“ Aku bertanya : Ya Rasulullah aku melihat seseorang mati dan ia masih kecil ? Nabi Saw menjawab : “ Allah lebih mengetahui tentang apa yang diperbuatnya “(Ibanah al-Kabir, Ibnu Bathah 4/69, Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah 3/623, Shahih Ibnu Hibban 1/342, Musnad Abu Ya’la 11/197, Musnad Ahmad 12/278, Shahih Bukhari 2/100, Sunan Abu Dawud 4/229 (derajat hadits shahih/masyhur)
Bahkan ayat ini diturunkan sebagai pembelaan terhadap anak zina dan anak-anak non musim yang dilahirkan oleh orangtuanya, bahwa mereka terlahir sebagai anak yang suci dan tidak memiliki dosa dikarenakan agama atau perbuatan orangtuanya :
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
 “  (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu, dan tidak ada perubahan pada ciptaan Allah“  (QS. 30 - ar-Ruum : 30) (Shahih Ibnu Hibban 1/339, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 6/333 riwayat dari az-Zuhri dari Sa’id bin al-Musayyab dari Abu Hurairah, al-Qadha wal  Qadar, al-Baihaqi 1/341, 1/360 riwayat dari az-Zuhri dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah, Ibanah al-Kabir 4/70, riwayat dari Ma’mur dari seseorang yang mendengar dari al-Hasan dari al-Aswad bin Sari’ (derajat hadits shahih)

Syaikh Yusuf al-Qardhawi berkata : “ Ilmu merupakan salah satu nilai luhur yang dibawa Islam dan tegak di atas kehidupan manusia, baik secara moril maupun materil, duniawi maupun ukhrawi. Islam menjadikannya jalan menuju keimanan yang memotivasi untuk beramal, sekaligus sebagai karunia yang membuat manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Dengan ilmu tersebut, Adam a.s sebagai bapak manusia diberi kelebihan atas malaikat dan makhluk yang lain yang sempat penasaran, sehingga memper- masalahkan pemberian amanah ini.
Sesungguhnya Islam adalah agama ilmu dan al-Quran adalah kitab ilmu. Ayat-ayat al-Quran yang pertama kali turun kepada Rasulullah Saw adalah “ Bacalah dengan nama Rabb-Mu yang menciptakan “. Membaca adalah kunci untuk memahami ilmu. Al-Quran telah menjadikan ilmu sebagai asas dan standar kemuliaan manusia. Allah Swt berfirman :

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

“ Katakanlah, apakah sama orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu ? “  (QS. 39 – az-Zumar : 9)

Al-Quran merupakan kitab paling agung yang merangsang manusia untuk berpikir ilmiah dan menolak segala bentuk khurafat. Al-Quran tidak membenarkan adanya sikap taklid buta kepada nenek moyang, pemimpin atau pembesar, apalagi kepada orang-orang awam dan bodoh. Dia juga menolak dominasi prasangka dan hawa nafsu dalam konteks pembahasan tentang akidah dan kebenaran syariat Allah. Dia tidak pula menerima suatu  teori kecuali berdasarkan dalil yang pasti dan bukti yang meyakinkan dalam hal-hal yang bisa diindera, dari logika yang benar dalam masalah pemikiran dan penukilan yang terper- caya dalam masalah periwayatan. Al-Quran memandang penelitian itu sesuatu yang wajib, berpikir itu suatu ibadah, mencari kebenaran itu suatu pendekatan diri kepada Allah, dan mempergunakan alat-alat pengetahuan itu sebagai pernyataan syukur terhadap nikmat-Nya. mengabaikan semuanya merupakan jalan menuju neraka Jahanam “.(Malamih al-Mujtama’ al-Muslim hal. 164-167 secara ringkas)
Dr. Adian Husaini berkata : “ Sesungguhnya menerapkan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki keshahihan dan otensitas hadits, nalar diterpakan dalam mengkritisi hadits pada tiap tahapannya. Nalar diterapkan dalam pembelajaran dan pengajaran hadits, dalam menilai para periwayat dan keshahihan hadits. Namun, itu tidak memadai untuk memapankan keshahihan dan otentisitas hadits melalu pendekatan keilmuan belaka. Alasannya adalah karena kecakapan nalar tidak dapat diterima atau mencampakkan hadits Nabi. 9 Dalam semua kasus ini akal tidak dapat setuju atau menolak. Yang tepat atau tidak tepat dapat ditentukan hanya melalui saksi mata dan periwayat yang andal tepercaya. maka akal sendiri menandakan pentingnya keberadaan periwayat yang jujur dan tepercaya.
Konsep penting dari periwayat yang tepercaya jelas menunjukkan bahwa meski sese- orang dapat mendaki tingkat keilmuan yang tinggi, namun jika moralnya diragukan maka hadits yang ia riwayatkan ditolak walaupun isinya benar. 11 Apabila kriteria tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah, maka sudah barangtentu tertolak pula matan hadits yang dianggap “ seperti “ benar tetapi memiliki penafsiran yang bertolak belakang dengan realita tujuan syariat itu sendiri.
Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah dan menghayati agama beserta pesan-pesan yang pelik di dalamnya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat (akal), ilmu pengetahuan, seni dan agama.  Dalam tradisi Islam, ilmu pengetahuan tiba melalui pelbagai saluran, yaitu pancaindera (al-hawass al-khamsah), akal pikiran sehat (al-‘aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-shadiq), dan intuisi (ilham).
Adapun tentang akal pikiran sehat, ia merupakan “ fakultas mental “ yang mensiste- matisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memung- kinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat dipahami. Oleh sebab itu, sesiapa yang membatasi fungsi akal pikiran sebagai aspek yang rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan alat pikiran daripada kualiti yang sebenarnya, dan dengan demikian menjadikan akal pikirannya tidak sehat.
Sedangkan mengenai ilmu, dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut, melainkan kebenaran yang ber- manfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu “
Dan untuk mencari kebenaran yang bermanfaat, adakalanya dibutuhkan ratusan jilid buku dari ribuan judul untuk mendapatkannya. Tidak sedikit pula orang yang mendengarkan sebuah ilmu di awal zaman tidak mengerti, tetapi orang yang mengambil ilmu dari orang tersebut jauh lebih mengerti, sebagaimana Nabi Saw bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“ Semoga Allah mencemerlangkan wajah orang yang mendengar hadits dariku, dan menjaganya sehingga menyampaikan hadits itu,  Tidak sedikit orang yang mendengar lebih paham daripada orang yang menerimanya, dan tidak sedikit orang yang menerima lebih paham daripada yang mendengarnya “(Sunan Abu Dawud 3 / 322,  Sunan Turmudzi 5 / 33,  Sunan Ibnu Majah 1 / 84-86, Burnamaj at-Tajibi  1 / 10-13, Shahih Ibnu Hibban 1 / 268,  al-Kifayah fil ‘Ilmi Ar-Ru’yah,  al-Khatib 1 / 200,1 / 190, Jami’ al-Bayan 1 / 761, Ma’rifah As-Sunan 1 / 109, 1 / 132 (derajat hadits shahih)
Sebagai penutup bab. ini dapat kami katakan, bahwa kekeliruan ilmu bukanlah soal kecil, melainkan masalah yang sangat mendasar. Ilmu yang salah melahirkan pemikiran yang salah dan juga sikap, bahkan tindakan yang salah juga. Karena itulah, masalah ilmu termasuk konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Kaum Muslim diwajibkan beriman dan beramal dengan ilmu. Jika ilmunya salah maka iman dan amalnya juga akan salah. 
Dari Aisyah r.a bahwa Nabi Saw bersabda :
اِنَّ دَعَامَةَ الْبَيْتِ أَسَاسُهُ, وَدَعَامَةَ الدِّيْنِ الْمَعْرِفَةُ بِاللهِ تَعَالَى وَالْيَقِيْنُ وَالْعَقْلُ الْقَامِعُ, فَقُلْتُ : بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّي مَاالْعَقْلُ الْقَامِعُ ؟ قَالَ : اَلْكَفُّ عَنْ مَعَاصِى اللهِ, وَالْحَرْصُ عَلىَ طَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“ Sesungguhnya penopang (kekuatan) rumah tergantung pada pondasinya, sedangkan penopang agama tergantung ma’rifatnya kepada Allah, keyakinan dan akal yang bisa menundukkan (hawa nafsu) ”, Aisyah bertanya : “ Demi engkau dengan tebusan ibuku, bagaimana akal bisa menundukkan hal itu ? “ Beliau menjawab : “ Mampu menahan dari perbuatan durhaka kepada Allah dan selalu mendorong untuk taat kepada-Nya “(Kanzul Ummah 3/381 (derajat hadits shahih)

No comments:

Post a Comment