Tuesday 30 June 2015

KYAI NU MERESPON BUKU KESESATAN SUNNI - SYIAH (KARYA BABUL ULUM)

(Dalam Telaah Kritis Ilmu Hadits & Logika)

Ketikan ini adalah salah satu karya saya yang baru selesai 3 bulan lalu dan belum di edit. Karya ini bukan untuk mencuci tangan saya, karena tangan saya tidak perlu di cuci. Karya saya tersebut sudah banyak diminta untuk di cetak dan ditampilkan dalam blogspot saya karena sebagian warga NU dan warga Syiah non Rafidhah yang ingin sekali melihatnya. Mudah-mudahan karya ini bisa mengobati warga NU yang ingin melihat bagaimana kajian ilmiah saya dalam menjwab karya-karya penulis Syiah.

Kata Pengantar

Segala puja dan puji hanya milik dan bagi-Nya semata. Kehendak-Nya senantiasa menjadi cahaya kelembutan bagi yang menghendakinya. Shalawat dan keselamatan selama- nya terlimpah kepada pantulan cahaya-Nya yang abadi, al-Musthafa Muhammad Saw, kepada ahlul baitnya, keluarganya, sahabatnya yang terbaik dan terpilih, dan kita yang men- jadi umatnya. 
Kehendak-Nya pula yang menggerakan jari-jemari ini selama satu minggu, yang akhirnya sebuah karya kecil kembali terlahir. Tanpa kehendak-Nya alam semesta ini akan berhenti berputar, matahari akan berhenti bersinar, rembulan pun enggan memancarkan kelembutan cahayanya di malam hari. Lirihnya bisikan angin pun sirna, kicauan burung tak terdengar, dan matinya akal-akal yang seharusnya menyuarakan kebenaran dengan benar.
Di dalam hadits Qudsi Allah Swt berfirman :
إِنَّ بْنَ آدَمَ تُرِيْدُ وَأُرِيْدُ وَلَا يَكُونُ اِلَّا مَا أُرِيْدُ فَإِنْ سَلَّمْتُ لىِ فِيْمَا أُرِيْدُ أَعْطَيْتُكَ مَا تُرِيْدُ وَاِنْ نَازَعْتَنىِ فِيْمَا أُرِيْدُ أَتْبَعْتُكَ فِيْمَا تُرِيْدُ ثُمَّ لَا يَكُونَ اِلَّا مَا أُرِيْدُ
“ Sesungguhnya anak Adam berkehendak, namun yang terwujud hanyalah yang Aku kehendaki. Apabila kalian menyerahkan kepada-Ku dalam hal-hal yang Aku kehendaki, niscaya Aku memberimu apa-apa yang kalian kehendaki. Apabila kalian membantah-Ku terhadap apa yang Aku kehendaki, maka Aku akan menyusahkanmu dalam meraih sesuatu yang kalian kehendaki. Kemudian tidak akan terwujud kecuali apa yang Aku kehendaki ” 1 (Ruhul Bayan 4/232)
Karya yang baru terlahir ini bukan untuk menandingi karya para ulama besar. Karya kecil ini hanyalah untuk merespon para penulis Syiah yang adakalanya kurang memberikan penghormatan terhadap simbol-simbol yang diagungkan oleh ahlussunnah. Tidak sedikit pula dalam beberapa karya mereka yang berusaha mendiskreditkan mazhab ahlussunnah dengan dalih kajian ilmiah. Selama ini penulis rasa, belum ada karya penulis lain yang sempat terbaca dengan menggunakan metode yang ada dalam buku ini. Dapat pula dikatakan, bahwa buku ini memiliki metode dan metodologi istinbat hukum yang baru dan menyegarkan.
Bila saya mendudukkan diri sebagai pembaca yang sedang membaca buku ini, maka saya akan katakan : “ Inilah salah satu buku yang saya cari selama ini “. Dalam buku ini saya mengenalkan ilmu logika yang dulu saya pelajari dan dalami selama di pesantren. Dan saya beri nama ilmu ini “ al-Mantiq an-Nahdliyyah “, atau pola pikir Nahdliyyah (NU).
Sesungguhnya dengan mendayagunakan akal kita sampai di ambang batas, kita akan terkagum-kagum dengan ciptaan-Nya yang bernama akal ini.  Akal  berdiam  dalam  “ alam- nya “  sendiri  yang  memang  sulit untuk dipahami oleh pemilik akal itu sendiri. Dalam hitu-ngan sepersekian detik, akal dapat melompat ke tempat yang paling tinggi, atau dia akan tenggelam ke jurang yang paling dalam. Sangat sulit dan sukar untuk mengendalikan akal ini, karena akal sebenarnya sebuah potensi dan sebuah tenaga yang luar biasa. Sekuat apa pun tenaga kita untuk mengendalikan dan mengalahkannya, tetap akal akan menang, entah itu untuk kebaikan atau pun untuk keburukan. Karena tenaga secara fisik tidak akan pernah bisa untuk mengalahkan tenaga dan potensi secara gaib, sedangkan tenaga dan potensi akal itu berasal dari dunia gaib dan bekerja secara gaib pula. Sehingga kita membutuhkan sebuah media gaib untuk menundukkan dan mengendalikan akal tersebut.
Manusia-manusia zaman sekarang ini tenyata telah banyak mengalami kegagalan yang luar biasa dalam memaknai akalnya sendiri. Kegagalan tersebut tidak saja pada skala kecil, tetapi telah meluas kepada skala bangsa, negara, dan agama. Memang sungguh tragis dan teramat menyedihkan apabila kita melihat manusia-manusia seperti ini. Sungguh sebuah negara tidak dapat dikatakan sebagai negara yang berbahagia  apabila mayoritas penduduknya berada dalam kesengsaraan dan kemiskinan yang berkepanjangan. Sungguh tidak dapat di katakan seorang presiden atau raja bisa dikatakan sebagai seorang kepala negara yang berbahagia, apabila semua rakyatnya memiliki kelainan jiwa dan kerusakan pada akalnya.
Saya yakin sekali bahwa hal ini jarang  terungkap dan diberitakan oleh media massa. Apakah mengungkapkan hal seperti ini tabu bagi akal ? Apakah akal sebagai suatu benteng yang kuat dan kokoh harus takut dan menyerah kepada kekuatan yang tidak akan sanggup  mengalahkan akal itu sendiri ? Wahai akal ! apa yang kalian takutkan ? Sebarkanlah kebena- ran ini sebagai kebenaran yang datang dari Sang Pemilik Akal itu sendiri. Siapa saja yang berakal tetapi tidak berilmu, maka akalnya akan menjadi argumen bagi dirinya. Siapa saja yang berilmu tetapi tidak berakal, maka seluruh urusannya akan berbelit-belit. Siapa saja  yang  akalnya  berbelit-belit,  maka ilmunya tidak akan bermanfaat. Siapa saja yang  ilmunya  tidak bermanfaat, maka akalnya akan hampa dari kebenaran.
Banyak orang yang akalnya tidak mampu menembus dimensi kegaiban atau alam gaib, padahal akal itu sendiri berasal dan berdiri di alam gaib. Mengapa akal mereka tidak mampu untuk menyentuh langit-langit kegaiban yang berada pada akalnya sendiri ? Tidak lain karena akal mereka tidak mampu menemukan kunci untuk membuka pintu gerbang kegaiban yang berada di dalam akalnya sendiri. Dan untuk membuka pintu tersebut akal harus berada dalam derajat dan martabat kebenaran sejati.
Akal-akal yang belum tercerahkan dan tercerdaskan akan menjadi akal-akal yang fanatik dan menjurus kepada ekstrimisme dan radikalisme. Seseorang yang fanatik tak ubahnya seperti orang yang hidup sendirian di rumah yang terbuat dari cemin. Ke mana saja pergi di dalam rumah itu, ia tidak melihat kecuali dirinya. Demikian pula keadaan orang fanatik. Kendati pun terdapat banyak pendapat dan pandangan, ia tidak dapat melihat kecuali pendapatnya sendiri.
Ia tidak dapat membuka akalnya untuk menerima pendapat orang lain. Ia mengira dirinya paling pintar, paling luas ilmunya, paling kuat dalilnya, dan paling segalanya kendati pun kenyataannya tidaklah demikian.
Sebagian dari mereka bersikap ghuluw (berlebihan) apabila sudah terpojokan dan argumentasinya terlihat lemah di hadapan lawannya, sehingga mereka menciptakan pem- benaran yang mana pembenaran itu bertentangan dengan kebenaran itu sendiri. Kadang-kadang sangat teguh bertaqlid kepada “ leluhur “. Hal ini dilakukannya karena pengaruh lingkungan dan tidak adanya sikap kritis terhadap berita-berita yang datang. Allah Swt berfirman :
يآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“ Wahai orang-orang beriman ! Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohanmu yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu ”                                         (QS. 49 / al-Hujurat : 6)
Apalagi bila hal itu berhubungan dengan sejarah. Karena ilmu sejarah membutuhkan banyak rujukan hasil karya ilmuwan yang matang dan jujur, membutuhkan penelitian sekaligus ketelitian yang mengantarkan kepada kebenaran, serta berusaha menyelamatkan diri dari kesalahan yang fatal. Jika hanya di dasarkan pada penukilan tanpa menilik kepada prinsip-prinsip qurani, kaidah-kaidah politik, tabiat peradaban, kondisi sosial masyarakat, dan meninggalkan berbagai keutamaan yang dimilikinya, maka pemikiran seperti ini tidak akan selamat dari kekeliruan dan akan terjadi penyimpangan sejarah dari kebenarannya.
Bahkan, sikap fanatisme yang tercela seperti ini, telah memaksakan dan mengangkat sebuah mazhab melebihi umat Islam secara keseluruhan. Mendahulukan mazhab atas Islam dan mengutamakannya melebihi mazhab-mazhab Islam lainnya di luar batas kewajaran dan nalar rasional yang sehat saja sudah salah, apalagi melebihi batas-batas tersebut.
Inilah buku sederhana yang saya sajikan bagi para pembaca yang menyenangi pengalaman intelektual. Selamat membaca dan berinteraksi dengan dimesi intelektual yang sesungguhnya.

No comments:

Post a Comment