Sudah barangtentu menghidupkan sunnah tidak dapat diambil dari seorang mujtahid atau seorang ahli ilmu saja. Penafsiran sunnah sangat luas dan sudah saya terangkan dalam buku saya lainnya yang berjudul “ Fiqih Ikhtilaf “. Dan bila saya terangkan secara lengkap di sini bukanlah tempatnya. Tetapi setidaknya harus saya selipkan hal tersebut dalam pembaha- san ini sbb :
“ Ilmu Fiqih hanya membahas masalah-masalah hukum praktis berkenaan dengan hak dan kewajiban manusia, baik terhadap Allah, terhadap dirinya, dan terhadap masyarakat. Adakalanya dalam memberikan hukum-hukum praktis ini disimpulkan dengan mengguna- kan dalil-dalil yang sangat kuat (qath’i) dan bisa pula disimpulkan melalui dalil-dalil-zhanni (sangkaan yang kuat) melalui hasil ijtihad seorang imam mujtahid. Dalam meng- hasilkan sebuah produk hukum fiqih yang diambil dari dalil-dalil syara’ yang terperinci (al-adillah at-tafshilliyyah) yang bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ , ijtihad, Qi- yas, al-Maslahah al-Mursalah dll.
Syariah Islam begitu dalam dan luas, karena ia merupakan kumpulan hukum yang ditetapkan Allah untuk mengatur kebahagiaan dan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Keber- adaan ilmu dan hukum fikih adalah untuk kemaslahatan di dunia dan di akhirat, sehingga urusan keagamaan dan juga kenegaraan semuanya diatur oleh hukum fikih. Atau dengan kata lain, ilmu fikih adalah ilmu yang diciptakan bagi manusia dan jin untuk mendapatkan kebahagiaan dan kekekalan yang abadi di akhirat dengan mendapatkan berbagai kemudahan dan keuntungan yang tersaji di dalamnya.
Hukum-hukum fiqih terkait sangat erat dengan masalah akidah dan akhlak, sehingga siapa pun yang mengamalkannya secara baik dan benar, maka dia akan mendapatkan keha- ngatan dalam hidup, mendapatkan kemudahan dan kebahagiaan, sehingga kestabilan dalam kehidupan akan terwujud. Selain itu, jika ilmu fiqih diterapkan dan dipraktikan secara menyeluruh, maka kehidupan manusia akan rapi , teratur, penuh kedisplinan, harmonis dan damai.
Syari’ah merupakan wahyu Ilahi yang mengandung pahala dan siksa. Selain itu juga merupakan sebuah sistem kerohanian dan peradaban sekaligus. Karena ia didatangkan untuk menciptakan kebaikan di dunia dan di akhirat, begitu juga menciptakan kebaikan untuk agama dan dunianya. Sedangkan perbedaan ilmu fiqih dengan undang-undang hasil ciptaan manusia adalah, hukum fikih terpengaruh cukup dalam dengan prinsip-prinsip akhlak (ilmutasawuf). Sedangkan undang-undang ciptaan manusia hanyalah mengekalkan aturan dan ketentraman masyarakat, walau pun terkadang harus mengorbankan sebagian prinsip yang terkandung dalam ilmu fiqih itu sendiri. Hukum yang diciptakan manusia sering kali tak berakhlak, dan rela mengorbankan perasaan dan kemaslahatan masyarakat secara umum,
itulah hukum ciptaan manusia.
Ilmu fiqih selalu menekankan kepada keluhuran budi pekerti, kesantunan, idealisme yang hangat, selalu menjadi jembatan antara setiap permasalahan yang timbul dalam ber- masyarakat, dan selalu memberikan kemudahan-kemudahan selama jalan untuk itu memang ada dan terbuka serta tidak merusak bangunan syari’at itu sendiri.
Tujuan ilmu fikih adalah untuk menciptakan kebaikan bagi manusia yang hakiki, pada saat ini, ketika mati, dan masa yang akan datang (akhirat). Apabila ketiga hal ini tidak tercapai, maka manusialah yang menjadi penyebab utamanya, bukan ilmu fikih itu sendiri. Tujuan pelaksaan ilmu fiqih ialah untuk memberikan kemanfaatan yang besar dan sempurna, baik pada tataran individu atau pun pada tataran masyarakat, pada level terendah sampai pada level tertinggi tanpa memandang kasta dan jabatan.
Ilmu fiqih merupakan tuntunan bagi setiap orang yang mukallaf, bukan hanya seke- dar tontonan, sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Ketika ilmu fiqih mulai dibumbui dengan hiburan, maka ilmu fiqih itu berubah menjadi “ ilmu fiqih hiburan “. Sedangkan ilmu fiqih itu sendiri tidak diciptakan untuk menghibur manusia yang tidak paham terhadap ilmu fiqih itu sendiri. Sungguh memilukan melihat ilmu fiqih yang agung ini, dipermainkan oleh orang-orang yang menganggap dirinya sebagai orang yang paham terhadap ilmu fiqih itu sendiri. Sungguh orang-orang seperti itu, sebenarnya jauh lebih layak untuk dipenjara dari- pada pencuri dan perampok, karena mereka telah mencuri dan merampok keaslian, kemurni- an dan keagungan sebuah ilmu.
Ilmu fiqih itu sendiri kaya akan perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu, bukan di- kalangan orang yang sedang belajar menimba ilmu. Karena perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu akan mendatangkan rahmat, sedangkan perbedaan pendapat di kalangan orang yang sedang belajar menimba dan menimbun ilmu hanya akan mendatangkan kemudaratan dan perpecahan, apalagi mereka yang belajarnya sekedar asal-asalan dan untuk memuaskan kepentingan hawa nafsunya saja.
Di dalam perjalanannya, para ahli ilmu fiqih (imam Mazhab) memiliki berbagai metode untuk menghasilkan sebuah produk hukum. Mengamalkan hasil ijtihad mereka merupakan jalan yang paling aman, dan akan terhindar dari kerusakan dan kesalahan yang fatal. Sedangkan untuk mendatangkan berbagai kemaslahatan, syari’at memberikan beberapa kemudahan (rukhshakh) yang paling ringan dengan mengambil pendapat imam Mazhab yang ada. Hal ini dibenarkan selama rukhsakh itu tidak dipergunakan untuk bermain-main sehingga merubuhkan keagungan dan keluhuran bangunan syari’at.
Terlebih dalam masalah khilafiyah adalah masalah hukum yang tidak ada kata sepakat di dalamnya. Terkadang ketidaksepakatan ini hanya terdapat dalam tataran atau dimensi ----
yang sempit dan kecil, bahkan sering kali hanya karena perbedaan penggunaan istilah. Tetapi tidak jarang pula perbedaan pendapat ini terjadi pada tataran atau dimensi yang jauh lebih luas, yaitu antara hukum halal dan haram. Sulit dipungkiri oleh kita bahwa masalah cabang agama kini sudah menjadi masalah khilafiyah, baik dalam masalah ibadah mau pun dalam bidang muamalah.
Jadi untuk memungkiri atau menghilangkan fenomena khilafiyah atau perbedaan pendapat yang terdapat dalam setiap jengkal ranah agama sepertinya sesuatu yang tidak mungkin. Biarkanlah perbedaan pendapat itu mengalir seiring dengan waktu, yaitu melalui jalur yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebenarnya masalah khilafiyah ini hanya milik para ulama yang kompeten saja, karena hanya merekalah yang mempunyai otoritas dan kekuasaan untuk mengambil dan menetapkan suatu hukum yang terdapat dalam nash syari’at. Sedangkan bagi kita, sebagai kalangan awam hanya bisa mengikuti atau menjadi muqallid dengan mengambil pendapat mereka.
Ironis memang, orang-orang yang baru belajar agama sudah berani mencaci maki para imam-imam mujtahid dan para khalifah, hanya karena berbeda pendapat dengan gurunya, bahkan mereka tampak gagah dan sangat berani dengan mengatakan dan menuduh manusia-manusia agung tersebut dengan kata-kata “ Ahli bid’ah , perusak syariat, pengkhianat wasiat Nabi Saw, dll “. Bahkan kalau kita bandingkan ilmu dan akhlak gurunya dengan mereka para imam-imam mujtahid dan para khalifah tersebut, sudah jelas tidak ada apa-apanya. Orang-orang seperti ini adalah para muqallid (yang bertaqlid) yang bodoh, keras kepala serta tidak memiliki tata krama, sopan santun, dan tidak tahu berterima kasih terhadap jasa mereka.
Harus diketahui dan dipahami, bahwa tidak semua orang yang pernah belajar agama memiliki kapasitas untuk menarik kesimpulan hukum, atau mengeluarkan hukum. Orang yang hanya belajar ilmu tafsir hanya akan memiliki kemampuan untuk mengetahui hal yang dipelajarinya saja, bukan berarti dia sudah bisa menarik atau menentukan suatu hukum. Demikian pula dengan orang yang belajar mempelajari ilmu hadist, tentu orang tersebut pandai dalam menilai kesahihan suatu hadist, tetapi kepiwaiannya tersebut bukan dalam hal menentukan hukum. Apalagi yang hanya belajar asal-asalan saja mana mungkin akan mengetahui dan sanggup untuk menentukan suatu produk hukum yang terdapat di dalam nash syari’at.
Ilmu dan metodologi dalam menarik kesimpulan atau untuk menghasilkan suatu hukum yang benar adalah suatu ilmu yang dipelajari oleh mereka yang belajar secara khusus pada bidang syari’ah, dan didukung oleh berbagai disiplin ilmu yang lainnya seperti, ilmu ushul fiqh sebagai metodologi, ilmu mantiq sebagai logika, ilmu qawa’id fiq- hiyah (kaidah-kaidah ilmu fiqh) sebagai penunjang. Selain itu mereka pun dituntut untuk memahami ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu lughah Arabiyah (bahasa Arab) dengan berbagai cabangnya, dan sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk menelusuri semua dalil yang ada, kemudian ---
membangunnya menjadi sebuah hujjah dan menarik kesimpulan hukumnya. Jadi pekerjaan seperti ini adalah sebuah pekerjaan yang berat dan benar-benar membutuhkan potensi lain yang berada dalam diri manusianya, dalam arti lain pekerjaan seperti ini hanya bisa dilaku- kan oleh segelintir orang-orang yang dikhususkan oleh Allah Swt saja. Para sahabat, tabi’in dan imam mazhab saja sudah berbeda pendapat, lalu apakah mungkin umat setelahnya tidak terimbas hukum yang sama ?
Islam sangat mencela perselisihan yang mengakibatkan kepada perpecahan dan permusuhan. Itulah salah sebab yang menyebabkan Islam selama ratusan tahun tidak dapat mengembalikan masa kejayaannya. Musuh-musuh Islam sangat mengetahui bahwa umat Islam adalah umat yang tradisional dan sangat patuh terhadap fatwa-fatwa ulamanya. Ulama- nya berkata A, yaa semua akan bilang A. Dan hal seperti ini menjadikan sebagian akal-akal cemerlang yang terdapat dalam setiap zaman menjadi terkungkung dan terpenjara oleh adat istiadat yang tidak mendukung kemajuan Islam.
Sebagian besar manusia membangun keimanannya dari sumber ini, keimanan yang mereka ambil apa adanya, tanpa mau memaksimalkan potensi daya pikir dan olah rohaninya. Kepatuhan bercampur baur dengan kekakuan. Bahkan bisa saja sebenarnya mereka sedang menjalankan kebenaran yang terpotong-potong tanpa mengetahui potongan terakhirnya.
Perbedaan yang telah terjadi selama ini, tidak bisa kita biarkan berkembang tanpa adanya filter dan pengawasan dari para ulama yang kompeten dan berwenang. Dan sudah seharusnya pula, seorang yang mengikuti ilmu para ulama tidak berdebat mengenai masalah-masalah yang dia sendiri tidak mengusai dan memahaminya. Apabila argumentasinya di- kritik, dia balik menyerang dengan melontarkan banyak pertanyaan yang dia sendiri tidak mampu untuk menjawabnya. Inilah yang disebut muqallid bodoh dan keras kepala oleh Imam al-Ghazali.
Fiqih sahabat memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah pemiki- ran Islam. Bagaimana tidak, karena merekalah yang pertama-tama dikatakan sebagai ahli tafsir, ahli hadits, ahli, fiqih, ahli qira’ah dan lain sebagainya. Karena jasa besar merekalah kita semua sekarang mereguk kenikmatan risalah dan cahaya Islam.
Mereka pula yang menjadi tongkat estafet kenabian kepada umat setelahnya sampai kita sekarang ini. Tak pelak lagi, bahwa para sahabat merupakan embrio ilmu fiqih pertama. Ketika perbedaan terjadi di kalangan mereka, mereka segera mengumpulkan sahabat yang pernah mengikuti perang Badar, perang Uhud, Perang Khaibar dan selainnya. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu, mendengar dengan jelas ketika lisan Sang Ma’shum berbicara. Tetapi mereka begitu tawadhu ketika berbicara masalah al-Quran dan As-Sunnah. Sangat berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Allah dan rasul-Nya telah meridhai perjuangan yang mereka lakukan demi Islam. Tidak heran banyak ayat di dalam al-Quran ---
dan ratusan bahkan ribuan hadits yang menceritakan keutamaan dan perjuangan mereka. Membicarakan perjalanan hidup seluruh sahabat bukan di sini tempatnya, lagi pula telah banyak kitab-kitab yang menceritakan mereka.
Begitu pentingnya peran para sahabat dalam peradaban Islam, sehingga mereka men- jadi rujukan yang harus di amalkan, dan perilaku mereka menjadi sunnah yang harus diikuti. Perbedaan yang terjadi ketika Nabi Saw masih ada disekitar mereka, bukan masalah yang berarti karena semua selesai ketika hal tersebut diajukan kepada beliau. Tetapi ketika setelah wafatnya beliau, dan masalah yang muncul semakin banyak, maka mau tidak mau para khalifah dan para sahabat yang berkompeten di bidangnya akan berijtihad untuk memberi- kan obat sekaligus penawarnya kepada masyarakat. Inilah yang disebut dengan ijtihad. Hal ini merupakan wasiat agung yang senantisa akan berjalan sampai hari kiamat.
Sedangkan yang dimaksud hakim adalah seorang yang menguasai atau memahami persoalan hukum. Bukan seseorang yang sedang belajar ilmu hukum. Seperti di dalam peradilan, bisa kita lihat, bahwa di sana terdapat hakim ketua (mujtahid mutlaq), hakim wakil ketua (mujtahid ghair mutlaq), jaksa ketua (mujtahid mazhab), jaksa wakil ketua (mujtahid fatwa), pengacara (mujtahid murajjih). Susunan ini hanyalah analogi saja agar mudah dimengerti, walaupun tepatnya bisa saja tidak seperti itu.
Kurang lebih begitulah kedudukan para sahabat di dalam bangunan Islam yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman mereka terhadap nash Al-Quran dan hadits Nabi Saw. Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para sahabat menghasilkan berbagai bentuk dalam pengambilan fatwa. Hal ini dikarenakan terjadinya “ kawasan kosong syari’at “ di mana setiap ahlinya berusaha untuk memenuhinya sesuai dengan kedalaman dan beragam- nya ilmu yang mereka dapatkan hasil interaksi dan kedekatan mereka dengan Nabi Saw.
Salah seorang sahabat yang faqih ada dalam berfatwanya ada yang cenderung kepada tekstual ayat dan hadits, ada juga yang cenderung kepada tafsir dan maknanya, ada pula yang cenderung kepada qiyas, ada pula yang cenderung kepada ihtisan atau al-maslahah al-mursalah, ada pula yang cendrung kepada ‘urf (adat istiadat) , ada juga yang menggabungkan di antaranya, dan begitulah seterusnya. Bentuk pengambilan hukum seperti inilah yang akhirnya diwariskan kepada generasi setelahnya dan setelahnya lagi, dan akhirnya sampai kepada kita sekarang ini.
Ulama hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi Saw, Tetapi, menurut sebagian ahli hadits, sunnah termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat-sifatnya. Menurut ulama ushul fiqih, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw, selain al-Quran, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir, yang dapat menjadikan dalil-dalil hukum syara’. Mereka mendefinisikan demikian karena yang menjadi pokok per --hatiannya adalah pembahasan terhadap dalil-dalil syara’.
Ulama fiqih sunnah mendefinisikan, sunnah adalah apa saja yang benar dari Nabi Saw dalam urusan agama, yang berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang didalamnya terkan- dung unsur memfardhukan atau mewajibkan. Mereka mendefenisikan sunnah demikian, karena yang menjadi pokok pembahasan mereka adalah hukum-hukum syara’ seperti wajib, fardhu, mandub, haram, makruh, dan sebagian dari masing-masing hukum tersebut. Sedang- kan ulama yang bergelut di bidang dakwah mendefenisikan sunnah ialah apa saja yang bukan bid’ah. Hal ini dikarenakan perhatian mereka tertuju kepada apa yang menjadi perin- tah dan larangan syara’.
Sedangkan dari kalangan ilmu tasawuf, imam al-Qusyairi an-Naisaburi mengartikan sunnah dengan syari’at dan hakikat, di mana beliau mengatakan : “ Syari’at adalah perintah yang harus ditetapi dalam ibadah, dan hakikat adalah kesaqksian akan kehadiran peran serta ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan. Setiap syari’at yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syari’at tidak akan berhasil. Syari’at datang dengan beban hukum dari Sang Mahapencipta, sedang- kan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas al-Haqq. Syari’at merupakan penyembahan makhluk kepada al-Khaliq, sedangkan hakikat adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Syari’at adalah penegakan apa yang diperintahkan-Nya, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta disembunyikan dan yang ditampakkan-Nya.
No comments:
Post a Comment