Monday, 8 June 2015

MAZHAB TANPA MAZHAB

Nabi Saw pernah bersabda :
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاَثًا إِحْدَاهُنَّ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْد اْلأَصَاغِرِ
“ Sesungguhnya salah satu tanda-tanda kiamat ada tiga, salah satu satunya adalah ilmu yang dipelajari dari orang-orang rendahan (bodoh) “ (Hilyah al-Auliya, Abu Nu’aim 4 / 55)
Jelaskah sabda beliau ini, bahwa pelajaran dan pemahaman agama tidak bisa disampaikan oleh orang-orang yang tidak ahli. Tidak pula masyarakat dengan antusiasnya yang besar terhadap agama dipebolehkan untuk mencari “asal“ guru saja.  Untuk membangun peradaban Islam yang benar harus diserahkan kepada para ahlinya, sebagaimana untuk urusan yang bersifat duniawi kita pun tidak ingin ditangani oleh para amatiran. Ketika kendaraan kita mengalami kerusakan sudah pasti kita akan mencari informasi di mana bengkel yang bagus dan professional dalam memperbaikinya.  Hal ini dilakukan karena kita ingin mendapatkan yang terbaik.
Alih-alih salah informasi, maka kendaraan kita yang seharusnya baik malah menjadi bobrok, atau spare part yang masih baik dikatakan sudah rusak dan harus diganti. Hal ini pula yang terjadi dalam pemahaman agama. Sudah 1400 tahun lebih umat Islam meng- amalkan ajaran yang dibawa oleh para perawi syariat terbaik tanpa ada kendala dan kericuhan. Tiba-tiba muncul gaung perombakan dan perubahan terhadap apa yang telah lama diamalkan di dalam tubuh umat Islam ini. Sehingga tidak sedikit orang-orang yang seharusnya tidak mengganti spare partnya terpaksa harus menggantinya. Padahal kendaraan, mesin, dan seluruh keadaan kendaraan mereka baik-baik saja.
Fenomena kebodohan ini terjadi akibat masyarakat tidak menyiapkan dirinya dengan baik, sehingga ketika gaung dan propaganda pembaruan Islam dikumandangkan mereka menelannya bulat-bulat. Apalagi ketika mereka mendengar dan melihat bahwa yang menyampaikannya berasal dari lulusan kedua kota tersuci yaitu, Makkah dan Madinah. Masyarakat beranggapan bahwa orang yang lancar dan fasih berbahasa Arab dianggap sebagai seorang ulama dan “ pasti “ paham terhadap agama Islam. 
Apabila memang benar setiap orang yang lancar dan fasih berbahasa Arab sudah layak dikatakan sebaga ulama yang fasih dalam memahami syari’at, lalu mengapa puluhan juta orang-orang Arab yang jelas-jelas fasih berbahasa Arab tidak dapat memahami dan menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar ?   
Untuk memahami dan menjalankan agama Islam secara baik dan benar, Allah tidak mewajibkan kepada setiap orang untuk dapat berbahasa Arab secara fasih. Nis- caya apabila hal itu diwajibkan-Nya, maka ratusan juta umat ini akan berdosa. Sedangkan Allah tidak akan mem- bebani hamba-hamba-Nya dengan apa yang tidak mampu dipikulnya.
Di tengah gencarnya dakwah Islam, muncul sebuah gerakan yang mengharamkan umat Muslimin untuk bermazhab. Karena menurut mereka, bermazhab hanya akan men- jauhkan pemahaman benar terhadap Islam dan menjadi pesaingnya Nabi Saw. Para ulama yang berkata seperti ini sudah barang tentu salah kaprah dan kebablasan dalam berfatwa. Mereka lupa bahwa Nabi Saw itu tidak dapat disaingi oleh siapa pun. Tidak oleh para sahabat ataupun oleh para imam mazhab. Tidak dalam kemuliaan dan tidak pula dalam keagungan- nya.
Pada zaman sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in pun sudah terbagi menjadi mujtahid dan muqallid. (mutabbi’) Orang awam diwajibkan mengikuti salah seorang mujtahid. Apabila mereka sudah melaksanakannya, maka mereka berhak untuk terus mengikuti pendapatnya, atau beralih kepada pendapat mujtahid yang lainnya. Jangankan berbicara masalah untuk berijtihad, berapa ratus juta saudara-saudara kita yang saat ini telah lanjut  usia  untuk membaca Al-Quran saja mereka belum bisa apalagi harus mengambil hukum sendiri  dalam Al-Quran  dan Al-Hadist ?
 Bagaimana mungkin orang yang awam terhadap  makna-makna yang terkandung didalam Al-Quran dan Al-Hadist bisa kita pakai sebagai hujjah dibandingkan orang-orang yang telah jelas kedalamam ilmunya dan menjadi pijakan yang kokoh dalam menjaga dan memelihara agama Islam yang mulia dan agung ini.
Dalam pandangan mereka, bahwa imam-imam Mazhab ini berusaha untuk meng- alihkan perhatian mereka dari Nabi Saw  dan  mengalihkannya  agar  kaum  muslimin meng- ikuti pendapat-pendapat mereka dengan meninggalkan sunnah Nabi Saw. Maka mereka pun berfatwa, bahwa mengikuti pendapat-pendapat imam Mazhab hukumnya, haram, bid’ah dan menyesatkan. Apabila mengikuti pendapat para imam Mazhab yang sudah jelas mendapat pengakuan dari Nabi Saw dan dari-Nya dikatakan haram, bid’ah dan kafir, lalu bagaimana hukumnya dengan mengikuti pendapat-pendapat dari orang-orang yang bukan ahlinya ?
Bahkan di antara mereka ada pula yang mengatakan bahwa ke empat mazhab itu adalah bid’ah yang di ada-adakan dalam agama Islam. Karena mazhab-mazhab ini bukanlah bagian dari agama Islam. Dan setelah itu mereka justru mengalihkan perhatian umat muslimin untuk bertaqlid kepada para ulama “WAHABI TAKFIRI“ saja.  Mazhab Wahabi Takfiri ini termasuk mazhab yang baru muncul, dan setiap perkara yang baru adalah sesat dan menyesatkan sesuai dengan hadits Nabi Saw :
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“ Barangsiapa yang diberikan hidayah oleh Allah ia tidak akan tersesat, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka ia tidak akan mendapatkan petunjuk, Sesungguhnya sebenar-benarnya perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruknya perbuatan adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah menyesatkan, dan setiap yang menyesatkan akan masuk neraka “  (Sunan Nasai 3 / 188 hadits ini banyak diriwayatkan)
Keberadaan dan keshahihan keempat mazhab telah dikukuhkan berdasarkan hadits Nabi Saw, sedangkan mazhab Salafi Wahabi hanya dikukuhkan oleh kerajaan Arab Saudi pada zaman ini, bukan dikukuhkan oleh hadits Nabi Saw.  Sedangkan  kerajaan  Arab  Saudi  sekarang  ini sudah merupakan kepanjangan tangan dari kaum Khawarij dan dijadikan mobil remote kontrol oleh musuh-musuh Islam. Kerajaan Arab Saudi sekarang ini, sudah tidak mewakili wajah Islam yang sebenarnya. Apa yang kaum muslimin dapatkan ketika melihat saudaranya berbaju ala muslim, denga menggunakan gamis dan imamah, tetapi hati mereka berkiblat ke Amerika, Inggris dan negara-negara sekutu lainnya ?
Sering kita dengar dan kita lihat mereka melecehkan para imam mazhab, tetapi mereka memuji setinggi langit ulama mereka. Mereka mengharamkan bertaqlid ke-pada para imam mazhab, tetapi mereka sendiri bertaqlid kepada ulama sesat mereka. Mereka mengharamkan pengkultusan terhadap makhluk, tetapi mereka sendiri sangat mengkulutuskan Ibnu Taimiyah, Nashrudin Albani, Syaikh Fauzan dan ulama-ulama dari kalangan mereka sendiri.
Sikap mereka seperti ini telah menimbulkan perse- lisihan dan perpecahan dalam tubuh kaum muslimin. Bah- kan tidak jarang perbedaan dalam furu’ dapat menyulut terjadinya pertengkaran dan pertumpahan darah di antara sesama muslim. Sungguh menyedihkan.
Mereka mengklaim diri sebagai orang atau kelom- pok yang anti mazhab, dan mereka memvonis bahwa taqlid kepada mazhab sama artinya dengan meninggalkan al-Quran dan Sunnah. Mereka menyerukan agar semua kaum  muslimin  langsung   merujuk   kepada   al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw  dalam mengambil hukum syari’at walaupun mereka tidak memiliki perangkat-perangkat ilmu untuk sampai kepada derajat mujtahid. Sehingga sering sekali hukum-hukum yang mereka simpulkan terasa aneh. Mereka berani menetang pendapat para imam dan mengemukakan pendapat yang betul-betul baru dan nyeleneh.
Sesungguhnya dengan meninggalkan mazhab berarti kita telah menciptakan mazhab yang baru, yaitu mazhab tanpa mazhab. Dengan “membangun jalan yang baru“ ke arah pembangunan sebuah mazhab sebenarnya bukan hal yang tabu dan terlarang dalam agama. Selama ulama tersebut memang memenuhi berbagai persyaratan dan ada pengikutnya ditambah dengan pengakuan dari ulama yang kompeten sah-sahnya hal seperti itu. Karena bagaimana pun juga pengakuan merupakan sebuah sendi-sendi yang dibutuhkan dalam kehidupan beragama. Bahkan tanpa pengakuan, pernikahan tidak sah, pembentukan sebuah negara tidak sah, Islamnya seseorang pun tidak sah, dan banyak hal lainnya yang sangat membutuhkan pengakuan itu sendiri. Pengakuan  itu sangat berbeda dengan “mengaku-aku “ sudah diakui.
Dengan bermazhab, sebenarnya setiap muslim sedang mendaki sebuah tangga untuk mendapatkan penjelasan dan petunjuk dari Rasulullah Saw. Karena hal itu pula yang telah dilakukan oleh para sahabat Nabi Saw. Adakalanya para sahabat bertanya kepada sahabat lain untuk mendapatkan penjelasan atau petunjuk dari Nabi Saw. Begitu pula yang dilakukan oleh para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu apa yang salah ketika kita semua mengikuti pola yang telah baku dan shahih ini ? Akal yang sehat dan bersih dari berbagai gangguan, sudah pasti akan membenarkan argumentasi ilmiah murni ini.
  Begitu pula halnya seperti penduduk di Hijaz yang hidup bertahun-tahun dengan menggunakan pendapat Abdullah bin Umar tanpa ada seorang pun dari kalangan sahabat lainnya yang menentang pendapat itu. Atau ketika Atha bin Rabah yang memberikan fatwa di Makkah selama bertahun-tahun, sehingga khalifah pun memerintahkan kepada kaum muslimin untuk tidak mengambil fatwa kecuali dainya. Dan tidak ada satu pun dari ulama yang mengingkarinya..
Begitu pula dengan masyarakat di Irak yang hidup bertahun-tahun dengan meng- gunakan fatwanya Ibnu Mas’ud r.a dan murid-muridnya, tanpa ada ulama yang menen- tangnya. Apakah dengan adanya keterangan seperti ini anda masih akan menyatakan bahwa seseorang yang bermazhab itu bid’ah dan menyesasatkan ? Apabila jawaban anda “iya“ berarti anda pun telah menyatakan bahwa semua masyarakat yang bermazhab pada zaman Abdullah bin Umar r.a dan pada zaman Ibnu Mas’ud r.a adalah masyarakat bodoh, dungu, jauh dari sunnah dan menyesatkan. Apabila masyarakatnya sudah anda vonis demikian, arti- nya anda pun telah menjatuhkan hukuman bodoh, dungu, menyesatkan serta pembuat bid’ah kepada kedua sahabat Nabi yang mulia tersebut. Apabila kedua sahabat Nabi Saw ini berbuat bid’ah lalu mengapa para imam hadits memasukkan hadits-hadits mereka dalam kitab-kitab-Nya ? Bukankah ahli bid’ah dilarang untuk diterima hadits-haditsnya ?
Saudaraku sesama pencari iman dan kebenaran, sesungguhnya umat ini merupakan umat percontohan. Umat terkaya akan semua ilmu pengetahuan. Tetapi dengan terjadinya pergeseran kedudukan moral di tengah-tengah masyarakat dunia, umat ini menjadi umat ----
yang tertatih-tatih, jalan terang pun seakan berkabut, orang yang melihat pun menjadi buta, kita berperang dengan saudara kita sendiri, sungguh menyedihkan. Kita telah melupakan peran dakwah yang berada dalam tanggung jawab kita semua.
Terlalu banyak kata-kata kotor nan keji yang menghancurkan nilai dan makna dakwah itu sendiri. Sehingga di mana seharusnya agama ini berjalan pada dakwah yang penuh dengan kedamaian serta mampu menyinari kegelapan telah berubah menjadi dakwah yang penuh dengan intrik politik busuk, membawa umat kepada kebodohan, menjerumus- kan masyarakat kepada kefanatikan terhadap golongannya, menghancurkan sendi-sendi perdamaian, menghilangkan kerukunan antar warga, menghadirkan kebencian, membunuh otak-otak cemerlang dan brilian, menggiring jiwa kepada kesesatan , menebarkan fitnah nan berkepanjangan, dan satu juta alasan lagi yang menjadikan umat ini menjadi umat terbela- kang. Sungguh malu dan tragis rasanya.
Sebenarnya umat ini adalah umat yang mencintai kebenaran dan tidak mau menodai kesucian agamanya dengan  mengikis  kebenaran tersebut dengan berbagai penampakan wajahnya yang menarik dan unik. Banyak para pahlawan akidah yang telah berhasil meng- hancurkan berhala-berhala di tanah Arab sana. Tetapi dengan penghancuran dan pemusna- han berhala-berhala tersebut tidak berati perjuangan untuk menghancurkan dan memusnah- kan berhala-berhala dengan wajah yang lain harus berhenti. Betapa banyak dari saudara-saudara kita salah menghancurkan berhala. Mereka lebih senang menghancurkan berhala-berhala yang mereka anggap akan menjadi idola baru bagi kaum muslimin saat ini. Mereka anggap bahwa imam-imam Mazhab adalah idola-idola baru yang di sembah-sembah sehingga bisa melunturkan akidah umat ini. Sungguh rendah dan hinanya pemahaman mereka.
Kebodohan seperti ini sangat memalukan sekaligus memilukan, karena tanpa mereka sadari kebodohan dalam wajah seperti ini telah menghambat langkah kemajuan bahkan lebih cenderung mengikat dan membelenggu moral akhlak disekitarnya. Lebih jauh lagi metode yang mereka terapkan tidak menghasilkan kemaslahatan dan kedamaian untuk umat ini. Dengan sengaja mereka telah memisahkan kedamaian dengan kegelisahan, kebenaran dengan kerancuan. Mereka telah membawa langkah-langkah panjang yang destruktif (meng- hancurkan) diri mereka sendiri hanya mereka tidak menyadarinya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
  اَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ ٱلْمُفْسِدُونَ وَلَـٰكِن لا يَشْعُرُونَ
“ Ingatlah ! sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya “. ( Qs. 2 / Al-Baqarah : 12 )
Sungguh mereka telah tertipu dan tersalah dalam memahami teks suci dan hadist Nabi Saw yang ma’shum ini. Sedangkan orang-orang Islam yang katanya memiliki ilmu yang
banyak dan kuat, hanya berdiam diri dan duduk setiap pagi dan malam tanpa ada pergerakan apa pun. Mereka lebih senang duduk tenang dengan menyeruput kopi panas dan menghisap rokok kretek-nya, daripada berjuang untuk mengobati penyakit yang membatu ini. Bangunlah wahai ulamaku ! Bangunlah wahai  ahlus sunnah wal jama’ah ! Di mana gerangan taring dan gigitanmu !
Saudaraku sesama pencari iman dan kebenaran, bangunan peradaban manusia memang sangat luas jangkauannya, ruang lingkupnya semakin besar, dan masalah yang kita hadapi pun semakin bertambah. Namun kita harus siap menghadapinya dengan akal yang sehat, jiwa yang murni,  hati yang bersih, ditambah dengan luasnya wawasan dan wacana keilmuan kita. Apabila salah satu dari faktor tersebut hilang, hilanglah tujuan utama kita untuk menjadikan umat ini sebagai umat yang cerdas, dewasa, berpikiran luas, berwawasan, berkualitas dan mampu menguasai dunia kembali.
Setiap hari kekalahan demi kekalahan semakin nyata terlihat, kesalahan demi kesala- han semakin tampak, kebaikan demi kebaikan semakin terkikis, sunnah sudah di anggap bid’ah, perbedaan dianggap ajang permusuhan, dan inilah wajah umat yang sekarang ini sedang kita nikmati. Prihatin menyaksikan jiwa saudara-saudara kita hampa tanpa warna dan nuansa, fitrah suci berganti dengan dekadensi moral dan rendahnya martabat.
Sebenarnya salah satu sumber kelemahan daya pikir dan kelumpuhan hati nurani berbagai kelompok masyarakat beragama ada di balik kecenderungan hewani yang melam- paui batas. Ini dikarenakan kita tidak berusaha untuk memahami bahwa diri kita ini  memi- liki banyak kekurangan. Bahkan kita sering kali mengingkari potensi-potensi keilmuan yang Allah titipkan pada diri orang lain, yang kita sendiri tidak memilikinya. Kita pun sering mengingkari potensi kematangan ilmiah dan luasnya hamparan ilmu para ulama yang telah mendahului kita.
Dalam meraih dan memahami ilmu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa. Harus memiliki mental yang kuat, pantang menyerah, ikhlas dan istiqamah dalam pencariannya. Tidak mengenal kata malas dan lelah sebelum memahami dan menguasai ilmu tersebut dengan baik dan benar. Tidak pernah merasa puas walaupun Allah telah memberi- kan sebagian dari hakikat dan rahasia dari berbagai ilmu-Nya.
  Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata : “ Khazanah intelektual fiqih peninggalan para salafus saleh yang membahas berbagai hukum dan permasalahan yang dihadapi manusia, tidaklah hanya sebatas kepada mazhab fiqih yang empat saja (Hanafiyyah, Malikiyah, Syafi’- iyyah, dan Hambaliyyah). Di sana masih banyak terdapat mazhab-mazhab fiqih lainnya yang terkenal ataupun yang tidak seperti mazhab : Imam al-Laits bin Sa’ad, Imam al-‘Auzai, Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, Imam Dawud azh-Zhahiri, Imam ats-Tsauri, mazhab-mazhab Ahli Sunnah, mazhab Syiah Imamiyyah, mazhab Syi’ah Zaidiyyah, Ibadhiyyah, pendapat-penda -pat sahabat, tabi’in, dan juga pendapat-penda- pat tabi’ut tabi’in.
Dalam ragam pendapat yang terdapat pada berbagai mazhab tersebut, kita dapat menemukan banyak manfaat bagi lancarnya kebangkitan umat Islam yang kita harapkan. Mazhab-mazhab tersebut tentunya lebih utama apabila dibandingkan dengan undang-undang non syar’i baik yang berasal dari Timur maupun dunia Barat. Agama Allah menawarkan kemudahan bukannya kesulitan.
Selain dari itu, mempertimbangkan kemaslahatan dan melindungi kebutuhan manusia merupakan tuntunan syara’. Oleh sebab itu, tidak ada larangan bagi para pembuat undang-undang (dewan legislatif) untuk memilih pendapat ataupun mazhab dalam masalah ijtiha- diyyah ini. Adapun qadhi (hakim), maka sebaiknya ia tetap berpegang kepada mazhab empat, karena tradisi (‘urf )  umum  yang sudah menyebar  dapat  digunakan  untuk men- takhisis nash. Selain itu, apabila dewan legislatif mengambil pendapat termudah dari beberapa pen- dapat mazhab yang masyhur, maka yang dimaksud adalah mazhab-mazhab yang dipraktik- kan di berbagai dunia Islam, dan pada kenyataannya yang dimaksud dengan mazhab adalah pendapat para imam mujtahid.
Para pakar yang mendukung teori ini mengatakan, Adalah suatu kebenaran bahwa agama Allah hanya satu. Yaitu segala ajaran yang diturunkan dalam kitab-Nya, yang dibawa oleh Rasul-Nya dan diridhai untuk dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Nabi Allah juga satu “. Barangsiapa sesuai dengan ajaran ini, maka dialah orang yang benar dan mendapatkan dua pahala. Adapun orang yang tidak sesuai dengan ajaran sebenarnya, maka dia hanya men- dapatkan satu pahala, yaitu pahala ijtihad. Sedangkan kesalahannya, tidak dibalas dengan balasan apapun. Inilah pendapat yang benar menurut imam mazhab yang empat.
Imam al-Izz bin Abdussalam juga berkata : “Yang terpenting bagi orang yang bertaklid adalah mengetahui bahwa mazhab (yang dianutnya) adalah benar-benar ada, dan ia juga harus mempunyai dugaan kuat bahwa mazhab tersebut adalah shahih. Oleh karena itu, apabila dia meyakini keberadaan suatu mazhab, maka dia boleh bertaqlid kepada  mazhab tersebut, meskipun tokoh mazhab tersebut bukan termasuk salah satu dari empat mazhab fiqih yang terkenal.”
Imam al-‘Iraqi berkata : “Ulama bersepakat (ijma) bahwa orang yang masuk Islam boleh bertaklid kepada ulama siapa pun tanpa ada batasan. Para sahabat pun bersepakat bahwa orang yang meminta fatwa dan bertaklid kepada Abu Bakar dan Umar, boleh meminta fatwa kepada Abu Hurairah, Mu’adz bin Jabal, ataupun yang lainnya. Dia juga boleh mengamalkan pendapat para sahabat tersebut tanpa ada pengingkaran dari kalangan --
ulama. Oleh sebab itu, barangsiapa menganggap bahwa dua bentuk ijma ini tidak berlaku maka dia harus mengemukakan dalil.
Atas dasar uraian di atas, maka jelaslah bahwa tidak ada dalil yang mewajibkan untuk mengikuti mazhab empat imam saja dalam masalah fiqih. Empat imam dan yang lainnya mempunyai status yang sama. Oleh sebab itu, taqlid kepada selain empat mazhab diperboleh- kan jika memang mazhab tersebut memang diketahui dengan pasti siapa tokoh atau peng- gagasnya, sebagaimana yang telah diterangkan Imam Al-Izz bin Abdissalam.
Alasan lainnya adalah, bahwa orang-orang yang meminta fatwa pada zaman sahabat dan tabi’in tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti mazhab tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan permasalahannya kepada siapa pun yang ahli dalam bidangnya, tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Ini dapat disimpulkan, bahwa mereka semua telah bersepakat bahwa bertaqlid hanya kepada satu imam saja atau mengikuti mazhab tertentu saja atau mengikuti mazhab tertentu dalam berbagai masalah bukanlah suatu kewajiban.
Selain itu, pendapat yang mengatkan bahwa mengikuti salah satu mazhab adalah wajib, akan menyebabkan kesulitan dan kesempitan. Padahal, keberadaan mazhab yang beragam sebenarnya adalah suatu kenikmatan, anugerah, dan juga rahmat bagi umat manusia. Pendapat ini adalah pendapat yang paling rajih (unggul) di kalangan ulama ushul fiqih.
Oleh karena itu, agama Islam yang hadir hingga hari Kiamat dan dipersembahkan untuk membimbing generasi yang akan datang di dalam atmosfir yang berbeda dan ling- kungan yang beraneka ragam, telah menetapkan contoh-contoh praktis dan terpadu. Contoh-contoh tersebut akan mampu memotivasi perbuatan dan dorongan yang kuat. Ia juga akan mengeluarkan syariat Islam dari batas penggambaran dan bayang-bayang akal ke dalam batas aplikasi yang bersifat praktis, yang mampu menyegarkan akal dan kalbu sekaligus.
Setiap masa menunjukkan bahwa Allah menghendaki para penghimpun al-Quran sebagai sebuah kitab yang dibawa oleh Nabi Saw. Dengan anugerah sunnah, kehidupan yang penuh berkah terus berlangsung sepanjang generasi dan sepanjang masa. Umat Islam yang bersifat ruhaniah, ilmiah dan penuh dengan nuansa keilmuan. Yang  mana dengan cara seperti ini membuat para sahabat berbahagia. Dengan itu pula, dapat diketahui perbedaan antara yang ma’ruf dengan yang mungkar, yang sunnah dan yang bid’ah, serta yang orisinil dengan yang palsu. Karena keterbatasan manusialah, maka perbedaan dalam memahami samudera kedalaman Islam pun terjadi. Sehingga timbullah banyak hukum fiqih yang kita kenal sekarang ini. Fiqih adalah praktikal akal seorang Muslim yang intens dalam memahami dalil dan analogi (qiyas) terhadap apa yang tidak ditunjukkan oleh nash. Qiyas ternyata banyak jumlahnya dan berada dalam ruang lingkup ijtihadi, bersifat elastis, dinamis dan toleran.
Hanya saja kita dituntut untuk membumikan seluruh syariat lslam, dan tidak semata-mata hukum tertentu saja. Oleh karena itu tidak ada Islam tanpa syariat, sebagaimana halnya tidak ada jasad tanpa ruh. Melalui aplikasi seluruh syariat Islam, kita memiliki peluang untuk mendapatkan berbagai hikmah, anugerah, kemudahan dan rahmat-Nya.
Syariat Islam bukan hanya meliputi masalah hud- dud (sangsi hukum pidana) semata sebagaimana dipropa- gandakan oleh sebagian orang. Bahkan, ia pun meliputi cinta dan akhlak, berbagai hal dan kewajiban, dan lain-lain. Yang terpenting, kita harus senantisa  berlaku  jujur pada Allah, pada umat, dan pada diri kita sendiri, serta kita  harus mening- galkan sikap lalai, main-main dan  kesia-siaan
Tidak ada jalan lain untuk mengetahui Islam secara baik dan benar, kecuali berasal dari para perawi syariat yang baik dan benar, serta benar-benar mendapatkan legitimasi dari para alim ulama di masanya. Karena pengakuan tentang keilmuan yang berasal dari alim ulama yang hidup sezaman dengannya, pasti akan jauh lebih akurat, daripada kita yang men- dapatkan informasi tentang ulama tersebut dari para alim ulam yang tidak sezaman dengan- nya, apalagi dari para Wahabi Takfiri yang jelas-jelas merupakan mazhab batil.
Mereka adalah aktor utama dalam membangun peradaban Islam di masa mendatang. Seluruh warisan keilmuan yang mereka wariskan, telah benar-benar memenuhi pelataran bumi ini. Sungguh, tidak ada cara lain untuk mendapatkan warisan terbaik ini, kecuali dengan mengambil pendapat-pendapat mereka, ditambah dengan pendapat-pendapat yang baru muncul dari akal-akal yang cerdas dan brilian.

No comments:

Post a Comment