NU merupakan ormas terbesar di dunia dengan jam’iyyah diniyahnya yang berjumlah kurang lebih 100 juta orang. Dengan angka sebesar ini sudah barangtentu NU memiliki nilai strategis, politis dan ekonomis yang sangat besar dalam peta dunia. NU merupakan masyarakat muslim asli Indonesia yang mempertahankan pola masyarakat tradisional intelelektual, yang dibungkus dengan kehangatan spiritual dengan berpegang teguh pada warisan dan tradisi para wali songo (sembilan).
Walaupun NU identik dengan sebutan “ kaum sarungan “, tetapi dalam mendapatkan akurasi kebenaran, para kyai dan pendiri NU senantiasa menuntut keilmiahan suatu penelitian yang ditentukan oleh sejauh mana penelitian itu mampu mengungkap fakta yang sebenarnya, serta sejauh mana ia dapat meletakkan aspek-aspek tertentu pada proporsi yang sebenarnya. Karena para kyai dan pendiri NU memahami benar, bahwa Islam menjadikan bangunan pemikiran ideologis historis sebagai salah satu syarat kokohnya konstruksi materi dan hubungan yang dinamis dalam masyarakat plural dan heterogen.
Meyakini pentingnya pendekatan ideologis historis dan pemikiran kultural sebagai dasar untuk memahami eksistensi kebudayaan dan peradaban, merupakan sesuatu yang mutlak dalam pengembangan dakwah dengan cara yang santun, cerdas dan adil. Bukan dengan cara-cara yang kasar, menyakiti dan menonjolkan kesombongan dalam berhujjah. NU sangat memahami benar hal-hal tersebut, sehingga tidak aneh bila NU muncul sebagai jam’iyyah diniyyah yang menghargai kebudayaan, peradaban dan pola hidup kerakyatan. Dan bagi NU dakwah tanpa memperhatikan hal-hal di atas tersebut dapat dikatakan sebagai dakwah yang gagal, karena dipandang tidak mengakui masyarakat tradisional sebagai faktor peradaban yang streril dan tegak di atas jati dirinya sebagai tuan rumah di negerinya sendiri.
Para pendiri dan cendikiawan NU sangat memahami ketika kaum imperialis sengaja menciptakan intrik terhadap masyarakat tradisional dengan membawa arus pertentangan mazhab. Hal ini mereka lakukan untuk merebut hati sebagian kaum muslimin agar menjauhi dan membenci NU. Karena bagi mereka apabila NU dibiarkan semakin besar akan berbahaya. Berbahaya bagi arus pemikiran mereka dan berbahaya bagi tujuan-tujuan licik mereka. Bagi sesepuh dan pendiri NU, arus pemikiran yang diusung oleh para imperialis ini tidak lain hanya untuk menguasai dan menguras sebuah negeri.
Lihatlah ketika para imperialis mampu memasukkan agen-agennya di Arab Saudi dengan paham Wahabinya, tidak lama setelah itu semua mazhab Islam dikerangkeng dan di -nyatakan haram untuk berkembang di tempat asalnya. Lihat pula India dengan Ahmadiah- nya di mana pengaruh Inggris bisa menguasai separuh dari sumber daya alamnya. Lihat pula Afganistan dengan Talibannya yang didukung oleh Amerika, sehingga kekuasaan politik di kuasai oleh Amerika dengan menempatkan boneka-bonekanya. Tengok pula Mesir dengan Ikhwanul Musliminnya yang dihancurkan oleh pengaruh Saudi Arabia dengan jaringan sekutunya. Jangan lupa Irak dengan Saddam Husennya, Libya dengan Muamar Khadafinya, Suriah dengan Bassar al-Asadnya. Semua dirancang dalam pertikaian antara mazhab.
Lihat dan saksikan Indonesia, apakah negara kita seperti mereka ? jelas tidak. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ? Karena NU ada di dalamnya. Musuh-musuh ahlus-sunnah senantiasa menciptakan intrik-intrik keji untuk mengambil sumber alam sebuah negara. NU-lah yang mampu mengantisipasi semua itu. Hal ini tidaklah berlebihan karena memang terbukti seperti itu adanya.
Walaupun musuh-musuh ahlus-sunnah semakin hari semakin memberikan pengaruh yang buruk terhadap masyarakat muslim Indonesia, tetapi hal itu tidak akan membuat NU semakin pudar dan tenggelam. Tetapi bukan pula kita berdiam diri dan membiarkan mereka menggeroti kebudayaan, peradaban dan pola hidup kerakyatan yang telah digagas dengan brilian oleh para sesepuh dan pendiri NU.
Kita tidak perlu takut untuk menyatakan kebenaran dari kesamaran yang selama ini didominasi oleh tirani atau para penguasa dunia yang zalim. Padahal, sebenarnya para pe- nguasa zalim ini begitu takut menghadapi revolusi kebenaran yang sedang gencar-gencarnya disuarakan oleh NU diseluruh pelosok dunia ini. Sehingga mereka selalu membuat intrik-intrik licik untuk mengelabui sejarah dengan dukungan media massa yang mendukung mereka tentunya. Promosi besar-besaran dengan yel-yel yang memenuhi media massa dan jalanan, seakan-akan menjadi milik mereka. Sungguh, sudah waktunya bagi NU untuk mengalihkan perhatian mata dunia.
Kebenaran agama ala NU dengan penjelasan-penjelasannya merupakan hasil pemiki- ran brilian para ulama dan cendikiawan NU yang tidak boleh kita biarkan usang dan penuh debu. Duhai saudaraku, apakah seperti ini balas jasa kita terhadap kebaikan mereka ? Kita tidak mampu untuk menjalankan apa yang mereka tuangkan dalam pemikiran dan karya-karya mereka. Sedangkan mereka telah menjalankan apa yang mereka tuangkan dalam pemikiran dan tulisannya. Untuk memenuhi tanggung jawab kita sebagai warga NU saja kita tidak mampu. Lalu mengapa kita masih berbangga hati dengannya ?
Mungkin sudah lama kita tertinggal dalam segala hal, kecuali dalam masalah akidah yang suci ini. Zaman sekarang kita hanya mendapatkan sisa-sisanya saja dari musuh-musuh Islam ini. Hal ini dikarenakan “ mungkin ” warga NU sudah tidak mempercayai secara 100 % lagi terhadap risalah dari langit ini. Walhasil, inilah kita yang terlalu bangga dengan sejarah NU tempo dulu dan kemenangan-kemenangan yang pernah diraih di zamannya.
Kita telah membiarkan kemenangan dan kejayaan NU tempo dulu berpindah tangan dengan mudahnya. Kita hanya menceritakan kisah-kisah kepahlawanan mereka saja, tanpa mau menjadi pahlawan seperti mereka. Kita tidak mau memberdayakan akal dengan cara yang benar, karena “ mungkin ” akal kitanya memang tidak benar. Yang kita pikirkan hanya- lah masalah makan, minum, pekerjaan, dan anak-anak. Apakah kita pernah memikirkan apa jadinya NU pada masa yang akan datang dengan hanya memikirkan hal-hal tersebut ?
NU tempo dulu telah memberikan berkahnya kepada kita semua tanpa kecuali. Padahal kita ini masih termasuk orang-orang yang tidak mampu menjaga, memelihara dan menjaga kemuliaan NU tempo dulu. NU tempo dulu hanya dijadikan kumpulan kisah dan bacaan diwaktu senggang saja sepertinya. Meminjam kalimat John F.Kennedy : “ Jangan tanyakan apa yang NU berikan kepada kalian, tetapi tanyakan apa yang sudah kalian berikan kepada NU “.
KH. Zainul Akifin al-Abbas (Ketua Umum Foswan) pernah bercerita kepada saya sewaktu kami pulang ceramah dari sebuah tempat di bilangan Jakarta Pusat.
“ Kyai, sekarang ini warga NU sudah kehilangan sighah (celupan) dan ghirah (semangat) dalam membela NU itu sendiri. N’dak sedikit orang NU yang malu disebut orang Nahdliyin. Saya mau tanya sama sampean, tahun inikan PERSIB juara, itu orang Bandung yang berangkat ke Palembang untuk nonton tim kesayangannya “ Pangeran Biru “ itu berapa banyak ? “
“ Kurang lebih 40.000 orang Kyai ! “ jawab saya
“ Orang Bandung n’dak mungkin mau dukung tim kesayangannya kalau mereka n’dak punya sibghah (celupan) PERSIB. Apalagi sampe jauh-jauh ke Palembang. Padahal mereka juga n’dak tahu PERSIB itu kalah atau menang. Tapi yang penting pergi dan dukung dulu, masalah menang atau kalah itu urusan lain. Orang Bandung mau pergi itu karena celupan biru PERSIB-nya ada di dada mereka. Mereka bangga setengah mati dengan tim-nya. Karena perasaan bangga inilah yang membuat timbulnya ghirah (semangat) untuk pergi dan mendukung. Lhaa, kalau n’dak ada sibghah mana bisa punya ghirah, iya n’dak Kyai ? “
Saya mulai mengerti dan paham ke mana arah pembicaraan ini. Kemudian Kyai Zainul kembali meneruskan ceritanya ini.
“ Orang NU sekarang ini yang saya rasa sudah n’dak jelas lagi sibghah-nya (celupan- nya), ijo sih ijo, tapi n’dak tahu ijonya ijo apa. Wong NU itu itu kan warna ijo (hijau)-nya jelas. Kalo ijonya aja n’dak jelas yaa pasti ghirah (semangat)-nya juga n’dak jelas. Buktinya aja yang gampang, sampean sama saya selama ini kan balikin lagi masjid-masjid orang NU yang diduduki sama orang-orang Salafi Wahabi, coba sampean rasakan, apa ada pejabat tinggi NU dan para kyai setempat yang memberikan apresiasi sama kita ? Paling-paling cuma ucapan matur nuwun. Kita dan kawan-kawan ini memperjuangkan kembali agar celupan NU bener-bener ijo. Eeh masjidnya diambil aja masih diem juga. Orang NU apa kok kaya gini ?
Kita ini sudah duplikatkan nyawa kita sama Gusti Allah, saya pernah denger dari jama’ah bahwa sampean pernah tiga kali disantet waktu ceramah. Lhaa apa orang-orang dan para kyai NU lain tahu pengorbanan sampean sampe sebegitunya ? Kita ini n’dak pernah ada maksud lain kecuali ingin orang-orang NU sadar siapa NU itu, dan apa saja jasa NU bagi bangsa dan negara kita. Kita n’dak pernah ingin dibayar waktu ngambilin lagi masjid-masjid NU dari Salafi Wahabi. Biaya yang kita keluarin dari saku sendiri itu n’dak sedikit lho kyai ! Dan jangan sampe cerita ini kedenger sama kyai-kyai besar, nanti mereka tambah marah dan n’dak suka sama kita. “
Itulah sedikit dari banyaknya cerita yang disampaikan KH. Zainul kepada saya. Bila saya teruskan cerita ini maka saya harus membuat sebuah judul untuk buku saya yang baru, misalnya “ Curhatnya Kyai Zainul “. Beliau adalah seorang mubaligh NU tulen, yang sudah sering dapat perlakuan tidak baik di zaman Suharto. Semoga Allah Swt memanjangkan umur beliau untuk membangkitkan sibghah dan ghirah-nya orang-orang NU yang dimata beliau sudah n’dak jelas lagi warnanya ijonya.
No comments:
Post a Comment