Murid langsung pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syaikh KH. Masyim Asy’ari, KH. Abdullah Mukhit Muzadi mengurai bahwa NU didirikan atas dasar kesadaran dan keinsyafan bahwa manusia sebagai makhluk sosial hanya bisa memenuhi kebutuhannya jika dia bersedia untuk hidup bermasyarakat. Karena itu, dibutuhkan seluruh modal sosial yang kuat yaitu adanya rasa persatuan dan kesatuan (ittihaad wat ta’alluf) secara fisik dan psikis untuk mewujudkan masyarakat sejahtera.
Maka kata Syaikh Hasyim Asy’ari ittihaad wat ta’alluf modal utama bagi kemajuan suatu negeri. Negara bisa maju dan makmur serta pembangunan biasa merata jika ittihaad wat ta’aluuf dipertahankan dengan baik. Kyai Hasyim Asy’ari menggambarkan bahwa masyarakat Islam itu ibarat seperti anggota tubuh. Apabila satu bagian dari anggota badan kita sakit maka semua anggota yang lainnya akan ikut merasakannya. Karena itu kesatuan dan persatuan adalah keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana yang paling ampuh untuk meraih cita-cita bersama.
Menurut Kyai Hasyim Asy’ari perpecahan adalah penyebab kelemahan dan kegagalan sepanjang zaman. Banyak sekali negara yang semula maju dan besar kemudian runtuh. Persis ungkapan Sayyidina Ali r.a : “ Kebenaran menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan. Sedangkan sebaliknya, kebatilan menjadi kuat dengan adanya persatuan dan kesatuan “. Sayyidina Ali r.a menegaskan tidak ada satupun kebaikan dalam perpecahan yang dikaruniakan Allah Swt kepada seseorang, baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan.
Sejak awal berdirinya, ada kecenderungan NU selalu menghindari formalisasi agama dalam system kenegaraan. Bahkan, ketika nusantara masih dalam cengkeraman penjajah Belanda keputusan Muktamar NU pada tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah Darul Islam. Berdasarkan konsep fqih setiap daerah atau wiayah yang dulunya pernah didirikan negara Islam kemudian dimasuki oleh pemerintah kafir, maka status daerah tersebut tetap dianggap sebagai negara Islam. Alasan NU berpendapat demikian, karena pemerintah Hindia Belanda tak menghalang-halangi umat Islam melakukan praktek ibadah atau menjalankan syariat Islam.
Menurut pakar pemikiaran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, KH. Imam Ghazali Said, MA. NU dan KH. Hasyim Asy’ari lebih memilih negara demokrasi daripada khilafah atau menghindari formalisasi agama. Karena pada fase-fase NU hendak didirikan terdapat fakta sejarah yang membuktikan bahwa formalisasi agama tak selalu menguntungkan umat Islam. Kegagalan khilafah Turki Utsmani melindungi kerajaan atau negara Islam dari invasi penjajahan Barat, menjadikan mayoritas umat Islam menolak sistem khilafah Islam, tutur Kyai Ghazali.
Dalam pandangan Kyai Hasyim Asy’ari, lanjut Ghazali Said, pengalaman radikalisasi agama di berbagai belahan bumi nusantara untuk melawan penjajahan Belanda ternyata gagal. Sebut misalnya perlawanan kaum radikal Islam seperti perang Pangeran Dipenogoro dan perlawanan kaum Padri yang dipimpin Imam Bonjol serta pemberontakan petani Banten.
Maka, suasana kebatinan domestik maupun global pada saat itu mempengaruhi perumusan Qanun Asasi NU yang menurut Syuriah NU Jawa Timur, KH. Ahmad Subadar bahwa Qanun Asasi NU adalah UUD 45-nya NU. Qanun Asasi NU, kata Kyai Said di samping merupakan kristalisasi pemahaman keagamaan ulama pendiri NU, sedikit banyak dipengaruhi oleh konsep Mitsaq Madinah atau Piagam Madinah. Qanun Asasi NU prinsipnya membingkai negara yang memberikan ruang kebebasan bagi terlaksananya syariah Islam. Walaupun sama atau label Islam tidak diformalkan di dalamnya.
Dengan kata lain, bagi NU membingkai negara tidak berarti memformalisasi Islam, melainkan bagaimana membangun tatanan negara yang memberi ruang yang sehat pada terciptanya ruh ad-diniyah dalam konteks negara bangsa (nation state). Ini berarti negara yang terbingkai agar bisa mendorong menggelorakan semangat keagamaan. Itulah yang dikonsepi ulama para pendiri NU ketika awal berdirinya seperti yang tersurat dalam Qanun Asasi-nya.
Bagi NU, ketika agama dan politik disatukan, sulit dibedakan antara kepentingan politik dan agama. Kelompok “ Islam politik “ mungkin tidak sadar bahwa kebijakan politik tidak selamanya bersumber dari kepentingan agama, justru tak jarang yang berdasarkan kepentingan duniawi. Apalagi karakteristik politik adalah tidak konsisten dan senantiasa sering berubah-ubah. Sehingga ada sebuah ungkapan masyhur dikalangan politikus “ Tidak ada kawan dan tidak ada lawan “. Kalaulah kita lebih cerdas menangkap makna dari ungkapan itu, maka kita akan mengerti, bahwa politik yang tidak berlandaskan pemahaman terhadap syariat adalah berbahaya. Ungkapan “ tidak ada kawan” bisa berarti semua lawan politik adalah musuh. Sedangkan ungkapan “ tidak ada lawan “ adalah untuk memanipulasi ungkapan pertama.
Atas dasar itulah politik NU bersifat fleksibel dan peka realita. Karakter NU atau Ahlussunnah wal Jama’ah yang fleksibel, berpijak kepada pengalaman demi pengalaman.
Karena itu, Ahlussunnah wal Jama’ah dari dulu tahu sisi negative politik dan sisi buram hubungan agama dan politik. Sehingga ahlussunnah wal Jama’ah lebih waspada dan tak gampang tertipu oleh kelompok yang mengatasnamakan Islam. Sisi negatif politik serta citra kelam pelaku politik mengantarkan Ahlussunnah wal Jama’ah untuk bersikap independen (mandiri). Tidak terikat oleh kelompok politik manapun. Bukan berarti Islam tidak perlu politik. Tapi berpolitik itu tak harus fanatik. Apalagi mempolitisasi agama dengan cara mengaku paling Islam.
Kemandirian relatif itu akan mengantarkan pada kemandirian NU di dalam menentukan kebenaran dan keadilan, tanpa tergantung oleh kekuatan politik dan kebijakan partai. Kebenaran bisa ditemukan dan didiskusikan di luar partai. Karena itu dalam memutuskan persoalan keagamaan, NU mempunyai ruang khusus (bahts al-masail), yang tidak terikat oleh kepentingan partai atau perorangan, Berbeda dengan kelompok Islam politik, mereka tak bisa mandiri dalam menentukan sikap. Sebab jika pengurus pusatnya mengatakan A, maka anggotanya harus mengamini, tanpa kritik. Hal seperti ini jelas meng- gilas ruang kebebasan umat Islam dalam berpendapat dan mengembangkan kreatifitasnya. Bahkan dapat kita katakan, bahwa kelompok politik Islam seperti ini telah menghilangkan salah satu bentuk dasar kehendak, yaitu musyawarah dan mufakat.
Berbeda dengan NU, kemandirian yang dimilikinya berguna untuk mengkritisi secara objektif perilaku pemerintahan dalam menjalankan tugasnya, dan mampu memberikan masukan objektif demi terbentuknya negara yang berakhlak al-karimah. Dari situlah kita sadar akan sisi positif NU yang relatif menjaga jarak antara agama dan politik. Sehingga NU bisa lebih realistis dan kritis di dalam berpolitik. Sebab kenyataannya, tidak semua kelompok politik yang mengaku paling Islam itu, memperjuangkan Islam. Tak jarang ada udang dibalik batunya. Juga, tidak semua yang mengaku kembali kepada al-Quran dan al-Hadits adalah kelompok yang paling mengamalkan al-Quran dan al-Hadits. Malah banyak yang mengata- kan itu karena ternyata mereka tidak tahu makna al-Quran dan al-Hadits.
Para Kyai dan pakar NU sangat mengetahui adanya “ penjajahan modern “ yang dilancarkan terhadap dunia Islam dengan menggunakan kekuatan ekonomi, budaya, sains tekhnologi dan politik adu domba. Ditambah dengan bangkitnya kelompok-kelompok ekstrem yang merindukan kembali system kekhalifahan. Maka sejak saat itulah term “ khilafah “ menjadi isu harakah (pergerakan) Islam dengan misi dan agenda politik membangun kembali Daulah Islamiyah Internasional. Sebut saja Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928, dan selanjutnya banyak dimainkan oleh jama’ah Hizbut Tahrir yang didirikan di Jerusalem Timur tahun 1952. Dan baru-baru ini juga digaungkan oleh Islamic State of Iraq dan Sham (ISIS) di Irak dan Siria.
Era reformasi yang memberikan ruang kebebasan publik, menjadian isu khilafah di Indonesia kian vulgar dan menemukan momentumnya. Pembicaraan-pembicaraan yang mewacanakan isu khilafah semakin intens dan terbuka dikampanyekan, baik lewat opini-opini pemikiran maupun gerakan nyata.
Dari gambaran tersebut, maka NU dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diadakan pada tanggal 1-2 November 2014 memutuskan beberapa poin penting sehubungan dengan khilafah, yaitu :
Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar (mabadi asasiyyah). Islam telah memberikan panduan (guidance) yang cukup bagi umatnya.
Mengangkat pemimpin (nashb al-iman) wajib hukumnya, karena kehidupan manusia akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh pernyataan para ulama terkemuka, antara lain :
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin : “ Agama dan Kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan pondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan “.
Syaikh al-Islam Taqi al-Din ibn Taimiyah dalam Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah : “ Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan banyak (dalam sebuah pemerintahan dan negara) adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara “.
Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan per- kembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang tepenting suatu pemerin- tahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajaran agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemak- muran, kesejahteraan dan keadilan.
Khilafah sebagai salah satu system pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa ar-Rasyidun. Al-Khilafah ar-Rasyidun adalah model yang sangat sesuai dengan eranya, yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation state). Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu system khilafah. Pada saat umat manusia
bernaung di bahwa negara-negara bangsa (nation state), maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang in adalah sebuah utopia.
Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewa- dahi segenap elemen bangsa yang sangat majemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama. Sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahan- kan dan memperkuat keutuhan NKRI. Oleh Karena itu, setiap jalan dan upaya munculnya gerakan-gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan mafsadah yang besar dan perpecahan umat.
Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu. Dalam adagium yang populer di kalangan para ulama dikatakan “ al ‘ibrata bil jauhari la bil madhahir “, yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah. Al ‘ibrata bil masma laa bil ismi , yang menjadi pegangan pokok adalah sesuatu yang diberi nama, bukan nama itu sendiri. Dengan demikian memperjuangkan tegaknya nilai-niai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara apapun nama negara itu. Islam bukan jauh lebih penting daripada memperjuang- kan tegaknya simbol-simbol negara Islam.
Demikianlah beberapa point penting yang merupakan pandangan resmi NU terhadap khilafah sebagaimana telah ditetapkan sebagai hasil keputusan resmi Komisi Bahtsul Masail al-Diniyah dalam Munas Alim Ulama Nu 2014.
No comments:
Post a Comment