Kantor berita Shabesta memberikan kata pengantar untuk buku Terorisme :
Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Kompas 2009) tulisan A.M. Hendropiyono,
Zuhairi Misrawi seorang anggota Nahdlatul Ulama yang menjadi ketua Moderat
Muslim Society, mengetengahkan sebuah peta tentang Wahabi di Indonesia. Peta
yang dimaksud itu adalah hasil pemetaan sikap atas dakwah Muhammad Abdil bin
Wahhab di Indonesia.
Dan memang, dalam merespon dakwah tersebut, orang-orang di Indonesia
terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing mereka memiliki ciri khas
yang membedakan dengan yang lain.
Kelompok pertama, adalah orang-orang yang menerima dakwah
Ibnu Abdil Wahhab, namun melakukan usaha modifikasi, baik sedikit, separuhnya, atau sebagian besarnya. Di antara mereka,
bahkan ada pula yang hanya mengambil ruh semangatnya tanpa perlu konsis- ten
dalam menerapkan pesan dakwah tersebut.
Kelompok kedua, adalah orang-orang yang merespon positif
dakwah tersebut dan menerima secara bulat tanpa usaha memodifikasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha untuk menyebarkannya di
lingkungan-lingkungan mereka.
Kelompok ketiga, adalah orang-orang yang menolak
mentah-mentah dakwah tersebut. Bagi mereka, dakwah
yang diserukan oleh Ibnu Abdil Wahhab itu tidak sesuai dengan karakter
masyarakat Indonesia yang sudah memiliki tradisi keislaman tersendiri dari
dulu. Dakwah tersebut tidak cocok karena itu mereka menolak secara mutlak.
Dua kelompok pertama, di tengah masyarakat kita kerap
disebut sebagai orang-orang Wahabi. Terlepas dari mereka
suka atau tidak penamaan tersebut, media-media dan sejumlah pengamat dari luar
atau dalam negeri tetap mena- mai mereka dengan sebutan itu. Karena itu, tiap
kali media mengangkat atau menyinggung kelompok Wahabi dalam pemberitaan,
selalu yang dimaksud adalah salah satu kelompok dalam dua kelompok tersebut.
Kelompok pertama : Neo-Wahabi
Ciri utama mereka adalah modifikasi pesan dakwah Ibnu Abdil Wahhab. Nur
Khalik Ridwan mengidentifikasikan kelompok kini dalam trilogi karyanya tentang
gerakan Wahabi. Dalam buku pertama, Doktrin Wahabi dan Benih-Benih Radikalisme
Islam (Tanah Air, 2009)ia menyinggung keberadaan kelompok ini sebagai
kelompok yang terpengaruh baik sebagian atau lebih, namun tidak semua oleh
ajaran-ajaran Ibnu Abdil Wahhab. Olehnya, kelompok yang seperti ini disebut
sebagai neo-Wahabi.
Menurut Ridwan, organisasi masyarakat pertama di Indonesia
yang masuk dalam kategori neo-Wahabi adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam
(Persis). Kedua organisasi ini bertahan sebagai kelompok
neo-Wahabi sampai muncul gelombang baru neo-Wahabi pada tahun 1980-an.
Kelompok-kelompok neo-Wahabi yang baru mulai bermunculan sepanjang dekade
1980-an dan 1990-an sebagai buah program-program yang dilakukan Dewan Dakwah
Islamiyyah Indonesia (DDII) yang dimulai pada dekade 1979-an. Kemunculan mereka
bermula dari ketidakpuasan mereka terhadap keberadaan Muhammadiyah dan Persis
yang kurang konsisten terhadap al-Quran dan as-Sunnah.
Di antara kelompok baru neo-Wahabi yang dimaksud adalah kelompok Tarbiyah
yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). PKS memiliki hubungan
ideologis dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, sedangkan HTI memiliki hubungan
historis dengan Ikhwanul Muslimin. Baik PKS atau pun HTI, masing-masing menempuh jalur politik
untuk mencapai tujuan mereka. Cita-cita mereka adalah memformulasikan syariat
Islam di dalam negara (ala Wahabi).
Termasuk yang disinggung oleh Nur Khalik Ridwan sebagai kelompok
neo-Wahabi adalah kelompok yang sering
disebut sebagai Salafi Jihadi. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam
lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta murid-murid mereka
berdua.
Dikenal sebagai orang-orang yang menyempal dari kelompok Negara
Islam Indonesia (NII), dua orang itu menghindari tekanan pemerintah
Indonesia dengan cara kabur ke Malaysia pada pertengahan 1980-an. Di Johor
Baru, mereka kemudian membangun basis dakwah baru. Usaha mereka ini ternyata
berkembang seiring dengan pecahnya Perang Afganistan. Pesantren mereka di Johor
Baru menjadi tempat transit bagi calon-calon relawan untuk perang Afganistan
dari Pesantren al-Mukmin, Ngukri Sukoharjo dan sejumlah kader NII. Tidak hanya
itu, sejumlah relawan untuk perang di Afganistan yang berasal dari Indonesia
dan Malaysia ikut dalam usaha pengiriman itu. Dari arena perang di Afganistan
itulah, muncul orang-orang yang kelak akan
dikenal lewat sebutan alumni Afganistan.
Ternyata tidak semua alumni Afganistan bergabung dalam lingkungan Abdullah
Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Sebagian kecil mereka, kembali membaur dalam
masyarakat. Di antara mereka yang sedikit ini, terdapat sejumlah yang menolak
dengan tegas cara-cara berdakwah gaya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Menurut mereka, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir
adalah orang-orang Khawarij tulen yang mengkafirkan orang-orang di luar mereka termasuk pemerintah Indonesia dan menyebarkan kebencian terhadap pihak
penguasa Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan aksi-aksi terorisme di Indonesia 13
tahun belakangan ini berasal dari lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Baasyir serta alumni-alumni Afganistan yang bergabung dengan mereka. Kurang
dari 20 tahun,. Lingkaran itu telah merekrut anggota-anggota baru dan menebar
teror di tengah masyarakat kita.
Kelompok kedua, Wahabi tulen
Meski secara sepintas tidak termasuk ke dalam kelompok neo-Wahabi, Nur
Khalik Ridwan dengan jeli memasukkan kelompok-kelompok yang merujuk kepada
yayasan al-Murtadha di London dan Jam’iyyah Ihya at-Turats al-Islamiyyah
di Kuwait ke dalam kelompok baru neo-Wahabi.
Yayasan al-Murtadha di London didirikan oleh Muhammad bin
Surur bin Nayef Zainal Abidin. Ia pernah tinggal di
Arab Saudi. Semula ia adalah seorang
anggota Ikhawanul Muslimin, lalu keluar
dan mengaku sebagai Salafi. Ia , oleh Nur Khalik
Ridwan disebut sebagai sempalan Ikhwanul Muslimin. Yayasan ini memiliki cabang
di Indonesia. Cabang di Jakarta bernama yayasan as-Shafwah yang dipimpin oleh
Abu Bakar M. Altway. Cabang yang lain adalah yayasan al-Haramain.
Yayasan al-Haramain sendiri memiliki dai-dai yang tersebar di sebagian
besar wilayah Indonesia. Di antara mereka yang terkenal adalah Abdul Hakim Abdat di Jakarta, Yazid bin Abdil Qadir Jawwas
di Bogor, Ainul Harits di Jawa Timur dan Abu Haidar di Bandung.
Seperti yayasan al-Muntada, Jam’iyyah Ihya at-Turats al-Islamiyyah
di Kuwait didiri- kan oleh Abdurrahman Abdul Khaliq. Ia, sebagaimana dikatakan
Nur Khalik Ridwan, adalah seorang sempalan Ikhwanul Muslimin juga.
Di Indonesia, Jam’iyyah Ihya at-Turats al-Islamiyyah juga memiliki
cabang. Mereka mendirikan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa, seperti Ma’had
Jamilurrahman dan Islamic Centre bin Baaz di Yogyakarta, Ma’had
al-Furqan di Gresik dan Ma’had Imam Bukhari di Solo.
Mereka yang dimaksud mengaku diri sebagai Salafi dan mendakwahkan mazhab
salafiyah. Dilihat dengan mata telanjang, penampilan mereka tidak jauh berbeda
dengan komunitas Salafi di Indonesia. Meski demikian, di tengah komunitas
Salafi, orang-orang yang berafiliasi dengan dua
Yayasan di London dan Kuwait itu serta orang-orang yang berada dalam lingkaran
dai dan lembaga pendidikan mereka di seluruh Indonesia disebut dengan Sururi.
Lantas, siapa yang dimaksud dengan Wahabi tulen di Indonesia
? Dengan mengutip Abu Abdirrahman ath-Thalibi yang
menulis Dakwah Salaf Dakwah Bijak, kelompok yang diidentifikasikan Nur Khalik
Ridwan sebagai kelompok Wahabi tulen di
Indonesia adalah mereka yang disebut dengan Salafi Yamani.
Dikatakan Salafi Yamani, karena mereka merujuk kepada syaikh-syaikh Salafi
yang ada di Yaman dan di Timur tengah. Salah
seorang syaikh mereka yang terkenal di Yaman adalah Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. Syaikh yang dimaksud memimpin Ma’had Darul Hadits di daerah
Dammaj, Sha’dah, Yaman. Banyak dai-dai salafi Yamani yang belajar di Ma’had
Darul Hadits sampai hari ini, meskipun syaikh yang bersangkutan telah
meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Pada waktu terjadi konflik beragama di Ambon, Maluku, kelompok Salafi
Yamani ini pernah mendirikan Forum Komunikasi Ahussunnah wal jama’ah (FKAWJ).
FKAWJ menaungi Laskar Jihad di Indonesia yang akan dikirim ke wilayah konflik
di Ambon dan juga di Poso, Sulawesi.
Laskar Jihad yang dipanglimai oleh Ja’far Umar Thalib dipulangkan setelah
pembubaran FKWJ. Pembubaran yang dimaksud oleh munculnya fatwa-fatwa syaikh
Salafi di Arab Saudi menyusul berbagai penyimpangan yang terjadi dalam laskar
Jihad dan pada diri Ja’far Umar Thalib. Sejak itu, Ja’far Umar Thalib memusuhi
kelompok Salafi Yamani dan membelot dari mereka.
Kelompok Salafi Yamani sendiri, setelah pembubaran FKAWJ, mengembalikan
selu- ruh aktifitas mereka di sejumlah pesantren dan masjid di berbagai daerah
di Indonesia. Berbeda dari sebelum
pembubaran itu, mereka sekarang berkembang ke hampir tiap propinsi di
Indonesia. Di kota-kota besar Indonesia, dakwah mereka dapat kita temui dengan
mudah.
(Ditulis oleh : Rimbun Natamarga, Sumber : Kompasiana)
Bahwa bahaya penyebaran paham
formalisasi agama dan pemaksaan ideologi ini semakin merebak
karena didukung dengan sumber dana yang kuat serta penyusupan yang sudah
terencana. Usaha-usaha penyusupan secara financial ini banyak dilakukan kepada
orang-orang “terkemuka“ yang di duga bisa “di beli“. Apalagi jika orang
tersebut adalah salah satu pejabat negara, atau bahkan seseorang yang seperti “ulama“
yang memang tergoda ingin menikmati dana tersebut karena tergiur dengan
jumlahnya yang cukup fantastis hingga rela
menjadi saluran penyebaran ideologi (sesat dan menyesatkan) ini. Dan inilah salah satu penyebab utama perubahan ideologi dan politik di
Indonesia masa sekarang. Inilah bentuk intervensi mereka terhadap bangsa muslim
Indonesia yang oportunis dan korup, ulama kem- baran “barshisha“ dan kebodohan
muslim Indonesia, sehingga orang-orang seperti ini ada ---yang sadar dan tidak
sadar telah membiarkan begitu saja terlaksananya agenda
terselubung yang merupakan benih bahaya laten bagi bangsa
dan negara Republik Indonesia.
Arus dana ini tidak hanya membiayai gerakan terorisme, tetapi juga
penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi global yang nyaris luput dari
perhatian publik. Padahal dari sinilah fenomena infiltrasi paham garis keras
memperoleh kesempatan, dukungan dan doro- ngan yang luar biasa kuat sehingga
menjadi bisnis yang menguntungkan bagi “agen”-nya.
Gerakan transnasional wahabi memanfaatkan kesempatan ini di Indonesia dan
menyusup kesemua bidang kehidupan bangsa. Mereka berusaha mengubah wajah Islam
Indonesia yang santun dan toleran agar seperti wajah mereka yang sombong,
garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak untuk menguasai. Kekerasan
ini bisa lihat dalam beberapa aspek seperti, kekerasan doktrinal, tradisi,
budaya, dan sosiologi. Ancaman terhadap Indonesia, khususnya Islam sunnah wal
jama’ah, tidak datang dalam bentuk militer, namun dalam bentuk gerakan ideologi
garis keras.
Petrodolar wahabi yang sangat pesat jumlahnya masuk ke Indonesia,
dilakukan dengan cara menjual agama, mengabdi pada tujuan wahabi yang
sebenarnya : memaksakan ideologi, mendirikan negara khilafah dan menguasai
pemerintah beserta seluruh sumber daya alamnya.
Jika kemudian di Indonesia ini ada lagi beberapa kelompok yang datang
dengan nama yang berbeda, kelompok-kelompok ini sebenarnya masih satu “gen“
dengan yang pertama : wahabi sebagai founding father-nya. Bagi
kelompok-kelompok tersebut, pergerakan diawali karena persamaan pandangan
ideologis, bukan berarti tidak memiliki perbedaan. Untuk saat ini mereka masih
bisa bersatu karena merasa menghadapi musuh yang sama, yaiu : umat Islam moderat yang menolak formalisasi agama dan lebih
menekankan nilai spiritualitas dan keberagaman substantif.
Diyakini kelak, jika kelompok-kelompok ini telah berhasil berkuasa,
mereka akan bertikai di antara mereka sendiri untuk merebut kekuasaan yang
mutlak, karena masing-masing dari mereka tidak akan lepas dari rasa berhak atas
“kebenaran dan kekuasaan“ tersebut. Bukti kongkrit gejala seperti ini sudah
terlihat dalam internal kelompok mereka sendiri sehingga saat ini dari satu
kelompok terpecah lagi dalam beberapa kelompok. Tidak heran jika sebenarnya
mereka hanya memperebutkan posisi siapa “yang benar“ dan “yang berhak“ terhadap
politik dan kekuasaan dengan agama sebagai tumpangannya.
Stephen Sulaiman Schwartz dengan jelas dan meyakinkan, memaparkan aliran
dana wahabi dalam usaha-usaha wahasisasi global dan aksi-aksi terorisme
internasional yang dilakukan atas nama agama tersebut. Dalam konflik Bosnia,
misalnya dengan dalih membela muslim Bosnia dari ethnic cleansing, wahabi
mengambil kesempatan untuk ikut menyebar --kan ideologinya dengan membangun
infrastruktur pendidikan dan peribadatan hanya sebagai camuflage penyebaran
ideologi mereka. ) Stephen Sulaiman Schwatz, “ The Two
Face of Islam : Saud Fundamentalism and Its Role in Terorism (2002)).
Maka sejak 30 tahun yang lalu penguasa Saudi wahabi telah membelanjakan
uang yang mungkin sudah lebih dari USD 90 milyar yang disalurkan melalui Rabithat
al-Alam al-Silami, International Islamic Relief Organitation (IIRO), dan
yayasan-yayasan lain keseluruh dunia untuk membela diri dan memperbaiki citra
mereka melalui wahabisasi global. Di Indonesia, Rabithat
al-Alam al-Islami dan IIRO menyalurkan dananya di antaranya melalui Dewan
Dakwah Indonesia (DDII), LIPIA, MMI, Kompak, dan lain-lain.
Pemerintah Saudi sendiri mengakui bahwa hingga tahun 2003 sudah
membelanjakan uang sekitar US$ 70 M (untuk dana terorisme di seluruh dunia
termasuk Indonesia baca dalam “ How Billion in Oil Money Spawned a Flobal
Terror Network “ dalam US News & World Report, 15 Desember 2003)
Karateristik pemikiran wahabi (Khawarij) adalah memiliki sikap yang
keras, mudah menuduh bid’ah, kafir, tidak toleran, kaku, pemahaman yang
sempit/literal terhadap teks suci. Mereka sangat mengecam kaum muslimin yang
melakukan ajaran tasawuf (doa dengan perantara), merayakan maulid Nabi Saw,
tahlilan (doa arwah), tabaruk dll.
Merebaknya virus wahabi (Khawarij) di Indonesia, sangat berdampak negatif
terha- dap stabilitas negara. Di Indonesia mereka tidak memakai nama wahabi,
akan tetapi salafi. Kita pun menyaksikan menjamurnya kelompok-kelompok radikal
ekstrem. Keberadaan mereka mencabik-cabik kebhinekaan bangsa kita.
Ideologi bangsa kita tinggal namanya saja. Sila ketuhanan
yang menjadi pondasi bangsa kita telah digerogoti oleh mereka, sehingga setiap
orang yang dirasuki virus tersebut akan mengalami misiorentasi dari nilai-nilai
Pancasila. Mereka tidak lagi beradab, mengikis persatuan bangsa,
ketidakmufakatan dalam musyawarah dan kesalahan perwakilan. Sehingga
menimbulkan ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lalu dimanakah pemerintah kita ? Bukankah kita memiliki BIN (Badan Intelijen
Negara) ? Apakah BIN sudah mandul, sehingga tidak dapat mereproduksi lagi ?
Atau aparat kita juga telah mereka tunggangi juga. Tantangan ini tidaklah hanya
untuk pemerintah, tapi seluruh rakyat Indonesia. Merupakan suatu keniscayaan
bagi kita untuk mendakwahkan Islam yang toleran dan ramah lingkungan. Dan
melakukan rasionalitas agama dalam upaya mendewasakan spirituallitas bangsa.
Arab Saudi rela mendanai ribuan mahasiswa lokal dan internasional secara
cuma-cuma tentunya dengan tujuan khusus : dalam rangka menyebarkan misi Wahabi
(Khawarij) ke seluruh dunia.
Gerakan Wahabi berkembang ke luar Arab Saudi karena dibawa oleh para
sarjana lulusan sejumlah perguruan tinggi di Arab Saudi atau Universitas di
luar Arab Saudi yang mendapat bentuan financial dan/atau tenaga pengajar dari
Arab Saudi seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab) yang
merupakan cabang dari Universitas Muhammad ibn Su’ud yang berada di Riyadh Arab
Saudi.
Seluruh biaya operasional perguruan tinggi negeri Arab Saudi dan di luar
Arab Saudi yang berfiliasi ke Universitas negara petrodollar ini di subsidi 100
% oleh negara. Dan 100% mahasiswanya mendapat beasiswa. Oleh karena itu, tidak
heran kalau banyak pemuda Indonesia yang bermimpi untuk dapat kuliah di salah
satu perguruan tinggi Arab Saudi. Selain gratis, mendapat beasiswa penuh juga
mendapat tiket pulang gratis setiap tahun. Kalau tidak dapat kuliah di Arab
Saudi, minimal dapat belajar di LIPIA Jakarta yang juga mem- berikan beasiswa
penuh. Bahkan, tidak jarang ada mahasiswa UIN Syahid yang juga kuliah di LIPIA
hanya untuk mendapatkan beasiswa.
Arab Saudi rela mendanai ribuan mahasiswa lokal dan internasional secara
cuma-cuma tentunya dengan tujuan khusus : dalam rangka menyebarkan misi Wahabi
(Khawarij) ke seluruh dunia. Umumnya, sarjana lulusan universitas Arab Saudi
sudah terkena “cuci otak “. Indikasi paling mudah adalah kecaman mereka
terhadap tahlil, peringatan maulid Nabi Saw, ziarah kubur dan semacamnya.
Bantuan financial tidak hanya sampai di sini. Ketika para sarjana itu
pulang ke negara masing-masing, mereka masih akan tetap dapat kucuran dana dari
kerajaan melalui berbagai lembaga atau organisasi binaan negara, seperti
Rabitha Alam Islamy, WAMY (World Associatin of Muslim Youth), dan lain-lain.
Bantuan financial diberikan khususnya pada alumnus atau non alumni perguruan
tinggi kerajaan Arab Saudi yang mendirikan lembaga pendidikan seperti sekolah
atau pesantren dan membangun mesjid.
Gencarnya aliran dana dan bantuan financial untuk lembaga-lembaga
pendidikan dan mesjid itu menjadi faktor utama mengapa gerakan paham Wahabi
(Khawarij) berkembang cukup pesat di Indonesia Dan itu juga menjadi kunci
jawaban mengapa kalangan aktivis Wahabi (Khawarij) begitu bersemangat untuk
menyebarkan ideologi Khawarij-nya ke mana-mana. Yaitu, karena setiap ajuan
proposal selalu diterima, dan mereka mendapatkan kele- bihan uang dari setiap
proposalnya. Jadi, tujuannya adalah mencari kekayaan materi, dan menjadikan
dirinya sebagai budak dunia dan hawa nafsu.
makanya bilang dong ke KHMA cawapresnya JKW untuk memperjuangkan ASwaja, penutupoan LIPIA terutama, LIPIA ini kan corong pengkaderan ustad wahabi, JKW tenang2 aja tuh, ente aja sama para orang sok tahu yang sibuk
ReplyDelete