Thursday 14 May 2015

Peta Wahabi di Indonesia


Kantor berita Shabesta memberikan kata pengantar untuk buku Terorisme : Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Kompas 2009) tulisan A.M. Hendropiyono, Zuhairi Misrawi seorang anggota Nahdlatul Ulama yang menjadi ketua Moderat Muslim Society, mengetengahkan sebuah peta tentang Wahabi di Indonesia. Peta yang dimaksud itu adalah hasil pemetaan sikap atas dakwah Muhammad Abdil bin Wahhab di Indonesia.
Dan memang, dalam merespon dakwah tersebut, orang-orang di Indonesia terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing mereka memiliki ciri khas yang membedakan dengan yang lain.
Kelompok pertama, adalah orang-orang yang menerima dakwah Ibnu Abdil Wahhab, namun melakukan usaha modifikasi, baik sedikit, separuhnya, atau sebagian besarnya. Di antara mereka, bahkan ada pula yang hanya mengambil ruh semangatnya tanpa perlu konsis- ten dalam menerapkan pesan dakwah tersebut.
Kelompok kedua, adalah orang-orang yang merespon positif dakwah tersebut dan menerima secara bulat tanpa usaha memodifikasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha untuk menyebarkannya di lingkungan-lingkungan mereka.
Kelompok ketiga, adalah orang-orang yang menolak mentah-mentah dakwah tersebut. Bagi mereka, dakwah yang diserukan oleh Ibnu Abdil Wahhab itu tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang sudah memiliki tradisi keislaman tersendiri dari dulu. Dakwah tersebut tidak cocok karena itu mereka menolak secara mutlak.
Dua kelompok pertama, di tengah masyarakat kita kerap disebut sebagai orang-orang Wahabi. Terlepas dari mereka suka atau tidak penamaan tersebut, media-media dan sejumlah pengamat dari luar atau dalam negeri tetap mena- mai mereka dengan sebutan itu. Karena itu, tiap kali media mengangkat atau menyinggung kelompok Wahabi dalam pemberitaan, selalu yang dimaksud adalah salah satu kelompok dalam dua kelompok tersebut.
Kelompok pertama : Neo-Wahabi
Ciri utama mereka adalah modifikasi pesan dakwah Ibnu Abdil Wahhab. Nur Khalik Ridwan mengidentifikasikan kelompok kini dalam trilogi karyanya tentang gerakan Wahabi. Dalam buku pertama, Doktrin Wahabi dan Benih-Benih Radikalisme Islam (Tanah Air, 2009)ia menyinggung keberadaan kelompok ini sebagai kelompok yang terpengaruh baik sebagian atau lebih, namun tidak semua oleh ajaran-ajaran Ibnu Abdil Wahhab. Olehnya, kelompok yang seperti ini disebut sebagai neo-Wahabi.
Menurut Ridwan, organisasi masyarakat pertama di Indonesia yang masuk dalam kategori neo-Wahabi adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Kedua organisasi ini bertahan sebagai kelompok neo-Wahabi sampai muncul gelombang baru neo-Wahabi pada tahun 1980-an.
Kelompok-kelompok neo-Wahabi yang baru mulai bermunculan sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an sebagai buah program-program yang dilakukan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) yang dimulai pada dekade 1979-an. Kemunculan mereka bermula dari ketidakpuasan mereka terhadap keberadaan Muhammadiyah dan Persis yang kurang konsisten terhadap al-Quran dan as-Sunnah.
Di antara kelompok baru neo-Wahabi yang dimaksud adalah kelompok Tarbiyah yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). PKS memiliki hubungan ideologis dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, sedangkan HTI memiliki hubungan historis dengan Ikhwanul Muslimin. Baik PKS atau pun HTI, masing-masing menempuh jalur politik untuk mencapai tujuan mereka. Cita-cita mereka adalah memformulasikan syariat Islam di dalam negara (ala Wahabi).
Termasuk yang disinggung oleh Nur Khalik Ridwan sebagai kelompok neo-Wahabi adalah kelompok yang sering disebut sebagai Salafi Jihadi. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta murid-murid mereka berdua.
Dikenal sebagai orang-orang yang menyempal dari kelompok Negara Islam Indonesia (NII), dua orang itu menghindari tekanan pemerintah Indonesia dengan cara kabur ke Malaysia pada pertengahan 1980-an. Di Johor Baru, mereka kemudian membangun basis dakwah baru. Usaha mereka ini ternyata berkembang seiring dengan pecahnya Perang Afganistan. Pesantren mereka di Johor Baru menjadi tempat transit bagi calon-calon relawan untuk perang Afganistan dari Pesantren al-Mukmin, Ngukri Sukoharjo dan sejumlah kader NII. Tidak hanya itu, sejumlah relawan untuk perang di Afganistan yang berasal dari Indonesia dan Malaysia ikut dalam usaha pengiriman itu. Dari arena perang di Afganistan itulah, muncul orang-orang yang kelak akan dikenal lewat sebutan alumni Afganistan.
Ternyata tidak semua alumni Afganistan bergabung dalam lingkungan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Sebagian kecil mereka, kembali membaur dalam masyarakat. Di antara mereka yang sedikit ini, terdapat sejumlah yang menolak dengan tegas cara-cara berdakwah gaya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Menurut mereka, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir adalah orang-orang Khawarij tulen yang mengkafirkan orang-orang di luar mereka termasuk pemerintah Indonesia dan menyebarkan kebencian terhadap pihak penguasa Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan aksi-aksi terorisme di Indonesia 13 tahun belakangan ini berasal dari lingkaran Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta alumni-alumni Afganistan yang bergabung dengan mereka. Kurang dari 20 tahun,. Lingkaran itu telah merekrut anggota-anggota baru dan menebar teror di tengah masyarakat kita.
Kelompok kedua, Wahabi tulen
Meski secara sepintas tidak termasuk ke dalam kelompok neo-Wahabi, Nur Khalik Ridwan dengan jeli memasukkan kelompok-kelompok yang merujuk kepada yayasan al-Murtadha di London dan Jam’iyyah Ihya at-Turats al-Islamiyyah di Kuwait ke dalam kelompok baru neo-Wahabi.
Yayasan al-Murtadha di London didirikan oleh Muhammad bin Surur bin Nayef Zainal Abidin. Ia pernah tinggal di Arab Saudi. Semula ia adalah seorang anggota Ikhawanul Muslimin, lalu keluar  dan mengaku sebagai Salafi. Ia , oleh Nur Khalik Ridwan disebut sebagai sempalan Ikhwanul Muslimin. Yayasan ini memiliki cabang di Indonesia. Cabang di Jakarta bernama yayasan as-Shafwah yang dipimpin oleh Abu Bakar M. Altway. Cabang yang lain adalah yayasan al-Haramain.
Yayasan al-Haramain sendiri memiliki dai-dai yang tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia. Di antara mereka yang terkenal adalah Abdul Hakim Abdat di Jakarta, Yazid bin Abdil Qadir Jawwas di Bogor, Ainul Harits di Jawa Timur dan Abu Haidar di Bandung.
Seperti yayasan al-Muntada, Jam’iyyah Ihya at-Turats al-Islamiyyah di Kuwait didiri- kan oleh Abdurrahman Abdul Khaliq. Ia, sebagaimana dikatakan Nur Khalik Ridwan, adalah seorang sempalan Ikhwanul Muslimin juga.
Di Indonesia, Jam’iyyah Ihya at-Turats al-Islamiyyah juga memiliki cabang. Mereka mendirikan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa, seperti Ma’had Jamilurrahman dan Islamic Centre bin Baaz di Yogyakarta, Ma’had al-Furqan di Gresik dan Ma’had Imam Bukhari di Solo.
Mereka yang dimaksud mengaku diri sebagai Salafi dan mendakwahkan mazhab salafiyah. Dilihat dengan mata telanjang, penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan komunitas Salafi di Indonesia. Meski demikian, di tengah komunitas Salafi, orang-orang yang berafiliasi dengan dua Yayasan di London dan Kuwait itu serta orang-orang yang berada dalam lingkaran dai dan lembaga pendidikan mereka di seluruh Indonesia disebut dengan Sururi.
Lantas, siapa yang dimaksud dengan Wahabi tulen di Indonesia ? Dengan mengutip Abu Abdirrahman ath-Thalibi yang menulis Dakwah Salaf Dakwah Bijak, kelompok yang diidentifikasikan Nur Khalik Ridwan sebagai kelompok Wahabi tulen di Indonesia adalah mereka yang disebut dengan Salafi Yamani.
Dikatakan Salafi Yamani, karena mereka merujuk kepada syaikh-syaikh Salafi yang ada di Yaman dan di Timur tengah. Salah seorang syaikh mereka yang terkenal di Yaman adalah Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. Syaikh yang dimaksud memimpin Ma’had Darul Hadits di daerah Dammaj, Sha’dah, Yaman. Banyak dai-dai salafi Yamani yang belajar di Ma’had Darul Hadits sampai hari ini, meskipun syaikh yang bersangkutan telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Pada waktu terjadi konflik beragama di Ambon, Maluku, kelompok Salafi Yamani ini pernah mendirikan Forum Komunikasi Ahussunnah wal jama’ah (FKAWJ). FKAWJ menaungi Laskar Jihad di Indonesia yang akan dikirim ke wilayah konflik di Ambon dan juga di Poso, Sulawesi.
Laskar Jihad yang dipanglimai oleh Ja’far Umar Thalib dipulangkan setelah pembubaran FKWJ. Pembubaran yang dimaksud oleh munculnya fatwa-fatwa syaikh Salafi di Arab Saudi menyusul berbagai penyimpangan yang terjadi dalam laskar Jihad dan pada diri Ja’far Umar Thalib. Sejak itu, Ja’far Umar Thalib memusuhi kelompok Salafi Yamani dan membelot dari mereka.
Kelompok Salafi Yamani sendiri, setelah pembubaran FKAWJ, mengembalikan selu- ruh aktifitas mereka di sejumlah pesantren dan masjid di berbagai daerah di Indonesia. Berbeda dari sebelum pembubaran itu, mereka sekarang berkembang ke hampir tiap propinsi di Indonesia. Di kota-kota besar Indonesia, dakwah mereka dapat kita temui dengan mudah.
(Ditulis oleh : Rimbun Natamarga, Sumber : Kompasiana)
Bahwa bahaya penyebaran paham formalisasi agama dan pemaksaan ideologi ini semakin merebak karena didukung dengan sumber dana yang kuat serta penyusupan yang sudah terencana. Usaha-usaha penyusupan secara financial ini banyak dilakukan kepada orang-orang “terkemuka“ yang di duga bisa “di beli“. Apalagi jika orang tersebut adalah salah satu pejabat negara, atau bahkan seseorang yang seperti “ulama“ yang memang tergoda ingin menikmati dana tersebut karena tergiur dengan jumlahnya yang cukup fantastis hingga rela menjadi saluran penyebaran ideologi (sesat dan menyesatkan) ini. Dan inilah salah satu penyebab utama perubahan ideologi dan politik di Indonesia masa sekarang. Inilah bentuk intervensi mereka terhadap bangsa muslim Indonesia yang oportunis dan korup, ulama kem- baran “barshisha“ dan kebodohan muslim Indonesia, sehingga orang-orang seperti ini ada ---yang sadar dan tidak sadar telah membiarkan begitu saja terlaksananya agenda terselubung yang merupakan benih bahaya laten bagi bangsa dan negara Republik Indonesia.
Arus dana ini tidak hanya membiayai gerakan terorisme, tetapi juga penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi global yang nyaris luput dari perhatian publik. Padahal dari sinilah fenomena infiltrasi paham garis keras memperoleh kesempatan, dukungan dan doro- ngan yang luar biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan bagi “agen”-nya.
Gerakan transnasional wahabi memanfaatkan kesempatan ini di Indonesia dan menyusup kesemua bidang kehidupan bangsa. Mereka berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang santun dan toleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak untuk menguasai. Kekerasan ini bisa lihat dalam beberapa aspek seperti, kekerasan doktrinal, tradisi, budaya, dan sosiologi. Ancaman terhadap Indonesia, khususnya Islam sunnah wal jama’ah, tidak datang dalam bentuk militer, namun dalam bentuk gerakan ideologi garis keras.
Petrodolar wahabi yang sangat pesat jumlahnya masuk ke Indonesia, dilakukan dengan cara menjual agama, mengabdi pada tujuan wahabi yang sebenarnya : memaksakan ideologi, mendirikan negara khilafah dan menguasai pemerintah beserta seluruh sumber daya alamnya.
Jika kemudian di Indonesia ini ada lagi beberapa kelompok yang datang dengan nama yang berbeda, kelompok-kelompok ini sebenarnya masih satu “gen“ dengan yang pertama : wahabi sebagai founding father-nya. Bagi kelompok-kelompok tersebut, pergerakan diawali karena persamaan pandangan ideologis, bukan berarti tidak memiliki perbedaan. Untuk saat ini mereka masih bisa bersatu karena merasa menghadapi musuh yang sama, yaiu : umat Islam moderat yang menolak formalisasi agama dan lebih menekankan nilai spiritualitas dan keberagaman substantif.
Diyakini kelak, jika kelompok-kelompok ini telah berhasil berkuasa, mereka akan bertikai di antara mereka sendiri untuk merebut kekuasaan yang mutlak, karena masing-masing dari mereka tidak akan lepas dari rasa berhak atas “kebenaran dan kekuasaan“ tersebut. Bukti kongkrit gejala seperti ini sudah terlihat dalam internal kelompok mereka sendiri sehingga saat ini dari satu kelompok terpecah lagi dalam beberapa kelompok. Tidak heran jika sebenarnya mereka hanya memperebutkan posisi siapa “yang benar“ dan “yang berhak“ terhadap politik dan kekuasaan dengan agama sebagai tumpangannya.
Stephen Sulaiman Schwartz dengan jelas dan meyakinkan, memaparkan aliran dana wahabi dalam usaha-usaha wahasisasi global dan aksi-aksi terorisme internasional yang dilakukan atas nama agama tersebut. Dalam konflik Bosnia, misalnya dengan dalih membela muslim Bosnia dari ethnic cleansing, wahabi mengambil kesempatan untuk ikut menyebar --kan ideologinya dengan membangun infrastruktur pendidikan dan peribadatan hanya sebagai camuflage penyebaran ideologi mereka. ) Stephen Sulaiman Schwatz, “ The Two Face of Islam : Saud Fundamentalism and Its Role in Terorism (2002)).
Maka sejak 30 tahun yang lalu penguasa Saudi wahabi telah membelanjakan uang yang mungkin sudah lebih dari USD 90 milyar yang disalurkan melalui Rabithat al-Alam al-Silami, International Islamic Relief Organitation (IIRO), dan yayasan-yayasan lain keseluruh dunia untuk membela diri dan memperbaiki citra mereka melalui wahabisasi global. Di Indonesia, Rabithat al-Alam al-Islami dan IIRO menyalurkan dananya di antaranya melalui Dewan Dakwah Indonesia (DDII), LIPIA, MMI, Kompak, dan lain-lain.
Pemerintah Saudi sendiri mengakui bahwa hingga tahun 2003 sudah membelanjakan uang sekitar US$ 70 M (untuk dana terorisme di seluruh dunia termasuk Indonesia baca dalam “ How Billion in Oil Money Spawned a Flobal Terror Network “ dalam US News & World Report, 15 Desember 2003)
Karateristik pemikiran wahabi (Khawarij) adalah memiliki sikap yang keras, mudah menuduh bid’ah, kafir, tidak toleran, kaku, pemahaman yang sempit/literal terhadap teks suci. Mereka sangat mengecam kaum muslimin yang melakukan ajaran tasawuf (doa dengan perantara), merayakan maulid Nabi Saw, tahlilan (doa arwah), tabaruk dll.
Merebaknya virus wahabi (Khawarij) di Indonesia, sangat berdampak negatif terha- dap stabilitas negara. Di Indonesia mereka tidak memakai nama wahabi, akan tetapi salafi. Kita pun menyaksikan menjamurnya kelompok-kelompok radikal ekstrem. Keberadaan mereka mencabik-cabik kebhinekaan bangsa kita.
Ideologi bangsa kita tinggal namanya saja. Sila ketuhanan yang menjadi pondasi bangsa kita telah digerogoti oleh mereka, sehingga setiap orang yang dirasuki virus tersebut akan mengalami misiorentasi dari nilai-nilai Pancasila. Mereka tidak lagi beradab, mengikis persatuan bangsa, ketidakmufakatan dalam musyawarah dan kesalahan perwakilan. Sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lalu dimanakah pemerintah kita ? Bukankah kita memiliki BIN (Badan Intelijen Negara) ? Apakah BIN sudah mandul, sehingga tidak dapat mereproduksi lagi ? Atau aparat kita juga telah mereka tunggangi juga. Tantangan ini tidaklah hanya untuk pemerintah, tapi seluruh rakyat Indonesia. Merupakan suatu keniscayaan bagi kita untuk mendakwahkan Islam yang toleran dan ramah lingkungan. Dan melakukan rasionalitas agama dalam upaya mendewasakan spirituallitas bangsa.
Arab Saudi rela mendanai ribuan mahasiswa lokal dan internasional secara cuma-cuma tentunya dengan tujuan khusus : dalam rangka menyebarkan misi Wahabi (Khawarij) ke seluruh dunia.
Gerakan Wahabi berkembang ke luar Arab Saudi karena dibawa oleh para sarjana lulusan sejumlah perguruan tinggi di Arab Saudi atau Universitas di luar Arab Saudi yang mendapat bentuan financial dan/atau tenaga pengajar dari Arab Saudi seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab) yang merupakan cabang dari Universitas Muhammad ibn Su’ud yang berada di Riyadh Arab Saudi.
Seluruh biaya operasional perguruan tinggi negeri Arab Saudi dan di luar Arab Saudi yang berfiliasi ke Universitas negara petrodollar ini di subsidi 100 % oleh negara. Dan 100% mahasiswanya mendapat beasiswa. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak pemuda Indonesia yang bermimpi untuk dapat kuliah di salah satu perguruan tinggi Arab Saudi. Selain gratis, mendapat beasiswa penuh juga mendapat tiket pulang gratis setiap tahun. Kalau tidak dapat kuliah di Arab Saudi, minimal dapat belajar di LIPIA Jakarta yang juga mem- berikan beasiswa penuh. Bahkan, tidak jarang ada mahasiswa UIN Syahid yang juga kuliah di LIPIA hanya untuk mendapatkan beasiswa.
Arab Saudi rela mendanai ribuan mahasiswa lokal dan internasional secara cuma-cuma tentunya dengan tujuan khusus : dalam rangka menyebarkan misi Wahabi (Khawarij) ke seluruh dunia. Umumnya, sarjana lulusan universitas Arab Saudi sudah terkena “cuci otak “. Indikasi paling mudah adalah kecaman mereka terhadap tahlil, peringatan maulid Nabi Saw, ziarah kubur dan semacamnya.
Bantuan financial tidak hanya sampai di sini. Ketika para sarjana itu pulang ke negara masing-masing, mereka masih akan tetap dapat kucuran dana dari kerajaan melalui berbagai lembaga atau organisasi binaan negara, seperti Rabitha Alam Islamy, WAMY (World Associatin of Muslim Youth), dan lain-lain. Bantuan financial diberikan khususnya pada alumnus atau non alumni perguruan tinggi kerajaan Arab Saudi yang mendirikan lembaga pendidikan seperti sekolah atau pesantren dan membangun mesjid.
Gencarnya aliran dana dan bantuan financial untuk lembaga-lembaga pendidikan dan mesjid itu menjadi faktor utama mengapa gerakan paham Wahabi (Khawarij) berkembang cukup pesat di Indonesia Dan itu juga menjadi kunci jawaban mengapa kalangan aktivis Wahabi (Khawarij) begitu bersemangat untuk menyebarkan ideologi Khawarij-nya ke mana-mana. Yaitu, karena setiap ajuan proposal selalu diterima, dan mereka mendapatkan kele- bihan uang dari setiap proposalnya. Jadi, tujuannya adalah mencari kekayaan materi, dan menjadikan dirinya sebagai budak dunia dan hawa nafsu.

1 comment:

  1. makanya bilang dong ke KHMA cawapresnya JKW untuk memperjuangkan ASwaja, penutupoan LIPIA terutama, LIPIA ini kan corong pengkaderan ustad wahabi, JKW tenang2 aja tuh, ente aja sama para orang sok tahu yang sibuk

    ReplyDelete