APA SUNNAH ITU ?
Assalamualaikum Wr.Wb.
Sudah barangtentu menghidupkan sunnah tidak dapat diambil dari seorang
mujtahid atau seorang ahli ilmu saja. Penafsiran sunnah sangat luas dan sudah
saya terangkan dalam buku saya lainnya yang berjudul “ Fiqih Ikhtilaf “.
Dan bila saya terangkan secara lengkap
di sini bukanlah tempatnya. Tetapi setidaknya harus saya selipkan hal tersebut
dalam pembaha- san ini sbb :
“ Ilmu Fiqih hanya membahas masalah-masalah hukum praktis berkenaan
dengan hak dan kewajiban manusia, baik terhadap Allah, terhadap dirinya, dan
terhadap masyarakat. Adakalanya dalam memberikan hukum-hukum praktis ini
disimpulkan dengan mengguna- kan dalil-dalil yang sangat kuat (qath’i) dan
bisa pula disimpulkan
melalui dalil-dalil-zhanni (sangkaan yang kuat) melalui hasil
ijtihad seorang imam mujtahid. Dalam meng- hasilkan sebuah produk hukum fiqih
yang diambil dari dalil-dalil syara’ yang terperinci (al-adillah
at-tafshilliyyah) yang bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ ,
ijtihad, Qi- yas, al-Maslahah al-Mursalah dll.
Syariah Islam begitu dalam dan luas, karena ia merupakan kumpulan hukum
yang ditetapkan Allah untuk mengatur kebahagiaan dan kemaslahatan
hamba-hamba-Nya. Keber- adaan ilmu dan hukum fikih adalah untuk kemaslahatan di
dunia dan di akhirat, sehingga urusan keagamaan dan juga kenegaraan semuanya
diatur oleh hukum fikih. Atau dengan kata lain, ilmu fikih adalah ilmu
yang diciptakan bagi manusia dan jin untuk mendapatkan kebahagiaan
dan kekekalan yang abadi di akhirat
dengan mendapatkan berbagai kemudahan dan keuntungan yang tersaji di dalamnya.
Hukum-hukum fiqih terkait sangat erat dengan masalah akidah dan akhlak,
sehingga siapa pun yang mengamalkannya secara baik dan benar, maka dia akan
mendapatkan keha- ngatan dalam hidup, mendapatkan kemudahan dan kebahagiaan,
sehingga kestabilan dalam kehidupan akan terwujud. Selain itu, jika ilmu fiqih
diterapkan dan dipraktikan secara menyeluruh, maka kehidupan manusia akan rapi
, teratur, penuh kedisplinan, harmonis dan damai.
Syari’ah merupakan wahyu Ilahi yang mengandung pahala dan siksa. Selain
itu juga merupakan sebuah sistem kerohanian dan peradaban sekaligus. Karena ia
didatangkan untuk menciptakan kebaikan di dunia dan di akhirat, begitu juga
menciptakan kebaikan untuk agama dan dunianya. Sedangkan perbedaan ilmu fiqih
dengan undang-undang hasil ciptaan manusia adalah, hukum fikih terpengaruh
cukup dalam dengan prinsip-prinsip akhlak (ilmutasawuf). Sedangkan
undang-undang ciptaan manusia hanyalah mengekalkan aturan dan ketentraman
masyarakat, walau pun terkadang harus mengorbankan sebagian prinsip yang
terkandung dalam ilmu fiqih itu sendiri. Hukum yang diciptakan manusia sering
kali tak berakhlak, dan rela mengorbankan perasaan dan kemaslahatan masyarakat
secara umum, itulah hukum ciptaan manusia.
Ilmu fiqih selalu menekankan kepada keluhuran budi pekerti, kesantunan,
idealisme yang hangat, selalu menjadi jembatan antara setiap permasalahan yang
timbul dalam ber- masyarakat, dan selalu memberikan kemudahan-kemudahan selama
jalan untuk itu memang ada dan terbuka serta tidak merusak bangunan syari’at
itu sendiri.
Tujuan ilmu fikih adalah untuk menciptakan kebaikan bagi manusia yang
hakiki, pada saat ini, ketika mati, dan masa yang akan datang (akhirat). Apabila ketiga hal ini tidak tercapai, maka manusialah yang menjadi
penyebab utamanya, bukan ilmu fikih itu sendiri. Tujuan pelaksaan ilmu fiqih ialah untuk
memberikan kemanfaatan yang besar dan sempurna, baik pada tataran individu atau
pun pada tataran masyarakat, pada level terendah sampai pada level tertinggi
tanpa memandang kasta dan jabatan.
Ilmu fiqih merupakan tuntunan bagi setiap orang yang mukallaf,
bukan hanya seke- dar tontonan, sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Ketika
ilmu fiqih mulai dibumbui dengan hiburan, maka ilmu fiqih itu berubah menjadi “
ilmu fiqih hiburan “. Sedangkan ilmu fiqih itu sendiri tidak diciptakan
untuk menghibur manusia yang tidak paham terhadap ilmu fiqih itu sendiri. Sungguh
memilukan melihat ilmu fiqih yang agung ini, dipermainkan oleh orang-orang yang
menganggap dirinya sebagai orang yang paham terhadap ilmu fiqih itu sendiri.
Sungguh orang-orang seperti itu,
sebenarnya jauh lebih layak untuk dipenjara dari- pada pencuri dan perampok,
karena mereka telah mencuri dan merampok keaslian, kemurni- an dan keagungan
sebuah ilmu.
Ilmu fiqih itu sendiri kaya akan perbedaan pendapat dikalangan ahli
ilmu, bukan di- kalangan orang yang sedang belajar menimba ilmu. Karena
perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu akan mendatangkan rahmat, sedangkan
perbedaan pendapat di kalangan orang yang sedang belajar menimba dan menimbun
ilmu hanya akan mendatangkan kemudaratan dan perpecahan, apalagi mereka yang
belajarnya sekedar asal-asalan dan untuk memuaskan kepentingan hawa nafsunya
saja.
Di dalam perjalanannya, para ahli ilmu fiqih (imam Mazhab) memiliki
berbagai metode untuk menghasilkan sebuah produk hukum. Mengamalkan hasil
ijtihad mereka merupakan jalan yang paling aman, dan akan terhindar dari
kerusakan dan kesalahan yang fatal. Sedangkan untuk mendatangkan berbagai
kemaslahatan, syari’at memberikan beberapa kemudahan (rukhshakh) yang
paling ringan dengan mengambil pendapat imam Mazhab yang ada. Hal ini
dibenarkan selama rukhsakh itu tidak dipergunakan untuk bermain-main sehingga
merubuhkan keagungan dan keluhuran bangunan syari’at.
Terlebih
dalam masalah khilafiyah adalah masalah hukum yang tidak ada kata sepakat di dalamnya. Terkadang ketidaksepakatan ini hanya terdapat dalam
tataran atau dimensi ----yang sempit dan kecil, bahkan sering kali hanya karena
perbedaan penggunaan istilah. Tetapi tidak jarang pula perbedaan pendapat ini
terjadi pada tataran atau dimensi yang jauh lebih luas, yaitu antara hukum
halal dan haram. Sulit dipungkiri oleh kita bahwa masalah cabang agama kini
sudah menjadi masalah khilafiyah, baik dalam masalah ibadah mau pun dalam
bidang muamalah.
Jadi untuk memungkiri atau menghilangkan
fenomena khilafiyah atau perbedaan pendapat yang terdapat dalam setiap jengkal
ranah agama sepertinya sesuatu yang tidak mungkin. Biarkanlah perbedaan
pendapat itu mengalir seiring dengan waktu, yaitu melalui jalur yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sebenarnya masalah khilafiyah ini hanya milik para ulama
yang kompeten saja, karena hanya merekalah yang mempunyai otoritas dan
kekuasaan untuk mengambil dan menetapkan
suatu hukum yang
terdapat dalam nash syari’at.
Sedangkan bagi kita, sebagai kalangan awam hanya bisa mengikuti atau
menjadi muqallid dengan mengambil
pendapat mereka.
Ironis memang, orang-orang yang baru belajar
agama sudah berani mencaci maki para imam-imam mujtahid dan para khalifah,
hanya karena berbeda pendapat dengan gurunya, bahkan mereka tampak gagah dan
sangat berani dengan mengatakan dan menuduh manusia-manusia agung tersebut
dengan kata-kata “ Ahli bid’ah , perusak
syariat, pengkhianat wasiat Nabi Saw, dll “. Bahkan kalau kita bandingkan
ilmu dan akhlak gurunya dengan mereka para imam-imam mujtahid dan para khalifah
tersebut, sudah jelas tidak ada apa-apanya. Orang-orang seperti ini adalah para
muqallid (yang bertaqlid) yang bodoh, keras kepala serta tidak memiliki tata
krama, sopan santun, dan tidak tahu berterima kasih terhadap jasa mereka.
Harus diketahui dan dipahami, bahwa tidak
semua orang yang pernah belajar agama memiliki kapasitas untuk menarik
kesimpulan hukum, atau mengeluarkan hukum. Orang yang hanya belajar ilmu
tafsir hanya akan memiliki kemampuan
untuk mengetahui hal yang dipelajarinya saja, bukan berarti dia sudah bisa
menarik atau menentukan suatu hukum. Demikian pula dengan
orang yang belajar mempelajari
ilmu hadist, tentu orang tersebut pandai dalam menilai kesahihan suatu hadist,
tetapi kepiwaiannya tersebut bukan
dalam hal menentukan
hukum. Apalagi yang hanya belajar
asal-asalan saja mana mungkin akan mengetahui
dan sanggup untuk menentukan
suatu produk hukum yang terdapat di dalam nash syari’at.
Ilmu dan metodologi dalam menarik kesimpulan
atau untuk menghasilkan suatu hukum yang benar adalah suatu ilmu yang
dipelajari oleh mereka yang belajar secara khusus pada bidang syari’ah,
dan didukung oleh berbagai disiplin ilmu yang lainnya seperti, ilmu ushul
fiqh sebagai metodologi, ilmu mantiq sebagai logika, ilmu qawa’id fiq-
hiyah (kaidah-kaidah ilmu fiqh) sebagai penunjang. Selain itu mereka pun
dituntut untuk memahami ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu lughah Arabiyah
(bahasa Arab) dengan berbagai cabangnya, dan sudah menjadi kewajiban bagi
mereka untuk menelusuri semua dalil yang ada, kemudian ---
membangunnya menjadi sebuah hujjah dan menarik kesimpulan
hukumnya. Jadi pekerjaan seperti ini adalah sebuah pekerjaan yang berat dan
benar-benar membutuhkan potensi lain yang berada dalam diri manusianya, dalam
arti lain pekerjaan seperti ini hanya bisa dilaku- kan oleh segelintir
orang-orang yang dikhususkan oleh Allah Swt saja. Para sahabat, tabi’in dan imam mazhab saja sudah berbeda pendapat, lalu apakah mungkin umat setelahnya tidak
terimbas hukum yang sama ?
Islam sangat mencela perselisihan
yang mengakibatkan kepada perpecahan dan permusuhan. Itulah salah sebab yang
menyebabkan Islam selama ratusan tahun tidak dapat mengembalikan masa
kejayaannya. Musuh-musuh Islam sangat mengetahui bahwa umat Islam adalah umat
yang tradisional dan sangat patuh terhadap fatwa-fatwa ulamanya. Ulama- nya
berkata A, yaa semua akan bilang A. Dan hal seperti ini menjadikan sebagian akal-akal
cemerlang yang terdapat dalam setiap zaman menjadi terkungkung dan terpenjara
oleh adat istiadat yang tidak mendukung kemajuan Islam.
Sebagian besar manusia membangun
keimanannya dari sumber ini, keimanan yang mereka ambil apa adanya, tanpa mau
memaksimalkan potensi daya pikir dan olah rohaninya. Kepatuhan bercampur baur
dengan kekakuan. Bahkan bisa saja sebenarnya mereka sedang menjalankan
kebenaran yang terpotong-potong tanpa mengetahui potongan terakhirnya.
Perbedaan yang telah terjadi selama
ini, tidak bisa kita biarkan berkembang tanpa adanya filter dan pengawasan dari
para ulama yang kompeten dan berwenang. Dan sudah seharusnya pula, seorang yang
mengikuti ilmu para ulama tidak berdebat mengenai masalah-masalah yang dia
sendiri tidak mengusai dan memahaminya. Apabila argumentasinya di- kritik, dia balik
menyerang dengan melontarkan banyak pertanyaan yang dia sendiri tidak mampu
untuk menjawabnya. Inilah yang disebut muqallid bodoh dan keras
kepala oleh Imam al-Ghazali.
Fiqih sahabat memperoleh kedudukan
yang sangat penting dalam khazanah pemiki- ran Islam. Bagaimana tidak, karena
merekalah yang pertama-tama dikatakan sebagai ahli tafsir, ahli hadits, ahli,
fiqih, ahli qira’ah dan lain sebagainya. Karena jasa besar merekalah kita semua
sekarang mereguk kenikmatan risalah dan cahaya Islam.
Mereka pula yang menjadi tongkat estafet
kenabian kepada umat setelahnya sampai kita sekarang ini. Tak pelak lagi,
bahwa para sahabat merupakan embrio ilmu fiqih pertama. Ketika perbedaan terjadi
di kalangan mereka, mereka segera mengumpulkan sahabat yang pernah mengikuti
perang Badar, perang Uhud, Perang Khaibar dan selainnya. Mereka adalah orang-orang
yang menyaksikan turunnya wahyu, mendengar dengan jelas ketika lisan Sang
Ma’shum berbicara. Tetapi mereka begitu tawadhu ketika berbicara masalah
al-Quran dan As-Sunnah. Sangat berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Allah dan
rasul-Nya telah meridhai perjuangan yang mereka lakukan demi Islam. Tidak heran
banyak ayat di dalam al-Quran ---
dan ratusan bahkan ribuan hadits yang menceritakan
keutamaan dan perjuangan mereka. Membicarakan
perjalanan hidup seluruh sahabat bukan di
sini tempatnya, lagi pula telah banyak kitab-kitab yang menceritakan mereka.
Begitu pentingnya peran para sahabat dalam
peradaban Islam, sehingga mereka men- jadi rujukan yang harus di amalkan, dan
perilaku mereka menjadi sunnah yang harus diikuti. Perbedaan yang terjadi
ketika Nabi Saw masih ada disekitar mereka, bukan masalah yang berarti karena
semua selesai ketika hal tersebut diajukan kepada beliau. Tetapi ketika setelah
wafatnya beliau, dan masalah yang muncul semakin banyak, maka mau tidak mau
para khalifah dan para sahabat yang berkompeten di bidangnya akan berijtihad
untuk memberi- kan obat sekaligus penawarnya kepada masyarakat. Inilah yang
disebut dengan ijtihad. Hal ini merupakan wasiat agung yang senantisa akan
berjalan sampai hari kiamat.
Sedangkan
yang dimaksud hakim adalah seorang yang menguasai atau memahami persoalan
hukum. Bukan seseorang yang sedang belajar ilmu hukum. Seperti di dalam
peradilan, bisa kita lihat, bahwa di sana terdapat hakim ketua (mujtahid
mutlaq), hakim wakil ketua (mujtahid ghair mutlaq), jaksa ketua (mujtahid
mazhab), jaksa wakil ketua (mujtahid fatwa), pengacara (mujtahid
murajjih). Susunan ini hanyalah
analogi saja agar mudah dimengerti, walaupun tepatnya bisa saja tidak seperti
itu.
Kurang lebih begitulah kedudukan para sahabat di dalam bangunan Islam
yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman mereka terhadap nash Al-Quran dan
hadits Nabi Saw. Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para sahabat
menghasilkan berbagai bentuk dalam pengambilan fatwa. Hal ini dikarenakan
terjadinya “ kawasan kosong syari’at “ di
mana setiap ahlinya berusaha untuk memenuhinya sesuai dengan kedalaman dan
beragam- nya ilmu yang mereka dapatkan hasil interaksi dan kedekatan mereka
dengan Nabi Saw.
Salah seorang sahabat yang faqih ada dalam berfatwanya ada yang
cenderung kepada tekstual ayat dan hadits, ada juga yang cenderung kepada
tafsir dan maknanya, ada pula yang cenderung kepada qiyas, ada pula yang
cenderung kepada ihtisan atau al-maslahah al-mursalah, ada pula
yang cendrung kepada ‘urf (adat istiadat) , ada juga yang menggabungkan
di antaranya, dan begitulah seterusnya. Bentuk pengambilan hukum seperti inilah
yang akhirnya diwariskan kepada generasi setelahnya dan setelahnya lagi, dan
akhirnya sampai kepada kita sekarang ini.
Ulama
hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang dihubungkan kepada
Nabi Saw, Tetapi, menurut sebagian ahli hadits, sunnah termasuk segala sesuatu
yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, ataupun sifat-sifatnya. Menurut ulama ushul fiqih, sunnah adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw, selain al-Quran, baik perkataan,
perbuatan, atau taqrir, yang dapat menjadikan dalil-dalil hukum syara’. Mereka
mendefinisikan demikian karena yang menjadi pokok per --hatiannya adalah
pembahasan terhadap dalil-dalil syara’.
Ulama
fiqih sunnah mendefinisikan, sunnah adalah apa saja yang benar dari Nabi Saw
dalam urusan agama, yang berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang didalamnya
terkan- dung unsur memfardhukan atau mewajibkan. Mereka mendefenisikan sunnah
demikian, karena yang menjadi pokok pembahasan mereka adalah hukum-hukum syara’
seperti wajib, fardhu, mandub, haram, makruh, dan sebagian dari masing-masing
hukum tersebut. Sedang- kan ulama yang bergelut di bidang dakwah
mendefenisikan sunnah ialah
apa saja yang bukan bid’ah. Hal
ini dikarenakan perhatian mereka tertuju kepada apa yang menjadi perin- tah dan
larangan syara’.
Sedangkan dari kalangan ilmu tasawuf, imam al-Qusyairi an-Naisaburi mengartikan sunnah dengan syari’at dan hakikat, di mana beliau mengatakan : “
Syari’at adalah perintah yang harus ditetapi dalam ibadah, dan hakikat adalah
kesaqksian akan kehadiran peran serta ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan.
Setiap syari’at yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat
diterima, dan setiap hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syari’at tidak
akan berhasil. Syari’at datang dengan beban hukum dari Sang Mahapencipta,
sedang- kan hakikat bersumber dari dominasi kreativitas al-Haqq.
Syari’at merupakan penyembahan makhluk kepada al-Khaliq, sedangkan hakikat
adalah kesaksian makhluk akan kehadiran-Nya. Syari’at adalah penegakan apa yang
diperintahkan-Nya, sedangkan hakikat adalah kesaksian terhadap sesuatu yang
telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya serta disembunyikan dan yang
ditampakkan-Nya.
No comments:
Post a Comment