Assalamu’alikum
wr.wb
Banyak kaum muslimah sepulangnya dari Umrah atau haji mereka menggunakan
cadar ketika shalat. Mereka beranggapan bahwa kaum wanita di Makkah dan Madinah
yang mayoritas berpaham Salafi Wahabi adalah kiblat untuk muslimah seluruh
dunia. Pandangan seperti ini merupakan kesalahan besar. Bahwa mengunakan burqa
atau penutup wajah bagi muslimah tidak pernah dikenal di zaman Nabi Saw, para
sahabat, para imam mazhab sampai sebelum paham Salafi Wahabi lahir sekitar
tahun 1926 M di Madinah.
Di dalam al-Quran Allah Swt telah berfirman :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ
مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ
مَا ظَهَرَ مِنْها وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ
“
Dan katakanlah (Muhammad) kepada para perempuan yang beriman, agar mereka
menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat (wajah, telapak tangan,
dan mata kaki). Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya “(QS.
24 / an-Nur : 31)
Dalil dari sunnah adalah :
عَنْ خَالِدٍ، قَالَ: يَعْقُوبُ ابْنُ دُرَيْكٍ:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، دَخَلَتْ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ،
فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: «يَا
أَسْمَاءُ، إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى
مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
“ dari Khalid, berkata : Ya’qub bin Duraik
dari ‘Aisyah r.a, sesungguhnya Asma binti Abu Bakar pernah masuk ke rumah
Rasullah Saw dengan mengenakan pakaian tipis. Rasulullah Saw berpaling darinya,
dan bersabda : “Ya Asma, apabila seorang perempuan telah mencapai haidh,
tidak boleh ada yang terlihat darinya selain ini dan ini dengan menunjuk
wajah dan telapak tangannya. (Sunan Abu Dawud 4/62, Musnad asy-Syamiyyin, ath-Thabarani 4/64, al-Adaab, al-Baihaqi 1/241, as-Sunan
ash-Shagir 3/12, as-Sunan al-Kabir 2/319, 7/138, Syu’abul Iman 10/219, Ma’rifah
as-Sunan al-Atsar 3/144 (derajat hadits masyhur/mutawatir)
Adapun sahabat
dan para pembesar tabi’in yang memfatwakan tentang ini :
Ibnu Abbas r.a
berkata : “ Maksudnya adalah wajah, kedua telapak tangan dan cincin “.
Diriwayatkan juga pendapat yang sama dengan Ibnu Abbas r.a dari Ibnu Umar r.a,
Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu asy-Sya’tsa, adh-Dhahak, Ibrahim an-Nakha’i,
‘Aisyah r.a dan Ali bin Ali Thalib r.a. (Ibnu
Katsir 3/284, As-Sunan al-Kabir 7/137)
Adapun para ulama imam mazhab yang
memfatwakan tentang ini :
قَالَ الشَّافِعِيُّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «يَنْظُرُ إِلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا
قُلْتُ: وَهَذَا لِقَوْلِهِ
عَزَّ وَجَلَّ: { «وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا» } [النور:
31]
Berkata asy-Syafi’i r.a : yang terlihat
adalah wajah dan telapak tangannya : dikatakan : hal ini maksud firman Allah
Azza wa Jalla : “ dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali
yang (biasa) terlihat “ (QS. 24 / an-Nur : 31)
Imam Ahmad pun menyatakan hal yang sama dengan Imam
asy-Syafi’i. (As-Sunan al-Kabir 3/11). Sedangkan
ulama Malikiyah menyebutkan perempuan makruh (hukumnya) mengenakan niqab
apabila hal itu tidak menjadi kebiasaan penduduk negaranya. Mereka bahkan
mengatakan perbuatan itu termasuk melampaui batas agama. Begitu pula yang
dikatakan oleh Imam ad-Dasuki dalam kitab Khasyiyah-nya. (As-Sunan
al-Kabir 7/151)
Memakai
cadar atau niqab dikatakan sebagai perbuatan yang melampaui batas agama karena,
mereka tidak mau menerima sunnah yang lebih ringan untuk dilakukan. Sedangkan
mengenai masyarakat di negara lain yang mungkin masih mengenal tradisi memakai
cadar, maka tidak apa-apa jika seorang perempuan memilih untuk mengenakannya,
dan mentaati tradisi masyarakatnya. Akan tetapi, hal ini tidak ada hubungannya
dengan ajaran agama, namun lebih kepada adat dan budaya yang berlaku di sebuah
masyarakat. Bahwa tindakan menutup wajah apabila dijadikan sebagai alasan untuk
hidup eksklusif, terpisah dari komu- nitas masyarakat luas, atau sebagai sebuah
syi’ar dalam beribadah dan beragama, maka hukumnya telah keluar dari sunnah,
yang mubah menjadi bid’ah yang terlarang. (Ma’rifah as-Sunan al-Atsar 10/22)
Jadi dapat dipastikan, bahwa penjelasan ayat
al-Quran tentang firman-Nya : “ dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat “
(QS. 24 / an-Nur : 31) merupakan dalil mutawatir yang harus
diimani dan diamini oleh seluruh kaum muslimah. Wabil khusus bagi para wanita
dari kaum salafi Wahabi yang memakai cadar di Indonesia. Di mana telah dijelaskan sebelumnya, tentang
kemakruhannya, bahkan dinilai berlebih-lebihan karena ingin tampil eksklusif
atau merasa dirinya paling benar dalam hal ini, padahal hal tersebut tidak
disyari’atkan. Untuk lebih dijelasnya, silahkan lihat catatan kakinya, dan
lihat dalam tafsir apa saja yang mendukung keyakinan ini. (Tafsir Mujahid 1/491, Tafsir Muqatil 1/396, Tafsir Yahya bin Salam 1/440,
Tafsir ath-Thabari 19/157, Tafsir Ibnu Abi Hatim 8/7024, Tafsir as-Samarqandi
2/508, Tafsir Ibnu Katsir 6/42, Tafsir Jalalain 1/462, Tafsir ad-Durul Mantsur
1/680)
Adapun fatwa ulama kontemporer yang
memfatwakan tentang ini :
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan : “
Bahkan jumhur ulama fiqih telah menetapkan larangan menutup wajah dengan burqa
atau lainnya “Burqa adalah penutup wajah bagi muslimah yang menyerupai
topeng ninja, hal ini tidak pernah dilakukan oleh wanita-wanita muslimah di
zaman Nabi Saw.
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah berkata : “ Dimakruhkan bagi wanita
muslimah mengenakan cadar pada saat melaksanakan shalat. Para ulama sepakat,
bahwa wanita muslimah harus membuka penutup wajahnya di dalam shalat dan pada
saat berihram. Karena, menutup wajah akan menghalangi persentuhan dahi yang
hidung dengan tempat sujud secara langsung “
Seorang
muslimah yang shalat menggunakan celana panjang baik jeans atau pun katun tidak
sah, walaupun secara lahiriah menutup aurat. Sebagaimana Nabi Saw bersabda :
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ
الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا
“ Dan
wanita-wanita yang berpakaian (tetapi
pada hakikatnya) mereka telanjang, gemar menggiurkan dan memikat (lelaki).
Mereka tidak akan masuk surga dan tidak pula mencium harum wanginya “ (Shahih Muslim 3/1680,
4/2192, Muwatha 2/913, 5/1339, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 7/530, Musnad Ahmad
11/564)
Yang dimaksud dengan “
berpakaian (tetapi pada hakikatnya) telanjang “ ialah pakaian wanita yang tidak
sesuai dengan fungsinya sebagai penutup aurat, karena tipisnya sehingga bagian
tubuh yang berada di balik pakaian itu terlihat bentuknya. Hal ini akan
menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya, terlebih bagi kaum lelaki.
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid,
Imam Ibnu Rusyd mengatakan : “ Jumhur fuqaha sepakat bahwa pakaian yang
dianggap memadai untuk shalat adalah dir’un (semacam baju ---panjang / long
dress) dan khimar (kerudung). Pendapat ini didasarkan sebuah hadits
dari Ummu Salamah r.a :
أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ سَلَمَةَ
مَاذَا تُصَلِّي فِيهِ الْمَرْأَةُ مِنَ الثِّيَابِ فَقَالَتْ: «تُصَلِّي فِي الْخِمَارِ
وَالدِّرْعِ السَّابِغِ الَّذِي يُغَيِّبُ ظُهُورَ قَدَمَيْهَا
“ Ummu Salamah bertanya kepada Rasululah Saw, “ Apa
yang (memadai) dipakai wanita ketika shalat ? “ Nabi Saw menjawab : “ Dengan khimar (kerudung) dan dar’un (gaun
panjang), jika wanita bisa menutupi bagian atas telapak kakinya “ (Sunan Abu Dawud 1/173, Muwatha 1/82, 1/141, Mushanaf Ibnu abi Syaibah 3/127, al-Adab al-Baihaqi 1/239, as-Sunan wal
Atsar 3/145, Syarh as-Sunan al-Baghawi 2/435 (derajat hadits shahih)
Jadi seorang muslimah yang menggunakan kaos street atau celana jeans dihukumi sebagai orang yang tidak berbusana.
Dan kerudung yang tidak menjulur menutupi dada sama dengan memperlihatkan bagian
tubuh yang dapat mengundang nafsu dan syahwat, itu pun diharamkan. Diharamkan pula bagi
kaum muslimah menjulurkan kain gaunnya melebihi mata kaki dalam shalat.
Sebagaimana riwayat yang berasal dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw bersabda :
نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ
“ Melarang (beliau)
menjulurkan sarung (menjulurkan kain lebih dari mata kaki) dalam shalat“ (Sunan Abu Dawud 1/174, Sunan Turmudzi 2/217, Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 2/43, Musnad Ahmad 13/316,
al-Mu’jam al-Ausath 2/80, al-Mustadrak
1/384, as-Sunan al-Kabir 2/343 (derajat hadits shahih)
Apabila seorang muslimah menjulurkan kain gaunnya dalam shalat saja sudah
dilarang, maka sudah pasti menjulurkan kain gaun di luar shalat jauh lebih
keras lagi larangannya. Seperti kesalahan yang dilakukan oleh kaum muslimah
Salafi Wahabi di Makkah dan di Madinah di tambah dengan sebagian artis wanita,
foto model, dan peraga- wati. Mereka menggusur kain gaun itu ke tanah,
sedangkan hal ini telah di ancam dalam sabda Nabi Saw :
مَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ
مِنَ اْلإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Kain sarung yang melebihi (menjulur) kedua mata
kaki maka dia masuk neraka“ (Shahih Muslim 7/141, al-Bukhari meriwayatkan dengan
lafal yang sedikit berbeda lihat : 1/82, 2/1373/15, Sunan an-Nasai 8/207, Sunan
Ibnu Majah 2/1183 (derajat
hadits shahih)
No comments:
Post a Comment