Assalamualaikum Wr.Wb.
Hadits merupakan salah
satu sumber pokok dalam ajaran Islam. Tanpa adanya hadits, umat Islam tidak
akan mengetahui bagaimana cara melaksanakan perintah yang terdapat di dalam al-Quran.
Allah menegaskan bahwa selain al-Quran, bila menyelesaikan suatu masalah
maka rujuklah hadits. Oleh karena itu , wajarlah bila ada seorang ulama yang
mengatakan bahwa untuk melaksanakan ajaran Islam kita langsung merujuk kepada
hadits, karena melak- sanakan hadits berarti melaksanakan al-Quran pula.
Sangat sulit
sebenarnya untuk menentukan jumlah pasti hadits yang sebenarnya tidak
tersampaikan kepada kita. Hal ini bisa disebabkan karena kematian, bencana
alam, pepera- ngan, suhu politik
yang tidak sehat, terlambatnya pengumpulan hadits dan sebab-sebab lainnya.
Pertama, tentang kematian para
perawi yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan ribu, menjadikan sebuah pertanyaan
besar, “Apakah hadits-hadits tersebut pernah disampaikan kepada para perawi
atau kepada masyarakat lainnya atau tidak ? “ atau “Berapa persenkan hadits- hadits
tersebut yang shahih dan yang tidak shahih ? “ atau “Bagaimana hukumnya mengamalkan
hadits-hadits yang tidak masyhur tetapi
memiliki kemungkinan shahih, wa- laupun
perawinya tidak cukup dikenal
dikalangan ahli hadits ?“ Lalu
apakah setiap perawi yang tidak masyhur harus ditolak ? “ lalu “Mengapa
standar hadits shahih bisa berbeda-beda ?” Apabila para perawi dinilai tidak
cukup masyhur dan haditsnya harus ditolak secara mutlak, ini dirasa tidak adil
karena telah menetapkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Allah berkenan
meletakkan ilmu-Nya pada siapa saja yang Dia kehendaki, baik orang tersebut
terkenal ataupun tidak.
Kedua, dikarenakan bencana
alam seperti banjir dan gempa bumi atau musibah alam lainnya. Hal ini bukan
saja akan menghilangkan ribuan lembar ilmu pengetahuan yang telah disimpan,
tetapi hal ini juga memberikan kesulitan untuk menyusun dan menyalinnya
kembali.
Ketiga, peperangan merupakan
salah satu faktor yang cukup besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa kurang lebih 70 orang sahabat Nabi Saw
penghafal al-Quran telah dibunuh, sehingga beliau pun melaksanakan doa Qunut
Nazilah mendoakan keburukan bagi para pembunuhnya. Apabila dimunculkan
pertanyaan sederhana : “ Kira-kira berapa ribu hadits yang dibawa mati oleh
ke-70 sahabat Nabi Saw tersebut ? “ Sedangkan pada kenyataannya ratusan ribu sahabat Nabi Saw
yang gugur dalam peperangan. Bisakah kita menghitung jumlah hadits dan hadits
apa yang tidak tersampaikan kepada kita ? “
Pada tahun 12 Muharram tahun 665 H / 1258 M, Hulako Khan mengirimkan
pasu- kannya yang berjumlah 200.000 orang ke Baghdad di bawah dua
pimpinan amirnya. Pem- bunuhan massal terhadap penduduk Baghdad dilakukannya selama 40
hari. Jumlah korban pembantaian massal tersebut mencapai ribuan orang. Tidak
satupun orang yang berhasil selamat meski telah berusaha bersembunyi di sumur
atau di lubang penggalian sampah. Pasukan Tartar membunuh Khalifah
al-Mu’tashim beserta ketiga anaknya : Abdullah, Abdurrahman dan Abdul Karim.
Sedangkan istri-istri raja dan istri para pejabatnya ditangkap dan disembelih
dikuburan kosong seperti menyembelih kambing. Kemudian mereka mena- wan
anak-anak gadisnya dan memperlakukan mereka seenaknya. Pasukan Tartar
membu- nuhi para syaikh, para khatib, para imam, dan para penghafal al-Quran.
Mereka menghenti- kan seluruh aktivitas masjid selama berbulan-bulan.
Puluhan ribu
kitab-kitab yang dijadikan referensi seluruh ulama di dunia Islam dibakar dan
sebagiannya lagi dibuang ke sungai Eufrat dan Tigris sehingga sungai itu
menjadi hitam karena banyaknya tinta yang luntur dari kitab-kitab
tersebut. Baghdad menjadi sebuah kota tempat penimbunan mayat. Timbunan mayat
ini kemudian diguyur hujan dari langit. Warnanya berubah dan membusuk hingga
mengeluarkan bau yang sangat busuk ke seantero kota Baghdad.
Kurang lebih 700 tahun kemudian tepatnya pada bulan Sya’ban 1337 H / 1919
M, sekte Wahabi Takfiri juga melakukan pembunuhan ke kota Turbah dan Hizbah, di mana mereka
berhasil membunuh 3000 penduduk sipil tak berdosa. Kemudian mereka pun
menyerang penduduk Bahrain, dan penduduk yang berada pada lembah Syammar,
kabilah Urban azh-Zhafir, Alu Ba’ij dan Alu Zaqarith dan semua daerah-daerah
yang bisa mereka taklukan. Setelah kaum Salafi Wahabi ini berkuasa di Jazirah Arab, maka banyak
perpus- takaan Islam yang mereka bumi hanguskan. Terutama
perpustakaan Maktabah Arabiyah di Makkah al-Mukarramah di mana mereka membakar kurang lebih 60.000 kitab-kitab langka dan sekitar 40.000
yang masih berupa manuskrip yang sebagiannya meru- pakan hasil diktean sahabat
dari baginda Nabi Saw. Di antara
buku-buku itu masih ada yang berupa kulit kijang, tulang belulang, pelepah
kurma, pahatan dan lempengan-lempengan tanah. Tidak berhenti sampai di situ perpustakaan
yang berada di Hadramaut Yaman dan membakar seluruh kitab yang berada di
perpustakaan itu. Jadi bagaimana mungkin sekte sesat ini bisa
mengakui dan memproklamirkan kelompoknya sebagai penghidup sunnah, padahal
mereka sendirilah yang memusnahkankan jutaan sunnah Nabi-Nya sendiri ?
Dengan kejadian
seperti ini sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk berhati-hati ketika
berhadapan dan mengambil ilmu dari orang-orang Wahabi Takfiri. Dengan mem- bakar kitab-kitab tersebut
mereka beranggapan bahwa ulama-ulama Ahlus Sunnah tidak memiliki
salinannya. Ulama-ulama Ahlus Sunnah memilikinya walaupun tidak selengkap sebelum dibakar oleh
mereka. Dan ketika kita bacakan beberapa hadits dengan mudahnya mereka katakan,
bahwa hadits ini dha’if, maudhu, perawinya tidak jujur, hafalannya tidak
kuat, tidak dikenal dan berjuta alasan lainnya.
Tidak ada kewajiban
bagi setiap orang harus mengetahui secara pasti bahwa hadits yang mereka
amalkan adalah hadits shahih atau tidak. Masih jauh lebih baik mengamalkan
hadits dha’if tetapi jiwanya
shahih, daripada mengamalkan hadits shahih tetapi kelakuannya maudhu dan
mungkar. Dan masih lebih baik juga mengamalkan hadits yang “ dianggap “ maudhu (palsu)
daripada membakar kitab hadits-hadits shahih.
Dan masih lebih baik meng- amalkan hadits mauquf (terputus) daripada
memutuskan mata rantai keilmuan sebagaimana yang dilakukan oleh sekte Wahabi
Takfiri ini.
Keempat, suhu politik yang
tidak sehat sebagimana yang terjadi di zaman Bani Umayah, menjadikan mereka
berusaha membuat hadits-hadits palsu untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Kelima, terlambatnya
pengumpulan hadits dan sebab-sebab lainnya yang menjadi faktor yang tidak kalah
pentingnya.
Kurang lebih kelima
faktor inilah yang menyebabkan hilangnya atau tidak tersampai- kannya hadits-hadits kepada
kita. Al-‘Allamah As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki beliau juga menerangkan
tentang hal ini dengan mengatakan : Abu Said al-Khudri meriwayatkan dari Nabi
Saw, beliau bersabda :
لاَ
تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ، وَحَدِّثُوا
عَنِّي، وَلاَ حَرَجَ
“ Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku
selain al-Quran. Barangsiapa menulis sesuatu dariku selain al- Quran maka
hapuslah, sedangkan hadits yang berasal dariku janganlah dimasukkan (ke dalam
al-Quran) “ (Shahih Muslim 4 /
2298)
Di sini Nabi Saw melarang para sahabat menulis
hadits, tetapi cukup dengan meng- hafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan
hadits dengan disertai ancaman bagi yang berbuat bohong. Sebagaimana di dalam
hadits dikatakan :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“ Barangsiapa yang berbohong
kepadaku, maka persiapkanlah tempat duduknya di Neraka “ (Sunan Abu Dawud 3 / 319)
Nabi Saw mengeluarkan
ijin menulis hadits secara khusus kepada sebagian sahabat, seperti Abu Syah.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika
Rasulullah Saw membuka kota Makkah, beliau lalu berdiri dan berpidato di depan
orang banyak, dan ketika itu seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah berdiri
dan berucap :
اكْتُبُوا
لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ
“ Perintahkanlah menulis kepadaku Ya
Rasulullah ! “ Maka Nabi Saw menjawab : “ Menulislah kamu sekalian kepada Abu
Syah “ (Shahih Bukhari 3 / 125, Shahih Muslim 2 / 988)
Selanjutnya, Nabi Saw memberi ijin menulis
hadits secara umum, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah Saw bersabda :
اكْتُبْ،
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّي إِلاَّ حَقٌّ وَأَشَارَ بِيَدِهِ
إِلَى فَمِهِ
أَخْرَجَهُ
أَبُو دَاوُدَ فِي السُّنَنِ عَنْ مُسَدَّدٍ، وَأَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ
إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ: «مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
“ Tulislah, demi Dzat Yang
Menguasai jiwaku, tidak ada yang keluar daripadaku melainkan yang haq dan memberikan
isyarat kepada keluarganya” Dikeluarkan oleh bau Dawud di dalam Sunan-nya, dan Abu
Bakr ibn Abi Syaibah kecuali dengan lafazh : “ Tulskan semua kecuali yang benar “ (Limudkhali Ilaa as-Sunan
al-Kabir, al-Baihaqi 1 / 414, Musnad Ahmad 11 / 58)
Abdullah
bin Amr bertanya :
يَا رَسُولَ
الله، أُقَيِّدُ الْعِلمَ؟ قَالَ: نَعَمْ ، قُلْتُ: وَمَا تَقْيِيْدُهُ ؟ قَالَ: بِالْكِتَابِ
“
Ya Rasulullah apakah ilmu harus diikat ? “ Nabi Saw menjawab : “ Ya “ Aku
bertanya : “ Apakah tali pengikatnya itu ? “ Nabi Saw menjawab : “ Menulis “ (al-Mu’jam al-Ausath 5 / 194, al-Mu’jam al-Kabir 13 / 466)
Begitu pula yang diriwayatkan dari Umar bin
Khatab r.a berbunyi sebagai berikut :
قَيِّدُوا
الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
“
Ikatlah ilmu dengan tulisan “
(Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 5 / 408, Sunan Darimi 1 / 437, Al-Mu’jam al-Kabir 1 / 246, al-Mukhalashiyah
1 / 340, 2 / 290, 4 / 269, al-Mustadrak 1 / 187)
Hadits-hadits di atas merupakan sebuah
penegasan betapa pentingnya ilmu itu diikat dengan tulisan. Hal ini dilakukan
dengan cermat sehingga al-Quran yang suci
tidak bercampur dengan hadits-hadits Nabi Saw. Walaupun dalam riwayat yang lain
kita sering membaca dan mendengar bahwa pengumpulan hadits dilakukan setelah
pengumpulan Mushaf al-Quran selesai.
Artinya apabila hal ini benar dilakukan, berarti terdapat rentang waktu dari
mulai Nabi Saw turun wahyu pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah sampai
dengan tahun 35 Hijriah sebelum terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Atau
dapat dikatakan terdapat rentang waktu
kurang lebih 33 tahun tidak adanya penulisan tentang
hadits. Sulit dipercaya memang di mana para sahabat begitu antusias untuk
mengamalkan dan menyebarkan al-Quran dan hadits
tanpa adanya pengikat yang berbentuk tulisan. Apakah memang semua sahabat
diberikan kekuatan daya hafal yang fantastis selama kurun waktu 33 tahun,
sehingga mereka tidak pernah lupa satu pun ayat dan hadits yang pernah di-
dengarnya ? Subhanallah hanya Allah
saja yang Mahatahu akan kebenaran ini.
Akan tetapi bila kita akan menelan
bulat-bulat keterangan ini seharusnya kita sandarkan dahulu kepada al-Quran, di
mana Allah Swt berfirman :
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذا تَدايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ
كاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَما عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ
مِنْهُ شَيْئاً فَإِنْ كانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ
لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
“Wahai orang-orang yang beriman ! Apabila
kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah ia menuliskannya. Dan hendaklah
orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah,
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang
mendiktekan itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tiak
mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan benar….”
(QS. al-Baqarah (2) : 283)
Dalam benak saya, apabila hutang saja
diperintahkan untuk dituliskan, lalu mengapa hadits-hadits yang begitu penting
bagi dakwah Islam tidak dituliskan ? Apakah benar para sahabat yang begitu
tinggi semangatnya dalam mencari kebenaran tidak ada yang berinisiatif untuk
menulisnya ? Ataukah riwayatnya yang
benar tidak sampai kepada kita ?
Pada zaman sekarang ini, semua transaksi
tidak ada yang tidak ditulis. Pernikahan pun harus memakai bukti tulisan
walaupun itu adalah nikah di bawah tangan, padahal menuliskan nama pengantin di
buku nikah tidak sepenting penulisan hadits-hadits Nabi Saw.
Wallahu A’lam bish-Shawab
No comments:
Post a Comment