Wednesday, 13 May 2015

HILANGNYA JUTAAN HADITS


Assalamualaikum Wr.Wb.
Hadits merupakan salah satu sumber pokok dalam ajaran Islam. Tanpa adanya hadits, umat Islam tidak akan mengetahui bagaimana cara melaksanakan perintah yang terdapat di dalam al-Quran. Allah menegaskan bahwa selain al-Quran, bila menyelesaikan suatu masalah maka rujuklah hadits. Oleh karena itu , wajarlah bila ada seorang ulama yang mengatakan bahwa untuk melaksanakan ajaran Islam kita langsung merujuk kepada hadits, karena melak- sanakan hadits berarti melaksanakan al-Quran pula.
Sangat sulit sebenarnya untuk menentukan jumlah pasti hadits yang sebenarnya tidak tersampaikan kepada kita. Hal ini bisa disebabkan karena kematian, bencana alam, pepera- ngan, suhu politik yang tidak sehat, terlambatnya pengumpulan hadits dan sebab-sebab lainnya.
Pertama, tentang kematian para perawi yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan ribu, menjadikan sebuah pertanyaan besar, “Apakah hadits-hadits tersebut pernah disampaikan kepada para perawi atau kepada masyarakat lainnya atau tidak ?  atau “Berapa persenkan hadits- hadits tersebut yang shahih dan yang tidak shahih ?  atau “Bagaimana hukumnya mengamalkan hadits-hadits yang  tidak masyhur tetapi memiliki kemungkinan shahih, wa- laupun  perawinya tidak  cukup  dikenal  dikalangan  ahli hadits ?“ Lalu apakah setiap perawi yang tidak masyhur harus ditolak ? “ lalu “Mengapa standar hadits shahih bisa berbeda-beda ?” Apabila para perawi dinilai tidak cukup masyhur dan haditsnya harus ditolak secara mutlak, ini dirasa tidak adil karena telah menetapkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Allah berkenan meletakkan ilmu-Nya pada siapa saja yang Dia kehendaki, baik orang tersebut terkenal ataupun tidak.
Kedua, dikarenakan bencana alam seperti banjir dan gempa bumi atau musibah alam lainnya. Hal ini bukan saja akan menghilangkan ribuan lembar ilmu pengetahuan yang telah disimpan, tetapi hal ini juga memberikan kesulitan untuk menyusun dan menyalinnya kembali.
Ketiga, peperangan merupakan salah satu faktor yang cukup besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kurang lebih 70 orang sahabat Nabi Saw penghafal al-Quran telah dibunuh, sehingga beliau pun melaksanakan doa Qunut Nazilah mendoakan keburukan bagi para pembunuhnya. Apabila dimunculkan pertanyaan sederhana : “ Kira-kira berapa ribu hadits yang dibawa mati oleh ke-70 sahabat Nabi Saw tersebut ? “ Sedangkan pada kenyataannya ratusan ribu sahabat Nabi Saw yang gugur dalam peperangan. Bisakah kita menghitung jumlah hadits dan hadits apa yang tidak tersampaikan kepada kita ? “
Pada tahun 12 Muharram tahun 665 H / 1258 M, Hulako  Khan  mengirimkan  pasu- kannya  yang  berjumlah 200.000 orang ke Baghdad di bawah dua pimpinan amirnya. Pem- bunuhan massal terhadap penduduk Baghdad dilakukannya selama 40 hari. Jumlah korban pembantaian massal tersebut mencapai ribuan orang. Tidak satupun orang yang berhasil selamat meski telah berusaha bersembunyi di sumur atau di lubang penggalian sampah. Pasukan Tartar membunuh Khalifah al-Mu’tashim beserta ketiga anaknya : Abdullah, Abdurrahman dan Abdul Karim. Sedangkan istri-istri raja dan istri para pejabatnya ditangkap dan disembelih dikuburan kosong seperti menyembelih kambing. Kemudian mereka mena- wan anak-anak gadisnya dan memperlakukan mereka seenaknya. Pasukan Tartar membu- nuhi para syaikh, para khatib, para imam, dan para penghafal al-Quran. Mereka menghenti- kan seluruh aktivitas masjid selama berbulan-bulan.
Puluhan ribu kitab-kitab yang dijadikan referensi seluruh ulama di dunia Islam dibakar dan sebagiannya lagi dibuang ke sungai Eufrat dan Tigris sehingga sungai itu menjadi hitam karena banyaknya tinta yang luntur dari kitab-kitab tersebut.  Baghdad  menjadi sebuah kota tempat penimbunan mayat. Timbunan mayat ini kemudian diguyur hujan dari langit. Warnanya berubah dan membusuk hingga mengeluarkan bau yang sangat busuk ke seantero kota Baghdad.
Kurang lebih 700 tahun kemudian tepatnya pada bulan Sya’ban 1337 H / 1919 M,  sekte Wahabi Takfiri juga melakukan pembunuhan ke kota Turbah dan Hizbah, di mana mereka berhasil membunuh 3000 penduduk sipil tak berdosa. Kemudian mereka pun menyerang penduduk Bahrain, dan penduduk yang berada pada lembah Syammar, kabilah Urban azh-Zhafir, Alu Ba’ij dan Alu Zaqarith dan semua daerah-daerah yang bisa mereka taklukan.  Setelah kaum Salafi Wahabi ini berkuasa di Jazirah Arab, maka banyak perpus- takaan Islam yang mereka bumi hanguskan. Terutama perpustakaan Maktabah Arabiyah di Makkah al-Mukarramah di mana mereka membakar kurang lebih 60.000 kitab-kitab langka dan sekitar 40.000 yang masih berupa manuskrip yang sebagiannya meru- pakan hasil diktean sahabat dari baginda Nabi Saw. Di antara buku-buku itu masih ada yang berupa kulit kijang, tulang belulang, pelepah kurma, pahatan dan lempengan-lempengan tanah. Tidak berhenti sampai di situ perpustakaan yang berada di Hadramaut Yaman dan membakar seluruh kitab yang berada di perpustakaan itu.  Jadi bagaimana mungkin sekte sesat ini bisa mengakui dan memproklamirkan kelompoknya sebagai penghidup sunnah, padahal mereka sendirilah yang memusnahkankan jutaan sunnah Nabi-Nya sendiri ?
Dengan kejadian seperti ini sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk berhati-hati ketika berhadapan dan mengambil ilmu dari orang-orang Wahabi Takfiri. Dengan mem- bakar kitab-kitab tersebut mereka beranggapan bahwa ulama-ulama Ahlus Sunnah tidak memiliki salinannya. Ulama-ulama Ahlus Sunnah memilikinya walaupun tidak selengkap sebelum dibakar oleh mereka. Dan ketika kita bacakan beberapa hadits dengan mudahnya mereka katakan, bahwa hadits ini dha’if, maudhu, perawinya tidak jujur, hafalannya tidak kuat, tidak dikenal dan berjuta alasan lainnya.
Tidak ada kewajiban bagi setiap orang harus mengetahui secara pasti bahwa hadits yang mereka amalkan adalah hadits shahih atau tidak. Masih jauh lebih baik mengamalkan hadits dha’if  tetapi jiwanya shahih, daripada mengamalkan hadits shahih tetapi kelakuannya maudhu dan mungkar. Dan masih lebih baik juga mengamalkan hadits yang “ dianggapmaudhu (palsu) daripada membakar kitab hadits-hadits shahih. Dan masih lebih baik meng- amalkan hadits mauquf (terputus) daripada memutuskan mata rantai keilmuan sebagaimana yang dilakukan oleh sekte Wahabi Takfiri  ini.
Keempat, suhu politik yang tidak sehat sebagimana yang terjadi di zaman Bani Umayah, menjadikan mereka berusaha membuat hadits-hadits palsu untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Kelima, terlambatnya pengumpulan hadits dan sebab-sebab lainnya yang menjadi faktor yang tidak kalah pentingnya.
Kurang lebih kelima faktor inilah yang menyebabkan hilangnya atau tidak tersampai- kannya hadits-hadits kepada kita. Al-‘Allamah As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki beliau juga menerangkan tentang hal ini dengan mengatakan : Abu Said al-Khudri meriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda :
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ، وَحَدِّثُوا عَنِّي، وَلاَ حَرَجَ
“ Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain al-Quran. Barangsiapa menulis sesuatu dariku selain al- Quran maka hapuslah, sedangkan hadits yang berasal dariku janganlah dimasukkan (ke dalam al-Quran) “  (Shahih Muslim 4 / 2298)

Di sini Nabi Saw melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan meng- hafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai ancaman bagi yang berbuat bohong. Sebagaimana di dalam hadits dikatakan :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
 “ Barangsiapa yang berbohong kepadaku, maka persiapkanlah tempat duduknya di Neraka “ (Sunan Abu Dawud 3 / 319)
Nabi Saw mengeluarkan ijin menulis hadits secara khusus kepada sebagian sahabat, seperti Abu Syah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah Saw membuka kota Makkah, beliau lalu berdiri dan berpidato di depan orang banyak, dan ketika itu seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah berdiri dan berucap :
اكْتُبُوا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ
“ Perintahkanlah menulis kepadaku Ya Rasulullah ! “ Maka Nabi Saw menjawab : “ Menulislah kamu sekalian kepada Abu Syah “ (Shahih Bukhari 3 / 125, Shahih Muslim 2 / 988)
Selanjutnya, Nabi Saw memberi ijin menulis hadits secara umum, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah Saw bersabda :
اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّي إِلاَّ حَقٌّ وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى فَمِهِ
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي السُّنَنِ عَنْ مُسَدَّدٍ، وَأَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ: «مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
“ Tulislah, demi Dzat Yang Menguasai jiwaku, tidak ada yang keluar daripadaku melainkan yang haq dan memberikan isyarat kepada keluarganya” Dikeluarkan oleh bau Dawud di dalam Sunan-nya, dan Abu Bakr ibn Abi Syaibah kecuali dengan lafazh : “ Tulskan semua kecuali yang benar (Limudkhali Ilaa as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 1 / 414, Musnad Ahmad 11 / 58)
Abdullah bin Amr bertanya :
يَا رَسُولَ الله، أُقَيِّدُ الْعِلمَ؟ قَالَ: نَعَمْ ، قُلْتُ: وَمَا تَقْيِيْدُهُ ؟ قَالَ: بِالْكِتَابِ
“ Ya Rasulullah apakah ilmu harus diikat ? “ Nabi Saw menjawab : “ Ya “ Aku bertanya : “ Apakah tali pengikatnya itu ? “ Nabi Saw menjawab : “ Menulis “  (al-Mu’jam al-Ausath  5 / 194, al-Mu’jam al-Kabir 13 / 466)
Begitu pula yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab r.a berbunyi sebagai berikut :
قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ
“ Ikatlah ilmu dengan tulisan “
 (Mushanaf Ibnu Abi Syaibah 5 / 408, Sunan Darimi 1 / 437,  Al-Mu’jam al-Kabir 1 / 246, al-Mukhalashiyah 1 / 340, 2 / 290, 4 / 269, al-Mustadrak 1 / 187)
Hadits-hadits di atas merupakan sebuah penegasan betapa pentingnya ilmu itu diikat dengan tulisan. Hal ini dilakukan dengan cermat sehingga al-Quran yang suci tidak bercampur dengan hadits-hadits Nabi Saw. Walaupun dalam riwayat yang lain kita sering membaca dan mendengar bahwa pengumpulan hadits dilakukan setelah pengumpulan Mushaf al-Quran selesai. Artinya apabila hal ini benar dilakukan, berarti terdapat rentang waktu dari mulai Nabi Saw turun wahyu pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah sampai dengan tahun 35 Hijriah sebelum terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Atau dapat dikatakan terdapat  rentang  waktu  kurang  lebih  33 tahun tidak adanya penulisan tentang hadits. Sulit dipercaya memang di mana para sahabat begitu antusias untuk mengamalkan dan menyebarkan al-Quran dan hadits tanpa adanya pengikat yang berbentuk tulisan. Apakah memang semua sahabat diberikan kekuatan daya hafal yang fantastis selama kurun waktu 33 tahun, sehingga mereka tidak pernah lupa satu pun ayat dan hadits yang pernah di- dengarnya ? Subhanallah hanya Allah saja yang Mahatahu akan kebenaran ini.
Akan tetapi bila kita akan menelan bulat-bulat keterangan ini seharusnya kita sandarkan dahulu kepada al-Quran, di mana Allah Swt berfirman :
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا تَدايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَما عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإِنْ كانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
“Wahai orang-orang yang beriman ! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah ia menuliskannya. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang mendiktekan itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tiak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan benar….” (QS. al-Baqarah (2) : 283)
Dalam benak saya, apabila hutang saja diperintahkan untuk dituliskan, lalu mengapa hadits-hadits yang begitu penting bagi dakwah Islam tidak dituliskan ? Apakah benar para sahabat yang begitu tinggi semangatnya dalam mencari kebenaran tidak ada yang berinisiatif untuk menulisnya ?  Ataukah riwayatnya yang benar tidak sampai kepada kita ?
Pada zaman sekarang ini, semua transaksi tidak ada yang tidak ditulis. Pernikahan pun harus memakai bukti tulisan walaupun itu adalah nikah di bawah tangan, padahal menuliskan nama pengantin di buku nikah tidak sepenting penulisan hadits-hadits Nabi Saw.
Wallahu A’lam bish-Shawab

No comments:

Post a Comment