Sunday 31 May 2015

Landasan Hukum Bertabaruk Kepada Orang Hidup, Orang Mati Atau Dengan Benda Keramat

Di dalam hadits yang diriwayatkan dari Dawud ibn Shalih r.a, berkata :
أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلًا وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلَى الْقَبْرِ، فَأَخَذَ بِرَقَبَتِهِ وَقَالَ: أَتَدْرِي مَا تَصْنَعُ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذَا هُوَ أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: جِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ آتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «لَا تَبْكُوا عَلَى الدِّينِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلَكِنِ ابْكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ»
“ Marwan pada suatu hari menemukan sorang lelaki yang menyandarkan mukanya di makam Nabi Saw, lalu Marwan memegang tengkuk lelaki tersebut dan berkata : “ Tahukah engkau apa yang kau lakukan itu “ Lelaki itu menjawab “ Ya “ sambil menoleh dan ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari r.a lalu ia berkata lagi : “ Benar saya mendatangi makam Nabi Saw dan tidak mendatangi Hajar Aswad (karena) aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “ Jangan Menangis bila agama ditangani oleh ahlinya, tetapi menangislah bila agama ditangani bukan oleh ahlinya “Al-Mustadrak, al-Hakim 4/560 derajat Hadits Shahih, diriwayatkan pula di dalam Musnad Ahmad 38/558 beliau juga menshahihkannya, jadi sangat aneh dan neyeleneh apabila ada orang yang mengaku bermazhab Ahmad bin Hanbal tetapi anti ziarah kubur dan anti bertabaruk dengan arwah orang-orang shalih terutama orang-orang dari Salafi Wahabi (PERSIS), diriwayatkan pula di dalam al-Mu’jam al-Ausath, 1/94, 9/144, al-Mu’jam al-Kabir 4/158, 4/233 dengan lafazh “لَا تَبْكُوا عَلَى الدِّينِ إِذَا وَلَّيْتُمُوهُ أَهْلَهُ، وَلَكِنِ ابْكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلَّيْتُمُوهُ غَيْرَ أَهْلِهِ “

Abu Ayyub al-Anshari r.a adalah salah satu sahabat utama yang hadits-haditsnya banyak diriwayatkan di dalam kitab-kitab Shahih, Sunan, Musnad atau pun Mu’jam. Jadi tidak ada alasan sedikitpun untuk menolak ziarah kubur dan bertabaruk dengan arwah orang-orang shalih wabil khusus berziarah dan bertabaruk kepada Nabi Muhammad Saw.

Di dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Sirin  r.a, berkata :
قُلْتُ لِعَبِيدَةَ «عِنْدَنَا مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَبْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنَسٍ أَوْ مِنْ قِبَلِ أَهْلِ أَنَسٍ» فَقَالَ: لَأَنْ تَكُونَ عِنْدِي شَعَرَةٌ مِنْهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“ Di tempatku ada rambut Nabi Saw yang kudapatkan sebelum sahabat Anas, bahkan sebelum keluarga Anas (mendapatkannya). Kemudian Abu Ubaidah berkata : “ Sungguh jika aku memiliki sehelai rambut Nabi Saw, tentu lebih kucintai daripada dunia dan seisinya “ (Shahih Bukhari 1/45)

Resapi dan pahamilah ucapan Abu Ubaidah r.a yang berkata : “ Sungguh jika aku memiliki sehelai rambut Nabi Saw, tentu lebih kucintai daripada dunia dan seisinya “, hal ini membuktikan bahwa memiliki sebagian dari rambut Nabi Saw tidak akan mengganggu dan menghilangkan keimanan serta ketaqwaan seseorang. Justru akan meningkatkan rasa kecintaan terhadap Nabi Saw. Sedangkan kecintaan terhadap Nabi Saw merupakan salah satu kesempurnaan iman.
Begitu pula dengan memiliki sebagian benda-benda dari sahabat atau para ulama shalih dengan niat untuk meningkatkan keimanan serta ketaqwaan merupakan sesuatu yang dapat mengantarkan kita kepada kecintaan terhadap mereka. Sedangkan kecintaan terhadap para sahabat dan para ulama shalih merupakan kewajiban setiap muslim tanpa kecuali.
Di dalam hadits yang diriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar  r.a, berkata :
هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةَ طَيَالِسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةٍ لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ، وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ، فَقَالَتْ: هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُهَا، فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا
“ Ini adalah jubah Rasulullah Saw yang dimiliki oleh ‘Aisyah r.a hingga kemudian ‘Aisyah wafat. Ketika ‘Aisyah wafat, maka aku menyimpannya. Dahulu Nabi Saw memakainya dan kami mencucinya untuk (diambil air bekas cuciannya untuk) menyembuhkan orang-orang yang sakit “ (Shahih Muslim 3/1631, Musnad  Ishaq bin Rahawaih 5/133, Musnad Ahmad 44/507, as-Sunan al-Kabir, Nasai 8/410, al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabarani 24/98, as-Sunan al-Kabir, al-Baihaqi 2/594, Syu’abul Iman, al-Baihaqi 8/207) (derajat hadits shahih)

Dalam hadits ini sangatlah jelas, bahwa air bekas cucian Nabi Saw dapat menjadi penyembuh bagi orang-orang sakit. Air bekas cucian hanyalah sebab untuk mendatangkan akibat yang dinamakan “ Asbab asy-Syariah “ yaitu : sebab yang diajarkan oleh syariat. Begitu pula dengan orang yang sakit pergi ke dokter dan diberikan obat. Maka obat melalui resep dokter adalah “ Asbab al-Adhiyah “ yaitu : sebab baru yang tidak diajarkan oleh syariat. Karena hal ini tidak diajarkan oleh al-Quran ataupun sunnah Nabi Saw tetapi hasil ijtihad para mujtahid atau cendikiawan di bidangnya. Dan selama obat tersebut tidak mengandung hal-hal yang diharamkan dan berbahaya bagi tubuh, maka hukumnya adalah mubah (boleh) atau mustahab (disukai).
Di dalam kitab Bidayah wan-Nihayah karya muridnya Ibnu Taimiyyah, al-Hafizh Ibnu Katsir pada Juz  18/ 296 berkata :

ذِي الْقَعْدَةِ تُوُفِّيَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ الْعَلَّامَةُ الْفَقِيهُ الْحَافِظُ الْقُدْوَةُ، شَيْخُ الْإِسْلَامِ تَقِيُّ الدِّينِ أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ شَيْخِنَا الْإِمَامِ الْعَلَّامَةِ الْمُفْتِي شِهَابِ الدِّينِ أَبِي الْمَحَاسِنِ عَبْدِ الْحَلِيمِ بْنِ الشَّيْخِ الْإِمَامِ شَيْخِ الْإِسْلَامِ مَجْدِ الدِّينِ أَبِي الْبَرَكَاتِ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي الْقَاسِمِ، ابْنِ تَيْمِيَّةَ الْحَرَّانِيُّ ثُمَّ الدِّمَشْقِيُّ، بِقَلْعَةِ دِمَشْقَ بِالْقَاعَةِ الَّتِي كَانَ مَحْبُوسًا فِيهَا،

Pada bulan Dzulqa’dah ketika wafatnya Asy-Syaikh al-Imam al-‘Allamah al-Faqih al-Hafizh al-Qudwah, Syaikh al-Islam Taqiyyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Syaikina al-Imam al-‘Allamah al-Mufti Syihabiddin Abi al-Mahasin Abdul Halim bin asy-Syaikh al-Imam Syaikh al-Islam Muhammad Majdiddin Abi al-Barakah Abdus as-Salam bin Abdilllah bin Abi al-Qasim, Ibnu Taimiyyah yang bertempat di (desa) Haran, kemudian ad-Damsyik di Qal’ah Damsyik di mana beliau di penjara di sana

وَحَضَرَ جَمْعٌ كَثِيرٌ إِلَى الْغَايَةِ إِلَى الْقَلْعَةِ، فَأُذِنَ لَهُمْ فِي الدُّخُولِ عَلَيْهِ، وَجَلَسَ جَمَاعَةٌ عِنْدَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ،

Dan dihadiri oleh banyak orang dari Al-Ghayah ke Qal’ah, maka dizinkan mereka (oleh keluarga dan murid-muridnya) untuk memasukinya, kemudian kaum lelaki duduk di sisi (jenazahnya) sebelum beliau dimandikan

وَقَرَءُوا الْقُرْآنَ، وَتَبَرَّكُوا بِرُؤْيَتِهِ وَتَقْبِيلِهِ، ثُمَّ انْصَرَفُوا، وَحَضَرَ جَمَاعَةٌ مِنَ النِّسَاءِ فَفَعَلُوا مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ انْصَرَفُوا،
Mereka membacakan al-Quran dan bertabaruk dengan melihat wajah dan menghadapnya kemudian (setelah selasai) mereka bubar. Kemudian hadir kaum wanita dan melakukan seperti apa yang dilakukan oleh kaum lelaki, kemudian (seletah selesai) mereka bubar,

وَاقْتُصِرَ عَلَى مَنْ يُغَسِّلُهُ، فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ ذَلِكَ أُخْرِجَ وَقَدِ اجْتَمَعَ النَّاسُ بِالْقَلْعَةِ وَالطَّرِيقِ إِلَى الْجَامِعِ،

Mereka meringkas hal  tersebut karena jenazah akan dimandikan, dan setelah selesai memandikan maka keluarlah orang-orang ke jalanan Qal’ah secara berbondong-bondong

وَامْتَلَأَ الْجَامِعُ وَصَحْنُهُ، وَالْكَلَّاسَةُ، وَبَابُ الْبَرِيدِ، وَبَابُ السَّاعَاتِ، إِلَى اللَّبَّادِينَ وَالْفَوَّارَةِ،
Maka memenuhi orang-orang di ruangan rumahnya dan (dibatasilah) dengan kapur (yaitu) pintu al-Barid, pintu as-Sa’at, pintu Labadin, dan pintu al-Fawarah
وَحَضَرَتِ الْجِنَازَةُ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ مِنَ النَّهَارِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ،
Dan dihadirkanlah jenazahnya di dalam waktu keempat pada siang hari atau yang seperti itu
وَوُضِعَتْ فِي الْجَامِعِ وَالْجُنْدُ يَحْفَظُونَهَا مِنَ النَّاسِ مِنْ شِدَّةِ الزِّحَامِ،
Dan diundang dalam keramaian itu tentara (satuan pengaman) untuk menjaga jenazahnya dari keramaian orang-orang yang sangat berdesakan
وَصُلِّيَ عَلَيْهِ أَوَّلًا بِالْقَلْعَةِ، تَقَدَّمَ فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ بْنُ تَمَّامٍ،
Dan dishalatkan jenazahnya di Qal’ah, yang pertama menyalatinya adalah Syaikh Muhammad bin Tammam
ثُمَّ صُلِّيَ عَلَيْهِ بِجَامِعٍ دِمَشْقَ عَقِيبَ صَلَاةِ الظُّهْرِ، وَحُمِلَ مِنْ بَابِ الْبَرِيدِ، وَاشْتَدَّ الزِّحَامُ،
Kemudian dishalatkan secara bersama-sama masyarakat Damsyik setelah shalat Zhuhur, dan (setelah selesai menyalatkannya) ditandu (jenazahnya) dari pintu al-Barid karena sangat berdesakannya
وَأَلْقَى النَّاسُ عَلَى نَعْشِهِ مَنَادِيلَهُمْ وَعَمَائِمَهُمْ لِلتَّبَرُّكِ،
Berebutan orang-orang melemparkan sapu tangan dan sorban mereka untuk bertabaruk dengan jenazahnya
وَصَارَ النَّعْشُ عَلَى الرُّءُوسِ، تَارَةً يَتَقَدَّمُ وَتَارَةً يَتَأَخَّرُ، وَخَرَجَ النَّاسُ مِنَ الْجَامِعِ مِنْ أَبْوَابِهِ كُلِّهَا مِنْ شِدَّةِ الزِّحَامِ،
Dan menjadikan kepala mereka di atas tandu, ada kalanya (tandu itu) di depan dan dibelakang (saking berebutannya)
َكَانَ الْمَعْظَمُ مِنَ الْأَبْوَابِ الْأَرْبَعَةِ بَابَ الْفَرَجِ الَّذِي أُخْرِجَتْ مِنْهُ الْجِنَازَةُ، وَبَابَ الْفَرَادِيسِ، وَبَابَ النَّصْرِ، وَبَابَ الْجَابِيَةِ،
Hal itu adalah peristiwa besar (yang terjadi) dari keempat pintu di mana dikeluarkannya jenazah beliau, yaitu pintu al-Faraj, pintu al-Faradis, pintu Nashir dan pintu al-Jabiyah
َعَظُمَ الْأَمْرُ بِسُوقِ الْخَيْلِ، وَتَقَدَّمَ لِلصَّلَاةِ عَلَيْهِ هُنَاكَ أَخُوهُ زَيْنُ الدِّينِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَحُمِلَ إِلَى مَقْبَرَةِ الصُّوفِيَّةِ، فَدُفِنَ إِلَى جَانِبِ أَخِيهِ شَرَفِ الدِّينِ عَبْدِ اللَّهِ، رَحِمَهُمَا اللَّهُ،
Dan besarnya masalah itu seperti (keramaian) di pasar kuda, dan yang pertama menyalatkan beliau adalah saudarnya Zainuddin Abdurrahman, dan dibawa (jenazahnya) ke pemakaman orang-orang sufi, dan dikuburkan disebelah saudaranya Syarifuddin Abdullah, semoga Allah merahmati mereka “
Inilah keterangan yang seterang matahari, yang hanya diimani oleh orang-orang yang berakal dan berwawasan luas. Hidayah itu tidak datang hanya dari satu jilid buku yang anda baca. Tetapi boleh jadi setelah ratusan bahkan ribuan jilid buku anda baca. Kita dilahirkan bukan untuk menjadi orang yang sempurna, tetapi minimal kita telah berusaha untuk menyelesaikan studi kesungguhan dalam mendapatkan dan menyelami berbagai rahasia ilmu-Nya yang disimpan dalam ribuan kitab para ulama. Hidayah hanya milik-Nya semata, sedangkan kesesatan hanya milik orang-orang yang malas dalam mencari akhir dari kebenaran itu sendiri. 
Dalam riwayat lain dikatakan :
عَنْ عَلِى بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ : سَمِعْتُ الشَّافِعِى رحمه الله يَقوُلُ : اِنِّى َلأَ تَبَرَّكُ بِأَبِى حِنِيْفَةَ وَأَجِيءُ اِلَى قَبْرِهِ
كُلَّ يَوْمٍ يَعْنِى زَائِرًا, فَأِذَا عَرَضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَأَتَيْتُ اِلَى قَبْرِهِ وَسْأَلْتُ اللهَ الْحَاجَةَ عِنْدَهُ
فَمَاتَعْبُدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى
“ Dari Ali bin maimun, berkata, “ Aku mendengar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “ Aku selalu bertabaruk dengan Abu Hanifah dan mendatangi makamnya dengan berziarah setiap hari. Apabila aku mempunyai hajat, maka aku menunaikan shalat dua raka’at, kemudian aku mendatangi makam beliau, sehingga tidak lama kemudian hajatku segera terkabul “.( Tarikh Baghdadi 1/ 123, Al-Khatib al-Baghdadi dengan sanad hadits shahih)


Dari hadits ini ternyata Imam Mujtahid sekelas dan seagung Imam Asy-Syafi’i yang notabene seorang Waliyullah pun tetap berziarah kubur kepada makamnya waliyullah lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah. Bahkan, beliau pun bertabaruk dengan berdoa di sisi makamnya, bukan berdoa di dalam masjid Kufah.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad putranya Imam Ahmad bin Hanbal :
سَأَلْتَهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ اِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ : لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ
“ Aku bertanya kepada ayahanda, al-Imam Ahmad bin Hanbal tentang seorang laki-laki mengusap mimbar Nabi Saw, bermaksud bertabarruk dengannya, ia mencium mimbar itu, dan melakukan hal yang sama terhadap makam Nabi Saw atau yang seperti itu dengan maksud bertaqarrub kepada Allah Jalla wa ‘Azza. Beliau menjawab, “ Boleh “. (al-‘Allal wa Ma’rifat al-Rijal 2 / 492, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (sanad hadits shahih)
Di dalam hadits inipun begitu jelas dan halalnya seseorang bertabaruk dengan mengusap atau mencium barang peninggalan dan makam Nabi Saw, dengan maksud bertaqarrub kepada Allah Swt. Sedangkan bertabaruk kepada Nabi Saw atau kepada orang-orang saleh hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mencintai orang yang ditabarukinya. Hal inilah yang mendatangkan kecintaan dan kerinduan terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang saleh.
Imam Abu Ali al-Hasan bin Ibrahim al-Khallal, salah satu pemuka dan imam mujtahid mazhab Hanbali pun berkata, :
مَا هَمَّنِي أَمْرٌ وَقَصَدْتُ قَبْرَ مُوسَى بْنِ جَعْفَرٍ يَعْنِى الْكَاظِمَ فَتَوَسَّلْتُ بِهِ اِلاَّ سَهَّلَ اللهُ لِى مَا أَحِبُّ
“ Tidaklah menyulitkan kepadaku perkara dan aku mendatangi makam Musa al-Kazhim bin Ja’far ash-Shadiq, dan aku bertawasul dengannya, kecuali Allah memudahkan apa yang aku sukai (inginkan) “.(Tarikh Baghdadi 1 / 120, al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi)

Jelaslah, bahwa bukan orang awam saja yang membutuhkan keberkahan dari Allah melalui ziarah makam kepada wali-Nya, tetapi para ulama dan wali lainnya pun tetap membutuhkan hal yang serupa.
Imam Abu Ishaq bin al-Harbi (198 – 285 H) seorang hafizh, faqih dan mujtahid, bahkan  banyak ulama yang mensejajarkannya dengan Imam Ahmad bin Hanbal, beliau telah berkata :
قَبْرُ مَعْرُوفٍ يَعْنِى اَلْكَرْخِيَ التِّرْيَاقُ الْمُجَرَّبُ
“ Makam Ma’ruf al-Karkhi adalah penawar yang mujarab “.(Tarikh Baghdadi 1 / 122, al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi)

Abdus Salam bin Yazid berkonsultasi kepada Ibn Bakun tentang hukum mengambil tanah pekuburan untuk tujuan tabarruk. “ Boleh “ jawab Ibnu Bakun. Orang-orang akan senantiasa tabarruk kepada kuburan para ulama, para syuhada, dan orang-orang saleh.   Zaman dahulu juga seperti itu. Orang-orang mengambil tanah kuburan Hamzah bin Abdul Muthalib “. (Wafa al-Wafa , 1/69)
Al-Qadhi Iyadh Al-Makki, dalam Al-Syifa beliau mengatakan, “ Pantas rasanya daerah yang dihujani wahyu, disinggahi berulang kali oleh malaikat Jibril dan Mikail, dijadikan tempat mulainya mi’raj oleh para malaikat dan roh kudus, pelatarannya diramai- kan dengan takdis dan tasbih, tanahnya memendam jasad manusia terbaik, darinya agama Allah dan sunnah Nabi-Nya mula-mula menyebar, merupakan tempat pelajaran dan turun- nya berbagai ayat, dibangunnya masjid, didirikannya shalat, diperlihatkannya berbagai keutamaan dan kebaikan, dipertontonkannya  berbagai  bukti dan mukjizat, ditetapkannya  ritual-ritual  agama  dan  syari’at kaum muslimin, merupakan tempat tinggal junjungan para utusan dan penutup para  nabi,  tempat  memancarnya  cahaya  kenabian dan pemberhen- tiannya, tempat di turunkannya misi kerasulan, merupakan bumi pertama yang tanahnya tersentuh kulit manusia pilihan, pantas rasanya untuk di agungkan tanahnya, dihirup hembusan anginnya, dicium bangunannya dan dinding-dindingnya....” (Tabarruk , Ceraplah Berkah (Energi Positif) dari Nabi dan Orang Saleh Prof. Shobah Ali Al-Bayati hal. 93-95 / Pustaka Iiman cet,I  2008)
Musa bin Uqbah mengatakan, “ Aku perhatikan Salim bin Abdullah mencari-cari tempat di sepanjang jalan yang pernah dipakai shalat oleh Rasulullah Saw, lalu dia shalat di sana. Dia menceritakan ayahnya shalat di suatu tempat karena pernah melihat Rasulullah Saw melakukannya. Nafi meriwayatkan bahwa Ibn Umar mendirikan shalat di tempat-tempat yang pernah dipakai shalat oleh Rasulullah Saw. Ketika aku tanya Salim bin Abdullah perihal tempat-tempat itu, jawabnya sama dengan yang dikemukakan oleh Nafi, kecuali satu tempat, yaitu masjid di Syaraf al-Rauha “. (Shahih Bukhari 1 / 130, Kanzul Ummal 6 / 247)
Ibn Hajar menjelaskan, ‘ Perbuatan Ibn Umar menyiratkan anjuran untuk menelusuri peninggalan Rasulullah Saw dan tabarruk kepadanya “. (Fath al-Bari, Ibnu Hajar 1 / 469)
Ibn Al-Atsir mengatakan : “ Abdullah bin Umar sering mencari-cari bekas-bekas peninggalan Rasulullah Saw. Dia singgahi semua persinggahan Rasulullah Saw dan dia shalat di semua tempat yang pernah dipakai shalat oleh Rasulullah saw. Sampai-sampai peristira- hatan beliau di sebuah pohon pun disinggahinya. Tidak hanya di singgahi,  pohon itu pun disiraminya supaya tidak mengering “.(Usa al-Ghabah, 3 / 34. biografi Abdullah bin Umar nomor. 3080)
Al-Waqidi meriwayatkan dari Aflah bin Humaid bahwa ayahnya berkata : “ Ibnu Umar menceritakan bahwa Nabi Saw pernah duduk untuk istirahat di bawah sebuah pohon.  Dia menaburkan pupuk di akarnya supaya tetap hidup “. (Maghazi , al-Waqidi 2 / 1096, bab. Haki Wada)
Bahkan dengan sangat nyata, al-Quran menceritakan bagaimana “ Tabut “ dijadikan sebagai salah satu “ Benda Pusaka “ bagi Nabi Musa a.s dan kaumnya. Allah berfirman :
وَقالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسى وَآلُ هارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلائِكَةُ إِنَّ فِي ذلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“ Dan nabi meeka mengatakan kepada mereka (kaumnya) “ Sesungguhnya tanda ia (Jalut) akan menjadi raja ialah kembalinya Tabut kepda kalian. Di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu, dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan Harun. Tabut itu dibawa oleh malaikat. Sungguh, pada hal yang demikian itu terdapat (tanda kebesaran-Nya) bagimu, jika kamu (termasuk) orang yang beriman “. (QS. 2 / al-Baqarah : 248)

Tentang penafsiran ayat ini, Imam Ismail Haqqi al-Buruswi dalam tafsirnya “ Ruhul Bayan “ berkata : “ Apabila Nabi Musa a.s. akan berperang, maka Tabut tersebut disimpan pada barisan paling depan, sehingga hati pasukannya menjadi tenang dengan adanya washilah Tabut yang bersama dengan mereka. Selama Bani Israil menjaga dan meng- agungkan Tabut, maka mereka senantiasa mendapat kedudukan terhormat dan ber- kecukupan. Dan ketika mereka melecehkan Tabut itu, maka Allah akan mencabut keberkahan dari bani Israil itu akibat dari pelecahan mereka terhadapnya “.
Saya katakan, bahwa dengan mengedepankan Tabut ketika akan berperang tidak berarti mengedepankan makhluk dibanding Allah, karena adanya makhluk (Tabut) tersebut diadakan oleh-Nya dan menjadi washilah pertolongan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Allah dengan Kuasa dan kehendak-Nya menjadi Tabut tersebut memiliki pamor dan kekuataan yang luar biasa. Begitu pula menjadi hak Allah ketika Dia menjadikan barang-barang lainnya memiliki pamor dan kekuataan yang serupa dengan Tabut tersebut, misalnya : Tongkat Nabi Musa a.s yang mampu berubah menjadi ular raksasa dan mampu mengeluarkan cahaya putih, atau keris-keris yang mampu mengeluarkan kekuataan mistis luar biasa. Semua itu hanyalah karunia-Nya semata, dan untuk membuktikan sebagian dari tanda-randa kekuasaan-Nya.
Bahkan Tabut di zaman sekarang ini telah berbentuk menjadi sebuah media tekhnologi yang super canggih yang dapat menentramkan seluruh warga negaranya, sebut saja : radar, satelit, bom nuklir, tank tempur, kapal selam canggih, pesawat terbang super canggih dan lain sebagainya.  

No comments:

Post a Comment