HAK KEBEBASAN MEMILIH DALAM ISLAM
Assalamualaikum Wr.Wb.
Agama Islam adalah agama
yang begitu memberikan kebebasan dalam memilih apa yang diyakininya sebagai
sebuah kebenaran, walaupun pada akhirnya hal itu merupakan kesalahan dan
kesesatan. Di tengah kemajuan yang terasa jumud, dan kejumudan yang terlalu
maju serta kebebasan yang salah kaprah
telah menjadi sebuah wabah penyakit yang sangat berbahaya bagi Islam dan
pemeluknya.
Semua orang berbicara
tentang hak asasi manusia. Akan tetapi hak asasi manusia yang berasal
darimanakah yang akan kita ikuti ? Apakah yang berasal dari orang-orang yang
senantiasa membebaskan semua pikirannya menjadi bola panas, ataukah yang
berasal dari orang-orang yang terlalu statis dalam pola berpikirnya ataukah
yang berasal dari orang-orang yang terlalu memaksakan buah pikirannya ataukah
yang berasal dari orang-orang yang berpikiran ekstrem ataukah yang berasal dari
orang-orang yang berpikir dan bertindak moderat ?
Apakah orang yang ada di
dunia akan menerima seseorang yang menyampaikan kepadanya sebuah pengalaman
atau pendapat mengenai arsitek, kedokteran, farmasi, dan sebagainya sedang dia
adalah orang yang tidak tahu mengenai berbagai bidang spesialisasi dan pengetahuan
yang mendetail ini ? Begitu pula halnya dengan ijtihad, sesungguhnya hukum
syariat itu ada dua macam yaitu yang berkaitan dengan akidah dan yang berkaitan
dengan amal perbuatan.
Imam al-Ghazali pernah
menjelaskannya sbb : “ Seorang hamba tidak diperintahkan untuk melakukan
sesuatu yang paling benar di sisi Allah, karena hal itu tidak mungkin dapat
dilakukannya. Dan memang tidak ada perintah (paksaan) melakukan sesuatu di luar
kemampuannya. Mereka hanya diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang menurut
dugaan/keyakinannya benar, sebagaimana mereka tidak diperitahkan melakukan
shalat dengan menggunakan pakaian suci, melainkan sebatas dengan pakaian yang
mereka anggap suci. Seandainya mereka ingat bahwa pakaian yang mereka
kenakan untuk shalat itu najis, mereka tidak wajib mengqadla shalat tadi. Sebab
Rasulullah Saw, pernah melepas sendalnya di tengah-tengah beliau shalat, ketika
Jibril memberitahu bahwa di sandal beliau ada kotoran. Beliau tidak mengulangi
shalatnya dari awal lagi.
Begitu pula, seorang
hamba tidak diperintahkan shalat menghadap kiblat, melainkan sebatas menghadap
arah yang di duga lurus dengan kiblat, dengan cara mencari pertunjuk melalui gunung,
bintang, matahari, dan sebagainya. Kalau ia melakukan semua itu dengan benar,
maka ia akan mendapatkan dua pahala di sisi Allah Swt, tetapi kalau salah ia
akan mendapat satu pahala.
Dalam persoalan lain
misalnya, mereka tidak diperintahkan memberikan zakat kepada fakir miskin,
melainkan kepada orang yang diduga fakir dan miskin, sebab hal itu tidak
bersifat inderawi semata. Para hakim, dalam kasus pembunuhan dan pernikahan
misal- nya, mereka tidak diperintahkan untuk mencari saksi yang diketahui
kejujurannya, tetapi se- batas saksi yang diduga jujur. Apabila seorang hakim
boleh memutuskan hukuman mati kepada terdakwa, di mana dakwaan tersebut mungkin
benar dan mungkin salah, tapi diputuskan atas kejujuran para saksi, lalu
mengapa seseorang tidak boleh shalat dengan hasil dugaan yang didukung bukti-bukti
ketika berijtihad ? Lalu mengapa seseorang tidak boleh berbeda mazhab ?
Seseorang diizinkan
untuk berbeda mazhab yang mana mazhab tersebut menurut dugaannya benar, akan
tetapi ada hal-hal lainnya yang harus disepakati dalam kehidupan sosial
bermasyarakat. Yaitu, sikap saling menghargai dan menghormati antar satu dengan
yang lainnya. Tidak penting apakah ia menjadi seorang Ahlussunnah, Syiah,
Wahabiah, Mutazilah, Ahmadiyah atau yang lainnya. Karena itu adalah pilihannya.
Dan ketika sese- orang telah mengambil pilihannya yang berbeda dengan kita
mengapa kita jadi sewot dan memperlihatan sikap-sikap yang ekstrem ?
Akan tetapi semua hal
itu harus dilandasi dengan norma agama yang qath’i yang tidak boleh dilanggar
oleh siapapun. Misalnya di dalam al-Quran Allah Swt berfirman :
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ
“ Dan janganlah
kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah
(berhala-berhala) , karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa ilmu “ (QS. 6 / al-An’am : 108)
Ayat ini dengan tegas
melarang dengan keras untuk mencaci maki patung-patung berhala, karena para
pengikutnya akan mencaci maki Allah secara berlebihan. Ini adalah bukti
tolerasi yang begitu tinggi yang Allah ajarankan kepada hamba-hamba-Nya. Akan
tetapi sangat aneh apabila hamba-hamba-Nya saling mencaci-maki sebagian tokoh
yang dimuliakan oleh golongan lain dengan dasar sakit hati, hasad dan dendam.
Akan tetapi setiap
golongan akan teriris hatinya ketika keyakinan mereka dicemooh- kan, dihina dan
amalan mereka divonis sebagai amalan ahli neraka. Pilihan telah dibuat dan
biarkanlah pilihan itu berkembang dengan sendirinya. Tidak ada satupun kekuatan
yang mampu menghentikan kehendak-Nya yang telah tertulis secara abadi di dalam
kitab suci-Nya. Hormatilah pilihan orang lain sebagaimana mereka pun harus
menghormati pilihan kita. Dan ketika mereka mulai membuat berbagai fitnah keji,
maka sudah waktunya bagi kita untuk menegakkan keadilan dengan jalan yang kita
mampu.
KH. Alawi Nurul Alam
Albantani, Bandung 13 Mei 2015
No comments:
Post a Comment