Ada beberapa golongan yang keukeuh bahwa Indonesia harus menjadi
negara yang bersyariat atau berideologi Islam secara total. Sebut saja
orang-orang dari kalangan HTI dan sekutunya. Mereka mengatakan bahwa hukum di
negara Indonesia adalah hukum thagut. Tetapi yang aneh dan terasa bodoh,
walaupun mereka orang-orang yang berpendidikan adalah, kalaulah Indonesia
berhukum kepada thagut mengapa mereka masih menggunakan jasa bank, menggunakan
mesin ATM untuk mengambil uang, masih menggunakan jasa para pengacara, masih
senang menonton televisi dan konser-konser musik dangdut atau musik rock, dan
hal lainnya ?
Mereka menggunakan tafsiran Barat dalam mengartikan kata “Nasionalisme“
itu, padahal kalau mereka cerdas sudah barangtentu tidak perlu menggunakan
penafsiran kaum Barat yang notabene produk kafir. Ambil saja penafsiran
berdasarkan al-Quran dan al-Hadits yang selama ini mereka jargonkan, atau
mungkin saja para ulama mereka belum mendapat- kan ayat dan haditsnya ? Yang
lebih menariknya, produk yang mereka (HTI) bawa adalah produk yang gagal di
Jazirah Arab sana. Jadi apa dalilnya wajib membawa produk gagal ke bumi
Indonesia ?
Nabi Saw itu diperintahkan oleh Allah untuk menyeru dan mengajak manusia
masuk ke dalam agama Islam, bukan untuk mendirikan negara Islam. Jadi bagaimana
mungkin mendirikan negara Islam bisa menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh HTI
sedangkan Allah dan Nabi-Nya sendiri tidak mewajibkan bagi seluruh umatnya ?
Karena menganggap cinta tanah air atau Nasionalisme itu adalah bid’ah,
maka mereka tidak segan-segan membuat kerusuhan, fitnah, peperangan dan lain
sebagainya. Yang anehnya mereka ini lebih mencintai negara orang lain, sebut
saja rezim dajjal Kerajaan Arab Saudi, dan para terorisme yang mengatasnamakan
agama Islam seperti Taliban, al-Qaeda, al-Nusra dan ISIS.
Sungguh aneh, mereka hidup dan menghirup udara Indonesia, makan, minum
dan tidur bahkan berkeluarga dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, tetapi
lebih men- cintai negara lain yang tidak memberikan apa yang diberikan bumi
pertiwi ini kepada mereka. Jadi dimanakah letak dan hubungan rasionalitasnya ?
Tidak sedikit para Kyai NU yang resah dengan pemikiran yang dekstrem ala
HTI ini, karena di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan “ Darul mafasid wa
jalbul mashalih “ yang berarti menghindarkan kerusakan dan membawa
kebaikan. Juga dengan cara pandang legal -formal ala HTI ini harus dikaji dari
berbagai aspek kemaslahatan, karena Islam yang dinginkan oleh Allah dan
Rasul-Nya adalah Islam yang membawa rahmat dan kelanggengan, bukan Islam yang
menghalalkan segala cara dan membawa petaka. Disinilah perlunya pergeseran dari
fiqh formalistik menjadi fiqh etik yang lebih mencerminkan kesejukan dan
kelanggengan bagi Islam itu sendiri.
Pikiran-pikiran untuk menegarakan hukum Islam (fiqh) akan mengganggu
Konstitusi NKRI dan prinsip-prinsip demokrasi substansial yang mendasarkan diri
pada hak-hak asasi manusia universal. Para ulama NU meyakini bahwa penerimaan
atas Pancasila merupakan perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan.
Pancasila juga diyakini sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam. Demikian
ini merupakan tinjauan dari sisi relasi Agama dan Negara dalam pandangan
organisasi massa terbesar di Indonesia tersebut. 1
Dalam kaidah ushul fiqh lainnya dikatakan “ al-Ijtihadu laa yunqadhu
bil ijtihadi “ yang berarti : “ Ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan
oleh ijtihad orang lain “.2 Perumusan Pancasila dan UUD 1945 adalah hasil ijtihad para pendiri bangsa
dan para ulama. Dan juga harus dipahami bahwa “Hasil ijtihad seorang fuqaha
mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi sesuai dengan ruang dan
waktu yang berbeda“. Begitu pula dengan hasil ijtihad para ulama NU dan para
pendiri bangsa ini sesuai dengan ruang dan waktunya, sedangkan ijtihad para
ulama HTI tidak sesuai dengan ruang dan waktunya untuk Indonesia pada saat ini.
Bisa saja ijtihad para ulama HTI ini sesuai dengan ruang dan waktunya bagi
Indonesia apakah itu 10.000 atau 20.000 tahun lagi, kita lihat saja nanti.
Seiring aksi terorisme dan kekerasan yang mengatas-namakan agama, Islam
menjadi lebih sering dipandang secara stereotipe bahwa ia adalah agama
yang mengajarkan kekera- san. Padahal Islam adalah agama yang secara
terang-terangan membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah rahmat
(kasih sayang) bagi seluruh alam, bukan ancaman yang mena- kutkan bagi seluruh
alam. 3
Haidar Bagir di dalam bukunya “Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan“
secara tegas menyatakan : “ Bahwa Islam bukanlah agama yang menekankan
kekerasan atau kebrutalan, melainkan agama cinta dan kebahagiaan“. Sebagaimana
fungsi agama sebagai pelipur lara dan pemuasan dahaga spiritualitas serta
siraman rohani, Islam juga menjadi tempat kembali bagi pemeluknya untuk
merengkuh cinta dan kebahagiaan. Artinya, Islam menjadi tujuan cinta dan
kebahagiaan sekaligus mengajarkan ajaran cinta dan kebahagiaan pula.
Sebagaimana esensi dari kehidupan yang merupakan perjalanan cinta,
hendaknya hidup ini memang menggelorakan cinta. Terlebih lagi bahwa umat
manusia adalah umat yang beragama, dan Islam merupakan agama yang paling banyak
dipeluk oleh umat manusia, seharusnya memang hidup di dunia ini penuh cinta dan
bahagia sehingga perdamaian antara umat manusia bisa tercapai.
Konsep yang demikian ini adalah konsep keagamaan Islam sebagaimana
esensinya. Jika demikian halnya, tidak ada dalil tentang kebrutalan yang
diajarkan oleh agama Islam. Terlebih lagi, aksi terorisme yang dianggap sebagai
jalan jihad untuk memuliakan agama Tuhan terbukti tidak berdasar secara kuat
karena Islam tidak mengajarkan kebrutalan sama sekali. Tetapi walaupun begitu Islam mengajarkan bagaimana
caranya membela diri ketika ajarannya yang mulia dan agung diracuni oleh
akal-akal dangkal, sempit dan membawa misi perpecahan yang didalangi oleh paham
liberalisme, radikalisme, dan wahabisme.
Benar dugaan agamawan dunia dalam “Deklarasi Kyoto“ oleh World Conference
of Religion for Peace (WCRP), di Kyoto, Jepang 29 Agustus 2006 memilih Ketua
Umum PBNU (waktu itu), Dr. KH. A.Hasyim Muzadi menjadi salah satu Presiden WCRP
dari Sembilan tokoh agama dunia. Deklarasi Kyoto menegaskan bahwa kaum
multi-agama harus menjadi pelaku perdamaian, bukan masuk blok konflik. Menurut
WCRP, konflik agama itu tidak ada, agama hanya
dimanfaatkan untuk hegemoni politik dan ekonomi yang bukan untuk tujuan agama
itu sendiri.
Agama telah dibajak para ekstrimis radikalis dan media massa. Ekstrimis radikalis memainkan agama mendorong kekerasan dan
kebencian serta menciptakan konflik sek- tarian yang bertentangan dengan
keyakinan agama itu sendiri. Para politisi memanipulasi dan
memanfaatkan agama dalam selubung perbedaan-perbedaan sektarian untuk kepen-
tingan meraih kekuasaan, sehingga menyeret agama ke dalam pertentangan sosial,
ekonomi, dan politik. Media massa mengambinghitamkan agama dalam situasi
konflik lewat pemberi- taan-pemberitaan yang tidak layak dan tidak cover
both side (dua arah). Dalam hal ini NU telah
membuktikan ke dunia, bahwa NU mampu hidup berdampingan secara dinamis dalam
masyarakat plural sebagaimana Nabi Saw, para sahabat, dan ulama salaf hidup
dizamannya. Jadi bagaimana mungkin orang yang mengklaim
dirinya sebagai pengikut ulama salaf, tetapi tidak bisa hidup berdampingan
secara plural dengan umat manusia lainnya. Bukankah ini sebuah dusta dan
pengelabuan yang teramat besar terhadap Islam ?
Ketua Umum PBNU (waktu itu), Dr.KH.A.Hasyim Muzadi mengibaratkan posisi
NU sekarang berada dalam “kepungan“ ideologi transnasional : Radikalisme Timur
Tengah dan liberalisme Barat. Radikalisme Timur Tengah
dan liberalisme Barat sama-sama berpotensi merusak NU dan NKRI. Bahkan KH. Yusuf
Hasyim sebelum beliau berpulang ke rahmatullah berwasiat “ NU harus
dapat memotong laju gerak ideologi kekerasan dari Timur Tengah dan liberalisme
Barat. Karena kedua-duanya sama-sama akan merusak NU dan NKRI.
Sementara menurut Dr. KH. Said Aqil Siraj, ideologi transnasional dapat
merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi transnasional akan
menggeret agama masuk dalam pusaran ketegangan benturan sosial politik. Pada
gilirannya nanti, ia akan mereduksi substansi Islam sebagai agama cinta damai
dan transendental serta melepaskan dogmatisme agama. Sedangkan gerakan radikal akan menghilangkan peran agama
sebagai rahmat. Karena itulah kedua ideologi ini tidak bermanfaat dan bahkan
membahayakan NKRI “, tegas KH. Said Aqil Siroj.
KH. Hasyim Muzadi berpesan agar warga NU terlindungi dan dapat
membentengi diri dari serangan dan rongrongan paham di luar Aswaja, maka perlu
terus menerus mengkaji Fikroh Nahdliyah (Pemikiran ala Nahdliyin) agar
menjadi matang, yang selanjutnya menjadi pedoman warga Nahdliyin.
Kelompok Wahabi ini memiliki ciri yang melekat, yaitu : tidak menghormati
perbe- daan kondisi kenegaraan dan sosial politik serta keragaman budaya
setempat. Mereka hanya mengambil alih atau menerapkan ulang suatu metodologi
atau paham tanpa menghargai kebudayaan setempat.
Di sisi lain, liberalisasi pemikiran dalam agama, menggunakan
ukuran-ukuran Barat, sehingga posisi-posisi fiqh diganti masholihul mursalah
(kaidah mengenai kemaslahatan) yang tanpa manhaj (metode). Maka lahirlah hermeneutika
(penafsiran) dengan ukuran-ukuran ammah (masyarakat) yang tidak seimbang
antara pemikiran dengan mashlahah (kesejahteraan) hidup.
Pengamat gerakan Islam
Internasional, Agus Maftuh Abegebriel menyatakan ada konspirasi kuat untuk
memecahbelah umat Islam dewasa ini lewat ideologi transnasional. Hukum
konspirasi itu menyebutkan : ideologi fundamentalisme - radikalisme dari Timur
tengah dengan ideologi liberalisme dari Barat bersekongkol mengoyak ukhuwah
Islamiyah –dan persatuan-kesatuan NKRI. Mantan Wakil Rais Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amin menyebutkan Islam Liberal
kini dianggap sebagai ancaman yang akan merusak NU. Apa sebab ? Karena gerakan
ini mengarah kepada liberalisme berpikir yang berlebihan, yang menyebabkan
terputusnya kerangka akademik baik secara manhaji maupun secara qauli.
Kaum liberal memperlihatkan semangat untuk melepaskan dogmatisme dalam agama,
tanpa manhaj.
Liberalisme adalah harakah bila manhajin, walaa hududin, walaa
dhawabith, yaitu suatu gerakan yang tanpa manhaj atau tanpa metodologi, dan
cenderung liberal, lepas dari nash qath’i “, ujar (mantan) anggota Dewan
Pertimbangan Keagamaan, Presiden Bambang Susilo Yudhoyono ini. Menurut Kyai
Ma’ruf, liberalisme keagamaan membahayakan agama itu sendiri, karena akan
melepaskan aspek dogma dalam agama dan yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya reduksi keyakinan secara bertahap dan menganggap tidak ada lagi standarisasi
ibadah mahdhah.
Gerakan liberal adalah kelanjutan dari paham Mu’tazilah yang menjadikan
akal sebagai panglima di atas al-Quran dan Hadits. Karena
itu, lanjut Kyai Ma’ruf gerakan liberal harus dihabisi di tubuh NU, karena liberalisme akan memunculkan standar baru tentang konsep mashlahah,
demokrasi dan HAM. Liberalisme akan
mengaburkan dogmatis dalam agama. Karena itu, jelas Kyai Ma’ruf, gerakan militan Islam atau
fundamentalisme Islam merupakan kelanjutan dari gerakan Khawarij. Sedangkan gerakan liberal adalah kelanjutan
dari paham Mu’tazilah. Keduanya adalah gerakan tataruf (ekstrim)
dan keduanya tidak membawa manfaat bahkan akan merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara, “ papar Kyai Ma’ruf.
Mantan Wakil Rais Aam, Prof.Dr.KH.Tolchah Hasan memaparkan bahwa gerakan
Islam fundamentalis yang berasal dari Timur Tengah yang masuk ke Indonesia
diantaranya Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jihadi, Dakwah Salafi, Salafi
Sururi, Jamaah Tabligh dan Syiah.
Menurut Agus Maftuh, jalur Tarbiyah memasuki Indonesia pada dekade
1980-an. Pengembangan Ikhwan Tarbiyah di Indonesia lewat tiga jalur : kelompok
usrah di kampus, alumni Timur Tengah dan kampus LIPIA Jakarta. Kelompok ini belakangan mendirikan PKS.
Pengamat gerakan Islam timur tengah, KH. Drs. Imam Ghazali MA,
menyebutkan gerakan Islam Ideologis yang cukup intensif di Indonesia sekarang
adalah Hizbut Tahrir (HT). Perbedaan HT dengan Ikhwan terletak pada
penolakannya terhadap demokrasi dan ---tekanannya pada paham kekhalifahan. Metode perjuangan HT ada tiga tahap : kaderisasi,
sosialisasi, dan merebut kekuasaan. Agenda utamanya
adalah mewujudkan proyek kekhalifahan dunia,” ujar dosen IAIN Sunan Ampel
Surabaya ini.
Karena itu, NU dan komponen bangsa lainnya perlu merapatkan barisan
menyamakan visi menghadapi agenda asing yang akan memecah belah NKRI dan
mengganti ideo- logi Pancasila. Yang lebih berbahaya
lagi adalah gerakan yang menjadikan agama sebagai ideologi politik, maka dalam istilah Sayyidina Ali r.a mereka didefinisikan sebagai “ Huwa
kalimatul haq wa uriduha bil bathil “ dengan artian, sebuah gerakan yang
menampilkan jorgan indah, tetapi hakikatnya tersimpan agenda yang batil.
Sebagaimana dikatakan di dalam hadits :
سَتَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءٌ مِنْ بَعْدِي يَعِطُونَ بِالْحِكْمَةِ
عَلَى مَنَابِرِ، فَإِذَا نَزَلُوا اخْتَلَسْتَ مِنْهُمْ، وَقُلُوبُهُمْ أَنْتَنُ
مِنَ الْجِيْفِ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذّبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ
فَلَيْسَ مِنِّي
“ Sesungguhnya akan
datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Mereka memberi
petunjuk dengan bijaksana di atas mimbar, tetapi bila telah turun mimbar,
mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk daripada
bangkai. Barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongannya atau
membantu mereka dalam kezalimannya, maka mereka bukan umatku “.
Orang-orang
seperti inilah yang menghancurkan peradaban, masyarakat, bangsa dan negara-
nya. Ribuan ayat, hadits dan janji-janji manis mereka sampaikan kepada masya-
rakat, tetapi dibalik itu mereka menyiapkan niat busuk dan pengelabuan kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang mengamini dan mengimani mereka serta
membantunya, maka mereka keluar dari agama Islam (murtad) sebagaimana sabda
Nabi Saw :
مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ
وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ
“ Barangsiapa berjalan bersama seorang
yang zalim untuk mambantunya dan dia mengetahui bahwa orang itu zalim, maka dia
telah keluar dari agama Islam (Murtad) “al-Mu’jam al-Ausath 7/80, al-Mu’jam al-Kabir,
ath-Thabarani 19 / 160, as-Sunan
al-Waridah fil Fitan, ad-Dani 3/523)
Membantu satu orang yang
zalim saja sudah membuat keimanan kita keluar tanpa kita sadari, apalagi
membantu sebuah partai atau sebuah ormas yang telah terbongkar kebusukan dan
kejahatan misi dan tujuannya sebagaimana yang telah dijelaskan.
Oleh
karena itu lihatlah siapa sahabatmu, karena agama kita ada kalanya berada pada
mereka, sebagaimana sabda Nabi Saw :
الرَّجُلُ
عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“ Seseorang itu akan tetap berada pada agama temannya, maka lihatlah
siapa yang menjadi temanmu“
Jauh lebih lanjut, KH. Hasyim Muzadi menjelaskan tentang Islam sebagai
ideologi dengan Islam sebagai agama sebagai berikut : “Bahwa agama meliputi
aqidah dan syariah. Kita semua sudah memahami. Yang kita persoalkan adalah
penerapan agama secara kondisional dalam sebuah negara, itu memakai metode apa
? Metode perang, metode marah, metode dakwah dan sebagainya. Ini yang kita
persoalkan. Mengenai definisi agama
yang merupakan aqidatun, wa syari’atun wa mu’amalatun wa akhlaqun (agama adalah akidah, syariat, mu’amalah dan akhlak) seperti yang
disebutkan dalam Fathul Qarib atau Taqrib, sudah menjadi bacaan
keseharian orang NU di pesantren-pesantren.
Persoalannya, bagaimana kita membawa agama di dalam stelsel hukum
dan stelsel ideologi Pancasila seperti Indonesia, yang menjamin agama
jalan, tetapi menjamin negara Indonesia tidak pecah. Kalau hanya bisa menjamin Islam jalan, tetapi akibatnya membubar- kan
NKRI, siapa saja bisa (seperti DI/NII red.). Atau sebaliknya, tidak membawa
agama sama sekali ke dalam sistem ideologi dan negara Indonesia, sudah banyak
yang melakukan (seperti PKI red.).
Perlu dibedakan secara tegas perbedaan antara agama, aliran dan ideologi.
Agama adalah bersifat samawi, berdimensi dunia-akhirat, dan bersifat universal
serta menyang- kut ajaran sepanjang masa. Oleh karenanya, agama tidak boleh
dibatasi oleh konsep negara, karena agama untuk seluruh dunia melalui proses
aktual.
Namun faktanya, pemahaman orang atau kelompok terhadap agama itu
berbeda-beda, dipengaruhi oleh kondisi saat itu, tingkat pemikiran, tingkat
kepentingan dan juga penyesuaian terhadap masalah-masalah lokal. Maka
terjadilah aliran, jadi aliran itu adalah
pemahaman seseorang terhadap agama, yang sebenarnya
tidak sama dan sebangun dengan seluruh agama itu sendiri, karena aliran itu
ternyata banyak.
Maka Sunni (ahlussunnah) dalam pengertian ini masuk kategori aliran,
karena Sunni menyangkut cara memahami agama. Sedang
ideologi, yang saya maksudkan adalah membawa agama itu dalam konteks realitas
sosial dan kenegaraan. Jadi ibarat pesawat ia sudah landing. Maka ketika
landing, banyak kepentingannya yang menyangkut di dalam- nya, termasuk
kepentingan kekuasaan, rivalitas dan sebagainya. Jadi yang
dimaksud ideologi itu adalah ideologi politik dan tata kemasyarakatan. Dus,
berarti ideologi ada dalam sepanjang sejarah.
Dalam kenyataan sehari-hari bahkan banyak yang bersangkut paut antara
aliran dan ideologi. Meski saling bertautan dan saling mempengaruhi antara
agama, aliran dan ideologi, tetapi sebenarnya di antara ketiganya bisa
dibedakan karena dimensinya berbeda-beda. Yang kita
persoalkan dalam konteks ini adalah ideologi politik dan sistem sosialnya bukan
aliran pahamnya. Jadi yang bermasalah di sini adalah ideologi politik atau
gerakan politiknya (sistem politik).
Bagi NU sendiri, sebenarnya tidak ada keberatan secara langsung terhadap
aliran-aliran keagamaan itu, tetapi akumulasi aliran ini akan membongkar
ideologi negara Panca- sila. Kalau Pancasila terbongkar, maka NKRI akan
terbongkar pula. Jadi aliran-aliran ini akan membuat semacam embrio semacam
itu, sudah terbukti di negara asal pihak-pihak yang melakukan political
movement tersebut.
Terbunuhnya Gamal Abdul Naser di Mesir misalnya, yang dituduh membunuh
adalah Ikhwanul Muslimin. Hizbut Tahrir di Jordan konflik dengan pemerintah
Jordan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di sana (sama seperti PKI
dan NII di Indonesia). Mujahidin di Afganistan berperang dengan Taliban.
Sunni-Syi’ah saling membunuh di Irak, yang gerakannya menjalar ke seluruh
daratan di Timur Tengah. Pasca terbunuhnya PM. Hariri di Lebanon Sunni-Syi’ah
di Syiria dan Lebanon masih terjadi pertikaian.
Apa yang dijelaskan oleh KH. Hasyim Muzadi ini cukup memberikan bukti
kongkrit kepada kita semua, bahwa kerusuhan dan peperangan berasal dari
gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan Islam, bukan aliran atau cara
pemahamannya dalam Islam. Seperti pertikaian
antara Sunni, Syi’ah dan Wahabi yang terjadi selama ini, adalah pertikaian
antara gerakan politiknya, bukan alirannya. Ditambah
dengan berbagai skenario musuh-musuh Islam untuk meng- adu domba antar
sektarian yang akan menghasilkan kemenangan gratis atau ongkos penjajahan
sebuah negara jauh lebih murah. Hal inilah yang tidak dipahami oleh mayoritas
kaum muslimin termasuk orang-orang yang begitu loyal terhadap gerakan
politiknya. Jadi tantangan yang NU hadapi sekarang ini jauh lebih dahsyat dan
lebih berbahaya daripada tantangan filosofis yang dihadapi Imam al-Ghazali di
zamannya.
Sudah 1400 tahun yang lalu Rasulullah Saw mengingatkan
kita dengan sabdanya :
لَا تَبْكُوا عَلَى الدِّينِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلَكِنِ
ابْكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ
“ Janganlah kalian bersedih jika
agama di urus oleh ahlinya, tetapi bersedihlah jika agama di urus oleh orang
yang bukan ahlinya “ (Musnad Ahmad 38/558, al-Mu’jam al-Ausath 1/94, 9/144, al-Mu’jam
al-Kabir 4/158, al-Mustadrak 4/560)
Dalam hadits lainnya dikatakan :
خِيَارُ أُمَّتِي
عُلَمَاؤُهَا وَخِيَارُ عُلَمَائِهَا خِيَارُهَا , أَلَا وَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ لِلْعَالِمِ
أَرْبَعِينَ ذَنْبًا قَبْلَ أَنْ يَغْفِرَ لِلْجَاهِلِ ذَنْبًا وَاحِدًا , أَلَا
وَإِنَّ الْعَالِمَ الرَّحِيمَ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّ نُورَهُ قَدْ
أَضَاءَ يَمْشِي فِيهِ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ كَمَا يُضِيءُ
الْكَوْكَبُ الدُّرِّيُّ
“ Sebaik-baiknya
umat adalah para ulamanya, dan sebaik-baik ulama adalah yang terbaik di antara
mereka, ketahuilah sesungguhnya Allah mengampuni mereka sebanyak 40 dosa
sebelum mereka beristighfar karena satu kesalahan mereka, dan sesungguhnya para
ulama yang pengasih menjadi penyelamat pada hari kiamat, dan sesungguhnya
cahaya mereka seterang matahari yang menyinari antara timur dan barat laksana
cahaya bintang Durriyu” (Hilyah al-Auliya, Abu Nu’aim 8/188)
Dalam kesempatan lain
KH. Ma’ruf Amin berkata : “Cara pandang NU dalam ber- mazhab secara substansial
tidak hanya tekstual, melainkan konstekstual. Tidak hanya qauli (tekstual)
tetapi juga manhajiy (metodologis). Sehingga pada tahun 1992 kita
melakukan gerakan yang kita sebut dengan dinamisasi pemikiran di kalangan NU.
Gerakan ini kemudian menjadi keputusan Munas Alim Ulama di Lampung. Periode ini
saya sebut dengan tajdidu al-fikrah (pembaruan pemikiran). Pembaruan ini
maksudnya adalah mengembalikan kepada karakteristik berpikir NU yang pertama.
Sebenarnya NU tidak statis, hanya pemahaman kita saja yang picik sehingga
melepaskan diri dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan berpikir tanpa
batas.
Masih soal Nasionalisme,
KH. Hasyim Muzadi pernah berkata : “ Mengapa NU tidak ada problem dengan
ideologi Pancasila ? Karena pendekatan yang dipakai NU tidak lewat perebutan
kekuasaan atau konflik. Terhadap nilai-nilai lokal yang sudah ada, NU tidak
konfrontatif dan berkonflik melainkan dengan melakukan proses akulturasi.
Dalam proses demokrasi
dan akulturasi itu, NU sepanjang perjuangannya di negeri ini selalu menghindari
formalisasi Islam dalam bentuk negara. Formalisasi Islam dalam bentuk negara
adalah problematika tersendiri. Sikap NU mengenai bentuk negara diambil
berdasarkan kesepakatan bersama oleh seluruh komponen bangsa yang majemuk
seperti Indonesia ini.
Ustad Ahmad Baso,
Pengurus LTN PBNU di dalam rubriknya berusaha menguraikan dan menjelaskan
tentang ideologi transnasional sebagai berikut : 22 “Sebutan
“trans-nasional“ merujuk kepada pergerakan ideologi-ideologi global, yang
melintasi batas-batas negara-bangsa. Ideologi-ideologi global tersebut bukan
hanya sebuah dakwah atau kampanye keyakinan, melainkan juga gerakan politik (political
movement) yang menggalang massa dan dukungan untuk mempengaruhi sebuah
kebijakan politik dalam suatu negara.
Jadi, dalam konteks
negara kita, ideologi-ideologi tersebut hadir sebagai gerakan politik yang
ingin mempengaruhi kebijakan negara dan pemerintahan. Arah dan tujuan mereka
bukan untuk kepentingan bangsa dan negara kita sendiri, tapi justru untuk
kepenti- ngan global.
Kelompok-kelompok
trans-nasional ini sering membenturkan dirinya dengan nasionalisme dan akar
kebangsaan kita yang majemuk. Mereka tidak suka dengan yang namanya akar
kebangsaan atau nasionalisme ini, karena memang mereka tidak berakar dalam
basis domestik bangsa dan negara kita.
Dengan kata lain, mereka
tidak mengenal Tanah Air bersama yang dipertahankan dan dibela mati-matian
seperti ketika para pendiri bangsa mendirikan bangsa ini dengan basis dan
kekuatan domestik. Ideologi-ideologi trans-nasional ini bukan hanya terlihat
dalam Islam, tetapi juga tampak pada agama lain.
Beragama dalam konteks
kebangsaan kita selalu terikat dengan tradisi dan akar kebangsaan kita yang
dinamis, terbuka dan majemuk. Perlu kita tanamkan kepada generasi -muda bangsa
ini bahwa Indonesia atau ke-Indonesia-an ini adalah umbrella atau payung
untuk semua, apa pun latar belakang agama, budaya, etnis atau sukunya.
Jangan sampai kita jadi
agen dari gerakan-gerakan dan ideologi trans-nasional itu. Karena kalau kita
hanya agen, maka itu bisa menjadi embrio perpecahan. Dan tidak lagi fokus bagi
penguatan kebangsaan dan akar nasionalisme kita. Bangsa kita jangan sampai
tercabik-cabik seperti yang kita lihat di Irak, Mindanao atau di Thailand
Selatan.
Sebagai penutup dalam
bab. ini mari kita pahami sekali lagi, bahwa gerakan yang mengatasnakan dakwah
Islam dan kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah atau yang mengajak untuk
kembali kepada ke-khilafahan merupakan sebuah usaha pengelabuan terhadap kaum
muslimin yang awam untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan ---yang
sah. Sehingga gerakan ekstrem yang mengatasnamakan agama ini (Wahabi Takfiri
dan Wahabi Khawarij) serta gerakan politik dengan mengerahkan massa seperti HTI
ataupun PKS dan bentukannya yang berusaha menguasai lembaga tinggi negara dan
keagamaan seperti MUI hadir sebagai gerakan politik yang ingin mempengaruhi
kebijakan negara dan pemerintahan Indonesia serta menghacurkan tradisi dan budaya
keagamaan ala NU.
No comments:
Post a Comment