Thursday, 14 May 2015

Apa Kata Kyai NU Tentang Nasionalisme dan Wahabisme


Ada beberapa golongan yang keukeuh bahwa Indonesia harus menjadi negara yang bersyariat atau berideologi Islam secara total. Sebut saja orang-orang dari kalangan HTI dan sekutunya. Mereka mengatakan bahwa hukum di negara Indonesia adalah hukum thagut. Tetapi yang aneh dan terasa bodoh, walaupun mereka orang-orang yang berpendidikan adalah, kalaulah Indonesia berhukum kepada thagut mengapa mereka masih menggunakan jasa bank, menggunakan mesin ATM untuk mengambil uang, masih menggunakan jasa para pengacara, masih senang menonton televisi dan konser-konser musik dangdut atau musik rock, dan hal lainnya ?
Mereka menggunakan tafsiran Barat dalam mengartikan kata “Nasionalisme“ itu, padahal kalau mereka cerdas sudah barangtentu tidak perlu menggunakan penafsiran kaum Barat yang notabene produk kafir. Ambil saja penafsiran berdasarkan al-Quran dan al-Hadits yang selama ini mereka jargonkan, atau mungkin saja para ulama mereka belum mendapat- kan ayat dan haditsnya ? Yang lebih menariknya, produk yang mereka (HTI) bawa adalah produk yang gagal di Jazirah Arab sana. Jadi apa dalilnya wajib membawa produk gagal ke bumi Indonesia ?
Nabi Saw itu diperintahkan oleh Allah untuk menyeru dan mengajak manusia masuk ke dalam agama Islam, bukan untuk mendirikan negara Islam. Jadi bagaimana mungkin mendirikan negara Islam bisa menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh HTI sedangkan Allah dan Nabi-Nya sendiri tidak mewajibkan bagi seluruh umatnya ?
Karena menganggap cinta tanah air atau Nasionalisme itu adalah bid’ah, maka mereka tidak segan-segan membuat kerusuhan, fitnah, peperangan dan lain sebagainya. Yang anehnya mereka ini lebih mencintai negara orang lain, sebut saja rezim dajjal Kerajaan Arab Saudi, dan para terorisme yang mengatasnamakan agama Islam seperti Taliban, al-Qaeda, al-Nusra dan ISIS.
Sungguh aneh, mereka hidup dan menghirup udara Indonesia, makan, minum dan tidur bahkan berkeluarga dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, tetapi lebih men- cintai negara lain yang tidak memberikan apa yang diberikan bumi pertiwi ini kepada mereka. Jadi dimanakah letak dan hubungan rasionalitasnya ?
Tidak sedikit para Kyai NU yang resah dengan pemikiran yang dekstrem ala HTI ini, karena di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan “ Darul mafasid wa jalbul mashalih “ yang berarti menghindarkan kerusakan dan membawa kebaikan. Juga dengan cara pandang legal -formal ala HTI ini harus dikaji dari berbagai aspek kemaslahatan, karena Islam yang dinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah Islam yang membawa rahmat dan kelanggengan, bukan Islam yang menghalalkan segala cara dan membawa petaka. Disinilah perlunya pergeseran dari fiqh formalistik menjadi fiqh etik yang lebih mencerminkan kesejukan dan kelanggengan bagi Islam itu sendiri.
Pikiran-pikiran untuk menegarakan hukum Islam (fiqh) akan mengganggu Konstitusi NKRI dan prinsip-prinsip demokrasi substansial yang mendasarkan diri pada hak-hak asasi manusia universal. Para ulama NU meyakini bahwa penerimaan atas Pancasila merupakan perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan. Pancasila juga diyakini sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam. Demikian ini merupakan tinjauan dari sisi relasi Agama dan Negara dalam pandangan organisasi massa terbesar di Indonesia tersebut. 1
Dalam kaidah ushul fiqh lainnya dikatakan “ al-Ijtihadu laa yunqadhu bil ijtihadi “ yang berarti : “ Ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang lain “.2 Perumusan Pancasila dan UUD 1945 adalah hasil ijtihad para pendiri bangsa dan para ulama. Dan juga harus dipahami bahwa “Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi sesuai dengan ruang dan waktu yang berbeda“. Begitu pula dengan hasil ijtihad para ulama NU dan para pendiri bangsa ini sesuai dengan ruang dan waktunya, sedangkan ijtihad para ulama HTI tidak sesuai dengan ruang dan waktunya untuk Indonesia pada saat ini. Bisa saja ijtihad para ulama HTI ini sesuai dengan ruang dan waktunya bagi Indonesia apakah itu 10.000 atau 20.000 tahun lagi, kita lihat saja nanti.
Seiring aksi terorisme dan kekerasan yang mengatas-namakan agama, Islam menjadi lebih sering dipandang secara stereotipe bahwa ia adalah agama yang mengajarkan kekera- san. Padahal Islam adalah agama yang secara terang-terangan membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam, bukan ancaman yang mena- kutkan bagi seluruh alam. 3
Haidar Bagir di dalam bukunya “Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan“ secara tegas menyatakan : “ Bahwa Islam bukanlah agama yang menekankan kekerasan atau kebrutalan, melainkan agama cinta dan kebahagiaan“. Sebagaimana fungsi agama sebagai pelipur lara dan pemuasan dahaga spiritualitas serta siraman rohani, Islam juga menjadi tempat kembali bagi pemeluknya untuk merengkuh cinta dan kebahagiaan. Artinya, Islam menjadi tujuan cinta dan kebahagiaan sekaligus mengajarkan ajaran cinta dan kebahagiaan pula.
Sebagaimana esensi dari kehidupan yang merupakan perjalanan cinta, hendaknya hidup ini memang menggelorakan cinta. Terlebih lagi bahwa umat manusia adalah umat yang beragama, dan Islam merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh umat manusia, seharusnya memang hidup di dunia ini penuh cinta dan bahagia sehingga perdamaian antara umat manusia bisa tercapai.
Konsep yang demikian ini adalah konsep keagamaan Islam sebagaimana esensinya. Jika demikian halnya, tidak ada dalil tentang kebrutalan yang diajarkan oleh agama Islam. Terlebih lagi, aksi terorisme yang dianggap sebagai jalan jihad untuk memuliakan agama Tuhan terbukti tidak berdasar secara kuat karena Islam tidak mengajarkan kebrutalan sama sekali. Tetapi walaupun begitu Islam mengajarkan bagaimana caranya membela diri ketika ajarannya yang mulia dan agung diracuni oleh akal-akal dangkal, sempit dan membawa misi perpecahan yang didalangi oleh paham liberalisme, radikalisme, dan wahabisme.
Benar dugaan agamawan dunia dalam “Deklarasi Kyoto“ oleh World Conference of Religion for Peace (WCRP), di Kyoto, Jepang 29 Agustus 2006 memilih Ketua Umum PBNU (waktu itu), Dr. KH. A.Hasyim Muzadi menjadi salah satu Presiden WCRP dari Sembilan tokoh agama dunia. Deklarasi Kyoto menegaskan bahwa kaum multi-agama harus menjadi pelaku perdamaian, bukan masuk blok konflik. Menurut WCRP, konflik agama itu tidak ada, agama hanya dimanfaatkan untuk hegemoni politik dan ekonomi yang bukan untuk tujuan agama itu sendiri.
Agama telah dibajak para ekstrimis radikalis dan media massa. Ekstrimis radikalis memainkan agama mendorong kekerasan dan kebencian serta menciptakan konflik sek- tarian yang bertentangan dengan keyakinan agama itu sendiri. Para politisi memanipulasi dan memanfaatkan agama dalam selubung perbedaan-perbedaan sektarian untuk kepen- tingan meraih kekuasaan, sehingga menyeret agama ke dalam pertentangan sosial, ekonomi, dan politik. Media massa mengambinghitamkan agama dalam situasi konflik lewat pemberi- taan-pemberitaan yang tidak layak dan tidak cover both side (dua arah). Dalam hal ini NU telah membuktikan ke dunia, bahwa NU mampu hidup berdampingan secara dinamis dalam masyarakat plural sebagaimana Nabi Saw, para sahabat, dan ulama salaf hidup dizamannya. Jadi bagaimana mungkin orang yang mengklaim dirinya sebagai pengikut ulama salaf, tetapi tidak bisa hidup berdampingan secara plural dengan umat manusia lainnya. Bukankah ini sebuah dusta dan pengelabuan yang teramat besar terhadap Islam ?
Ketua Umum PBNU (waktu itu), Dr.KH.A.Hasyim Muzadi mengibaratkan posisi NU sekarang berada dalam “kepungan“ ideologi transnasional : Radikalisme Timur Tengah dan liberalisme Barat. Radikalisme Timur Tengah dan liberalisme Barat sama-sama berpotensi merusak NU dan NKRI.  Bahkan KH. Yusuf Hasyim sebelum beliau berpulang ke rahmatullah berwasiat “ NU harus dapat memotong laju gerak ideologi kekerasan dari Timur Tengah dan liberalisme Barat. Karena kedua-duanya sama-sama akan merusak NU dan NKRI.
Sementara menurut Dr. KH. Said Aqil Siraj, ideologi transnasional dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi transnasional akan menggeret agama masuk dalam pusaran ketegangan benturan sosial politik. Pada gilirannya nanti, ia akan mereduksi substansi Islam sebagai agama cinta damai dan transendental serta melepaskan dogmatisme agama. Sedangkan gerakan radikal akan menghilangkan peran agama sebagai rahmat. Karena itulah kedua ideologi ini tidak bermanfaat dan bahkan membahayakan NKRI “, tegas KH. Said Aqil Siroj.
KH. Hasyim Muzadi berpesan agar warga NU terlindungi dan dapat membentengi diri dari serangan dan rongrongan paham di luar Aswaja, maka perlu terus menerus mengkaji Fikroh Nahdliyah (Pemikiran ala Nahdliyin) agar menjadi matang, yang selanjutnya menjadi pedoman warga Nahdliyin.
Kelompok Wahabi ini memiliki ciri yang melekat, yaitu : tidak menghormati perbe- daan kondisi kenegaraan dan sosial politik serta keragaman budaya setempat. Mereka hanya mengambil alih atau menerapkan ulang suatu metodologi atau paham tanpa menghargai kebudayaan setempat.
Di sisi lain, liberalisasi pemikiran dalam agama, menggunakan ukuran-ukuran Barat, sehingga posisi-posisi fiqh diganti masholihul mursalah (kaidah mengenai kemaslahatan) yang tanpa manhaj (metode). Maka lahirlah hermeneutika (penafsiran) dengan ukuran-ukuran ammah (masyarakat) yang tidak seimbang antara pemikiran dengan mashlahah (kesejahteraan) hidup.
 Pengamat gerakan Islam Internasional, Agus Maftuh Abegebriel menyatakan ada konspirasi kuat untuk memecahbelah umat Islam dewasa ini lewat ideologi transnasional. Hukum konspirasi itu menyebutkan : ideologi fundamentalisme - radikalisme dari Timur tengah dengan ideologi liberalisme dari Barat bersekongkol mengoyak ukhuwah Islamiyah –dan persatuan-kesatuan NKRI. Mantan Wakil Rais Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amin menyebutkan Islam Liberal kini dianggap sebagai ancaman yang akan merusak NU. Apa sebab ? Karena gerakan ini mengarah kepada liberalisme berpikir yang berlebihan, yang menyebabkan terputusnya kerangka akademik baik secara manhaji maupun secara qauli. Kaum liberal memperlihatkan semangat untuk melepaskan dogmatisme dalam agama, tanpa manhaj.
Liberalisme adalah harakah bila manhajin, walaa hududin, walaa dhawabith, yaitu suatu gerakan yang tanpa manhaj atau tanpa metodologi, dan cenderung liberal, lepas dari nash qath’i “, ujar (mantan) anggota Dewan Pertimbangan Keagamaan, Presiden Bambang Susilo Yudhoyono ini. Menurut Kyai Ma’ruf, liberalisme keagamaan membahayakan agama itu sendiri, karena akan melepaskan aspek dogma dalam agama dan yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya reduksi keyakinan secara bertahap dan menganggap tidak ada lagi standarisasi ibadah mahdhah.
Gerakan liberal adalah kelanjutan dari paham Mu’tazilah yang menjadikan akal sebagai panglima di atas al-Quran dan Hadits. Karena itu, lanjut Kyai Ma’ruf gerakan liberal harus dihabisi di tubuh NU, karena liberalisme akan memunculkan standar baru tentang konsep mashlahah, demokrasi dan HAM. Liberalisme akan mengaburkan dogmatis dalam agama. Karena itu, jelas Kyai Ma’ruf, gerakan militan Islam atau fundamentalisme Islam merupakan kelanjutan dari gerakan Khawarij. Sedangkan gerakan liberal adalah kelanjutan dari paham Mu’tazilah. Keduanya adalah gerakan tataruf (ekstrim) dan keduanya tidak membawa manfaat bahkan akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, “ papar Kyai Ma’ruf.
Mantan Wakil Rais Aam, Prof.Dr.KH.Tolchah Hasan memaparkan bahwa gerakan Islam fundamentalis yang berasal dari Timur Tengah yang masuk ke Indonesia diantaranya Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jihadi, Dakwah Salafi, Salafi Sururi, Jamaah Tabligh dan Syiah.
Menurut Agus Maftuh, jalur Tarbiyah memasuki Indonesia pada dekade 1980-an. Pengembangan Ikhwan Tarbiyah di Indonesia lewat tiga jalur : kelompok usrah di kampus, alumni Timur Tengah dan kampus LIPIA Jakarta. Kelompok ini belakangan mendirikan PKS.
Pengamat gerakan Islam timur tengah, KH. Drs. Imam Ghazali MA, menyebutkan gerakan Islam Ideologis yang cukup intensif di Indonesia sekarang adalah Hizbut Tahrir (HT). Perbedaan HT dengan Ikhwan terletak pada penolakannya terhadap demokrasi dan ---tekanannya pada paham kekhalifahan. Metode perjuangan HT ada tiga tahap : kaderisasi, sosialisasi, dan merebut kekuasaan. Agenda utamanya adalah mewujudkan proyek kekhalifahan dunia,” ujar dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Karena itu, NU dan komponen bangsa lainnya perlu merapatkan barisan menyamakan visi menghadapi agenda asing yang akan memecah belah NKRI dan mengganti ideo- logi Pancasila. Yang lebih berbahaya lagi adalah gerakan yang menjadikan agama sebagai ideologi politik, maka dalam istilah Sayyidina Ali r.a mereka didefinisikan sebagai “ Huwa kalimatul haq wa uriduha bil bathil “ dengan artian, sebuah gerakan yang menampilkan jorgan indah, tetapi hakikatnya tersimpan agenda yang batil.
Sebagaimana dikatakan di dalam hadits :

سَتَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءٌ مِنْ بَعْدِي يَعِطُونَ بِالْحِكْمَةِ عَلَى مَنَابِرِ، فَإِذَا نَزَلُوا اخْتَلَسْتَ مِنْهُمْ، وَقُلُوبُهُمْ أَنْتَنُ مِنَ الْجِيْفِ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذّبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي

“ Sesungguhnya akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Mereka memberi petunjuk dengan bijaksana di atas mimbar, tetapi bila telah turun mimbar, mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk daripada bangkai. Barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongannya atau membantu mereka dalam kezalimannya, maka mereka bukan umatku “.
Orang-orang seperti inilah yang menghancurkan peradaban, masyarakat, bangsa dan negara- nya. Ribuan ayat, hadits dan janji-janji manis mereka sampaikan kepada masya- rakat, tetapi dibalik itu mereka menyiapkan niat busuk dan pengelabuan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang mengamini dan mengimani mereka serta membantunya, maka mereka keluar dari agama Islam (murtad) sebagaimana sabda Nabi Saw :
مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ
 “ Barangsiapa berjalan bersama seorang yang zalim untuk mambantunya dan dia mengetahui bahwa orang itu zalim, maka dia telah keluar dari agama Islam (Murtad) “al-Mu’jam al-Ausath 7/80, al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabarani  19 / 160, as-Sunan al-Waridah fil Fitan, ad-Dani 3/523)
Membantu satu orang yang zalim saja sudah membuat keimanan kita keluar tanpa kita sadari, apalagi membantu sebuah partai atau sebuah ormas yang telah terbongkar kebusukan dan kejahatan misi dan tujuannya sebagaimana yang telah dijelaskan.
Oleh karena itu lihatlah siapa sahabatmu, karena agama kita ada kalanya berada pada mereka, sebagaimana sabda Nabi Saw :
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“ Seseorang itu akan tetap berada pada agama temannya, maka lihatlah siapa yang menjadi temanmu“
Jauh lebih lanjut, KH. Hasyim Muzadi menjelaskan tentang Islam sebagai ideologi dengan Islam sebagai agama sebagai berikut : “Bahwa agama meliputi aqidah dan syariah. Kita semua sudah memahami. Yang kita persoalkan adalah penerapan agama secara kondisional dalam sebuah negara, itu memakai metode apa ? Metode perang, metode marah, metode dakwah dan sebagainya. Ini yang kita persoalkan. Mengenai definisi agama yang merupakan aqidatun, wa syari’atun wa mu’amalatun wa akhlaqun (agama adalah akidah, syariat, mu’amalah dan akhlak) seperti yang disebutkan dalam Fathul Qarib atau Taqrib, sudah menjadi bacaan keseharian orang NU di pesantren-pesantren.
Persoalannya, bagaimana kita membawa agama di dalam stelsel hukum dan stelsel ideologi Pancasila seperti Indonesia, yang menjamin agama jalan, tetapi menjamin negara Indonesia tidak pecah. Kalau hanya bisa menjamin Islam jalan, tetapi akibatnya membubar- kan NKRI, siapa saja bisa (seperti DI/NII red.). Atau sebaliknya, tidak membawa agama sama sekali ke dalam sistem ideologi dan negara Indonesia, sudah banyak yang melakukan (seperti PKI red.).
Perlu dibedakan secara tegas perbedaan antara agama, aliran dan ideologi. Agama adalah bersifat samawi, berdimensi dunia-akhirat, dan bersifat universal serta menyang- kut ajaran sepanjang masa. Oleh karenanya, agama tidak boleh dibatasi oleh konsep negara, karena agama untuk seluruh dunia melalui proses aktual.
Namun faktanya, pemahaman orang atau kelompok terhadap agama itu berbeda-beda, dipengaruhi oleh kondisi saat itu, tingkat pemikiran, tingkat kepentingan dan juga penyesuaian terhadap masalah-masalah lokal. Maka terjadilah aliran, jadi aliran itu adalah pemahaman seseorang terhadap agama, yang sebenarnya tidak sama dan sebangun dengan seluruh agama itu sendiri, karena aliran itu ternyata banyak.
Maka Sunni (ahlussunnah) dalam pengertian ini masuk kategori aliran, karena Sunni menyangkut cara memahami agama. Sedang ideologi, yang saya maksudkan adalah membawa agama itu dalam konteks realitas sosial dan kenegaraan. Jadi ibarat pesawat ia sudah landing. Maka ketika landing, banyak kepentingannya yang menyangkut di dalam- nya, termasuk kepentingan kekuasaan, rivalitas dan sebagainya. Jadi yang dimaksud ideologi itu adalah ideologi politik dan tata kemasyarakatan. Dus, berarti ideologi ada dalam sepanjang sejarah.
Dalam kenyataan sehari-hari bahkan banyak yang bersangkut paut antara aliran dan ideologi. Meski saling bertautan dan saling mempengaruhi antara agama, aliran dan ideologi, tetapi sebenarnya di antara ketiganya bisa dibedakan karena dimensinya berbeda-beda. Yang kita persoalkan dalam konteks ini adalah ideologi politik dan sistem sosialnya bukan aliran pahamnya. Jadi yang bermasalah di sini adalah ideologi politik atau gerakan politiknya (sistem politik).
Bagi NU sendiri, sebenarnya tidak ada keberatan secara langsung terhadap aliran-aliran keagamaan itu, tetapi akumulasi aliran ini akan membongkar ideologi negara Panca- sila. Kalau Pancasila terbongkar, maka NKRI akan terbongkar pula. Jadi aliran-aliran ini akan membuat semacam embrio semacam itu, sudah terbukti di negara asal pihak-pihak yang melakukan political movement tersebut.
Terbunuhnya Gamal Abdul Naser di Mesir misalnya, yang dituduh membunuh adalah Ikhwanul Muslimin. Hizbut Tahrir di Jordan konflik dengan pemerintah Jordan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di sana (sama seperti PKI dan NII di Indonesia). Mujahidin di Afganistan berperang dengan Taliban. Sunni-Syi’ah saling membunuh di Irak, yang gerakannya menjalar ke seluruh daratan di Timur Tengah. Pasca terbunuhnya PM. Hariri di Lebanon Sunni-Syi’ah di Syiria dan Lebanon masih terjadi pertikaian.
Apa yang dijelaskan oleh KH. Hasyim Muzadi ini cukup memberikan bukti kongkrit kepada kita semua, bahwa kerusuhan dan peperangan berasal dari gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan Islam, bukan aliran atau cara pemahamannya dalam Islam. Seperti pertikaian antara Sunni, Syi’ah dan Wahabi yang terjadi selama ini, adalah pertikaian antara gerakan politiknya, bukan alirannya. Ditambah dengan berbagai skenario musuh-musuh Islam untuk meng- adu domba antar sektarian yang akan menghasilkan kemenangan gratis atau ongkos penjajahan sebuah negara jauh lebih murah. Hal inilah yang tidak dipahami oleh mayoritas kaum muslimin termasuk orang-orang yang begitu loyal terhadap gerakan politiknya. Jadi tantangan yang NU hadapi sekarang ini jauh lebih dahsyat dan lebih berbahaya daripada tantangan filosofis yang dihadapi Imam al-Ghazali di zamannya.
Sudah 1400 tahun yang lalu Rasulullah Saw mengingatkan kita dengan sabdanya :

لَا تَبْكُوا عَلَى الدِّينِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلَكِنِ ابْكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ

“ Janganlah kalian bersedih jika agama di urus oleh ahlinya, tetapi bersedihlah jika agama di urus oleh orang yang bukan ahlinya “ (Musnad Ahmad 38/558,  al-Mu’jam al-Ausath 1/94, 9/144, al-Mu’jam al-Kabir 4/158, al-Mustadrak 4/560)
Dalam hadits lainnya dikatakan :

خِيَارُ أُمَّتِي عُلَمَاؤُهَا وَخِيَارُ عُلَمَائِهَا خِيَارُهَا , أَلَا وَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ لِلْعَالِمِ أَرْبَعِينَ ذَنْبًا قَبْلَ أَنْ يَغْفِرَ لِلْجَاهِلِ ذَنْبًا وَاحِدًا , أَلَا وَإِنَّ الْعَالِمَ الرَّحِيمَ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّ نُورَهُ قَدْ أَضَاءَ يَمْشِي فِيهِ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ كَمَا يُضِيءُ الْكَوْكَبُ الدُّرِّيُّ
Sebaik-baiknya umat adalah para ulamanya, dan sebaik-baik ulama adalah yang terbaik di antara mereka, ketahuilah sesungguhnya Allah mengampuni mereka sebanyak 40 dosa sebelum mereka beristighfar karena satu kesalahan mereka, dan sesungguhnya para ulama yang pengasih menjadi penyelamat pada hari kiamat, dan sesungguhnya cahaya mereka seterang matahari yang menyinari antara timur dan barat laksana cahaya bintang Durriyu (Hilyah al-Auliya, Abu Nu’aim 8/188) 
Dalam kesempatan lain KH. Ma’ruf Amin berkata : “Cara pandang NU dalam ber- mazhab secara substansial tidak hanya tekstual, melainkan konstekstual. Tidak hanya qauli (tekstual) tetapi juga manhajiy (metodologis). Sehingga pada tahun 1992 kita melakukan gerakan yang kita sebut dengan dinamisasi pemikiran di kalangan NU. Gerakan ini kemudian menjadi keputusan Munas Alim Ulama di Lampung. Periode ini saya sebut dengan tajdidu al-fikrah (pembaruan pemikiran). Pembaruan ini maksudnya adalah mengembalikan kepada karakteristik berpikir NU yang pertama. Sebenarnya NU tidak statis, hanya pemahaman kita saja yang picik sehingga melepaskan diri dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan berpikir tanpa batas.
Masih soal Nasionalisme, KH. Hasyim Muzadi pernah berkata : “ Mengapa NU tidak ada problem dengan ideologi Pancasila ? Karena pendekatan yang dipakai NU tidak lewat perebutan kekuasaan atau konflik. Terhadap nilai-nilai lokal yang sudah ada, NU tidak konfrontatif dan berkonflik melainkan dengan melakukan proses akulturasi.
Dalam proses demokrasi dan akulturasi itu, NU sepanjang perjuangannya di negeri ini selalu menghindari formalisasi Islam dalam bentuk negara. Formalisasi Islam dalam bentuk negara adalah problematika tersendiri. Sikap NU mengenai bentuk negara diambil berdasarkan kesepakatan bersama oleh seluruh komponen bangsa yang majemuk seperti Indonesia ini.
Ustad Ahmad Baso, Pengurus LTN PBNU di dalam rubriknya berusaha menguraikan dan menjelaskan tentang ideologi transnasional sebagai berikut : 22 “Sebutan “trans-nasional“ merujuk kepada pergerakan ideologi-ideologi global, yang melintasi batas-batas negara-bangsa. Ideologi-ideologi global tersebut bukan hanya sebuah dakwah atau kampanye keyakinan, melainkan juga gerakan politik (political movement) yang menggalang massa dan dukungan untuk mempengaruhi sebuah kebijakan politik dalam suatu negara.
Jadi, dalam konteks negara kita, ideologi-ideologi tersebut hadir sebagai gerakan politik yang ingin mempengaruhi kebijakan negara dan pemerintahan. Arah dan tujuan mereka bukan untuk kepentingan bangsa dan negara kita sendiri, tapi justru untuk kepenti- ngan global.
Kelompok-kelompok trans-nasional ini sering membenturkan dirinya dengan nasionalisme dan akar kebangsaan kita yang majemuk. Mereka tidak suka dengan yang namanya akar kebangsaan atau nasionalisme ini, karena memang mereka tidak berakar dalam basis domestik bangsa dan negara kita.
Dengan kata lain, mereka tidak mengenal Tanah Air bersama yang dipertahankan dan dibela mati-matian seperti ketika para pendiri bangsa mendirikan bangsa ini dengan basis dan kekuatan domestik. Ideologi-ideologi trans-nasional ini bukan hanya terlihat dalam Islam, tetapi juga tampak pada agama lain.
Beragama dalam konteks kebangsaan kita selalu terikat dengan tradisi dan akar kebangsaan kita yang dinamis, terbuka dan majemuk. Perlu kita tanamkan kepada generasi -muda bangsa ini bahwa Indonesia atau ke-Indonesia-an ini adalah umbrella atau payung untuk semua, apa pun latar belakang agama, budaya, etnis atau sukunya.
Jangan sampai kita jadi agen dari gerakan-gerakan dan ideologi trans-nasional itu. Karena kalau kita hanya agen, maka itu bisa menjadi embrio perpecahan. Dan tidak lagi fokus bagi penguatan kebangsaan dan akar nasionalisme kita. Bangsa kita jangan sampai tercabik-cabik seperti yang kita lihat di Irak, Mindanao atau di Thailand Selatan.
Sebagai penutup dalam bab. ini mari kita pahami sekali lagi, bahwa gerakan yang mengatasnakan dakwah Islam dan kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah atau yang mengajak untuk kembali kepada ke-khilafahan merupakan sebuah usaha pengelabuan terhadap kaum muslimin yang awam untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan ---yang sah. Sehingga gerakan ekstrem yang mengatasnamakan agama ini (Wahabi Takfiri dan Wahabi Khawarij) serta gerakan politik dengan mengerahkan massa seperti HTI ataupun PKS dan bentukannya yang berusaha menguasai lembaga tinggi negara dan keagamaan seperti MUI hadir sebagai gerakan politik yang ingin mempengaruhi kebijakan negara dan pemerintahan Indonesia serta menghacurkan tradisi dan budaya keagamaan ala NU.

No comments:

Post a Comment