Wednesday 13 May 2015

Rethingking Of Islam



Rethingking Of Islam

Assalamualaikum Wr.Wb.
Mengapa kaum muslimin gagal dalam berijtihad ? Kegagalan kaum muslimin dalam berijtihad disebabkan oleh tiga “malapetaka mefisis”. Pertama, pengkultusan syariah sebagai sesuatu yang suci dan tidak haram di kotak-katik. Kedua, lenyapnya semangat ijtihad di kalangan para ulama. Ketiga, tidak adanya institusi keagamaan secara formal yang mendidik dan mengarahkan para ulama agar menjadi mujtahid.
Kaum muslimin seharusnya menyadari bahwa hukum dan juripudensi yang selama ini menjadi rujukan utama dibangun dalam konteks sosial masa lalu yang tidak selalu sesuai dengan kehidupan masyarakat kontemporer. Kaum muslimin perlu melakukan rekonstruksi hukum dan etika baru dari sumber aslinya, yaitu konsep-konsep dan nilai-nilai asasi yang melekat di dalam al-Quan suci dan as-Sunnah sebagai spirit pembaharuan Islam dalam setiap zamannya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih :
كُلُّ أَمْرٍ حَدِيْثٍ يَجِيْبُ فِيْهِ حُكْمُهُ عَلَى حُكْمٍ أَصِّلٍّي
“ Setiap perkara yang baru wajib di berikan hukum baginya, tetap atasnya hukum yang asli “
Begitu pula dengan kaidah ushul fiqih ini :
إِذَا وُجِدَ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ شَرْعُ اللهِ
“ Manakala kemaslahatan itu terwujud, maka itulah syariat Allah “
Kaidah ushul fiqh tersebut merupakan pengejewantahan dari semangat dan maksud firman-Nya ini :
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالاً لِّماَ بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
“ Maka Kami menjadikannya sebagai pelajaran bagi orang-orang pada masa itu maupun bagi mereka yang lahir kemudian, dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang taqwa ”             (QS. 2 / al-Baqarah : 66)
Upaya mengkaji kembali pemikiran Islam secara seriau dan mendalam sudah lama dilakukan, akan tetapi cenderung terlambat dan banyak ulama yang mengalami paranoid. Sudah banyak para pemikir Islam juga para intelektual yang mengumandangkan seruan ijtihad, reformasi dan pengkajian kembali tentang hukum-hukum Islam. Sudah barangtentu seruan ijtihad ini bukan dalam masalah kulliyah (secara menyeluruh) akan tetapi bersifat juz’iyah (parsial) dalam hal-hal yang baru.
Karena dalam setiap zaman akan membawa persoalan baru yang wajib diberikan hukum baru atasnya. Akan tetapi gaungnya seruan ijtihad ini masih membuat para ulama dan cerdik pandai terlena, terbuai, dan terus menerus bersandar pada pemikiran dan penaf- siran masa lalu. Inilah salah satu sebab mengapa kita sangat menderita ketika harus bersaing dengan penghuni kehidupan lainnya dari dunia barat sana. Ditambah dengan keterlambatan kita dalam memahami, menelisik dan menguasai kehidupan kontemporer yang bergerak demikian cepatnya.
Sayangnya, kita justru sering terjebak dalam romantisme dan membanggakan Islam zaman “beheula” secara berlebihan tanpa melihat wujud realitas bahwa kita hidup di zaman Islam masa kini. Berbagai permasalahan muncul dan menjadi penghalang untuk meraih kejayaan di masa kini. Kemudian kita semua menyalahkan Islam karena ia tidak bisa lagi menjadi pelindung dan pemberi kenyamanan. Padahal dalam hal ini Islam tidak memiliki kesalahan apa pun, kitalah yang bersalah terhadap Islam.
Islam disalahkan, Islam dihujat, Islam dicaci-maki, Islam ditinggalkan bukan karena takdir Ilahi, akan tetapi kitalah yang meninggalkan Islam. Bukan pula takdir Ilahi Islam menjadi seperti hari ini, akan tetapi kitalah yang menjadikan Islam memiliki takdir seperti ini. Tuhan dan Islam tidak sedikit pun bersalah dalam hal ini.
Kita terlalu takut untuk menghukum orang-orang yang telah dihukum oleh-Nya, oleh Nabi-Nya dan oleh sejarah. Sehingga kita membuat berbagai macam alibi untuk menguatkan persangkaan kita semata. Sedangkan Dia, Nabi-Nya dan sejarah yang menjadi saksi akan kebenaran dalam kehidupan ini kita salahkan dengan minimnya ilmu kita.
Islam  tidak akan mendatangkan manfaat secara langsung dalam kehidupan ini, apa- bila kita tidak masuk ke dalamnya. Melihat dan mendengar saja tidaklah cukup, jadilah pelaku yang sebenarnya maka Islam akan memberikan manfaatnya secara langsung kepada kita. Tidak sedikit penduduk planet ini yang menganggap Islam hanya sebagai ritual ibadah. Padahal, Islam itu sendiri merupakan sebuah pandangan dan sistem etika, bukan sekedar tuntunan ritual ibadah semata. Salah satu penyebabnya adalah kebanggaan dan romantisme atas hasil ijtihad di masa lalu yang dikatakan dengan fiqih.
Padahal fiqih itu produk ijtihadi. Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan merupakan barang sakral, yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru. Di mana-mana yang namanya fiqih adalah :
اَلْعِلْمُ بِالْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ عَدِلَّتِهَا تَفْصِلِيَّةٍ
“ Mengetahui hukum-hukum syari’at yang amaliahnya diambil dari dalil-dalil yang terperinci 
Defenisi fiqih sebagai al-muktasab (suatu yang digali) menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari produk penalaran intelektual (rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah.
Sebagai sebuah produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum islam selalu tidak lepas dari pertimbangan “konteks lingkungan“ keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbab al-wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang di kalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodi- fikasikan dalam kitab-kitab, furu’ al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah dan ta’liqat juga dipandang sebagai “ figuran “ yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman teks.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad, maka para fuqaha terdahulu baik al-a’immah al-‘arba’ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah :
اَلْاِجْتِهاَدُ لَا يُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ
“ yakni : bahwa suatu ijtihad itu tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain “
Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin memang tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Di sinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis dan temporal, tidak kaku dan tidak permanen. Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tida relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih yang baru. Harus diingat bahwa fiqih itu mesti ijtihadi. Rumusan itu harus mengacu kepada prinsip maqashid al-syari’ah yang meliputi lima hal :
-         Melindungi agama (hifzh al-din)
-         Melindungi jiwa dan keselamatan (hifzh al-nafz)
-         Melindungi kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl)
-         Melindungi akal pikiran (hifzh al-‘aql)
-         Melindungi harta (hifzh al- mal)

Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak meng- khususkan perannya hanya dalam penyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan kerangka pandang ini, maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) yang harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan, sosial-kemasyara- katan, hubungan antar bangsa dan yang lainnya dapat dilakukan dengan baik.
Sudah barangtentu untuk menjalankan rumusan lima Maqashid tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang shalih sekaligus ahli dalam bidangnya. Hal ini merupakan tuntunan syar’iyyah, sebagaimana Nabi Saw bersabda :
إِسْتَعِيْنُوا عَلَى كُلِّ صَنْعَةٍ بِصَالِحٍ أَهْلِهَا
“ Minta tolonglah dalam setiap karya kepada orang shalih yang ahli dalam bidangnya “( Kasyful Khafa 340, al-Ajluni)
Prof. Dr. Yusuf Qardhawi seorang mujtahid abad ke 20 meyatakan : “Bahwa seorang mujaddid (pembaharu) agama harus memiliki bakat berijtihad.” Bakat ini perlu dikembang- kan melalui serangkaian praktek pemberian keputusan fiqih dan melakukan kajian berbagai pendapat yang berkembang. Para ahli sepakat bahwa siapa yang tidak memahami pendapat-pendapat ulama tidak akan dapat merasakan manisnya makna fiqih yang sebenarnya. Selanjutnya beliau pun menyatakan perlu dihindari sikap Ta’assub (fanatisme) dengan menyerang pendapat-pendapat seorang mujtahid atau mujaddid. Tidak bisa tidak kita harus membebaskan diri dari situasi seperti itu, lebih parah lagi kalau penciptaan situasi tersebut mendapat dukungan penguasa daerah atau negara. Kita juga harus berusaha membebaskan diri dari rasa takut yang berlebihan terhadap dominasi kaum ulama yang bersifat statis dan taqlid yang hanya bisa menyerang dan mengkritik hasil-hasil ijtihad yang baru. Kita harus berlapang dada menerima ijtihad-ijtihad baru yang muncul meski berbeda dengan apa yang sudah kita dapati dari hasil ijtihad-ijtihad lama. Cakrawala alam fikiran kita harus luas dan terbuka karena Islam tidak pernah menerima atau mengenal lembaga Papacy (kepausan) yang memandang segala sesuatu yang dibenarkan oleh Paus harus diterima sebagai kebena- ran yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Seorang mujtahid atau mujadid selain seorang pakar dalam keilmuan, ia pun harus senantiasa mampu melihat keadaan masyarakat. Hal ini dinyatakan oleh Al Imam Ahmad bin Hanbal seperti yang dikutip oleh muridnya Ibnu Qayyim Al Jauzi dalam kitabnya “A’lamul Muwaqqi’in” mengharuskan seorang mujtahid / mujaddid haruslah memahami kondisi sosial masyarakatnya. Ini merupakan syarat yang sangat penting, ia tidak bisa memberikan untaian- fatwanya dari menara gading atau surau terpencil dan jauh dari perkembangan masyara- kat.Keputusan masa lampau terkadang tidak layak lagi diterapkan pada masa kini. Suatu kaidah yang senantiasa harus diingat adalah, bahwa fatwa atau keputusan hukum dapat ber-ubah-ubah karena perkembangan zaman, tempat, keadaan dan adat istiadat. Dengan begitu ia akan dapat memberikan keputusan hukum secara tepat.
Fatwa yang berdasarkan kedewasaan dan kadilan terungkap dalam ucapan Imam Ats- Tsauri berkata kepada salah seorang muridnya, “Jika kamu melihat seseorang mengamalkan sesuatu yang diikhtilafkan dan kamu punya pendapat lain, janganlah kamu mencoba untuk melarang dia.”
Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata : “Menjadi pegangan kami hanyalah pendapat, kami tidak akan memaksakan seseorang untuk mengikutinya. Kami tidak akan pernah ber- kata : “Orang wajib menerimanya dengan terpaksa, jika mereka punya pendapat yang lebih baik berikanlah kepada kami.”

No comments:

Post a Comment