Rethingking
Of Islam
Assalamualaikum Wr.Wb.
Mengapa
kaum muslimin gagal dalam berijtihad ? Kegagalan kaum muslimin dalam berijtihad
disebabkan oleh tiga “malapetaka mefisis”. Pertama, pengkultusan
syariah sebagai sesuatu yang suci dan tidak haram di kotak-katik. Kedua,
lenyapnya semangat ijtihad di kalangan para ulama. Ketiga, tidak adanya
institusi keagamaan secara formal yang mendidik dan mengarahkan para ulama agar
menjadi mujtahid.
Kaum
muslimin seharusnya menyadari bahwa hukum dan juripudensi yang selama ini
menjadi rujukan utama dibangun dalam konteks sosial masa lalu yang tidak selalu
sesuai dengan kehidupan masyarakat kontemporer. Kaum muslimin perlu melakukan
rekonstruksi hukum dan etika baru dari sumber aslinya, yaitu konsep-konsep dan
nilai-nilai asasi yang melekat di dalam al-Quan suci dan as-Sunnah sebagai
spirit pembaharuan Islam dalam setiap zamannya. Hal ini sesuai dengan kaidah
ushul fiqih :
كُلُّ أَمْرٍ حَدِيْثٍ يَجِيْبُ فِيْهِ حُكْمُهُ
عَلَى حُكْمٍ أَصِّلٍّي
“ Setiap perkara yang baru wajib di berikan hukum baginya, tetap
atasnya hukum yang asli “
Begitu pula dengan kaidah ushul fiqih ini :
إِذَا وُجِدَ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ شَرْعُ اللهِ
“ Manakala kemaslahatan
itu terwujud, maka itulah syariat Allah “
Kaidah ushul
fiqh tersebut merupakan pengejewantahan dari semangat dan maksud firman-Nya ini
:
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالاً لِّماَ بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً
لِلْمُتَّقِينَ
“ Maka Kami menjadikannya sebagai pelajaran bagi
orang-orang pada masa itu maupun bagi mereka yang lahir kemudian, dan
sebagai peringatan bagi orang-orang yang taqwa ” (QS. 2 / al-Baqarah : 66)
Upaya mengkaji kembali pemikiran Islam secara seriau dan mendalam sudah
lama dilakukan, akan tetapi cenderung terlambat dan banyak ulama yang mengalami
paranoid. Sudah banyak para pemikir Islam juga para intelektual yang
mengumandangkan seruan ijtihad, reformasi dan pengkajian kembali tentang
hukum-hukum Islam. Sudah barangtentu seruan ijtihad ini bukan dalam masalah kulliyah
(secara menyeluruh) akan tetapi bersifat juz’iyah (parsial) dalam
hal-hal yang baru.
Karena dalam setiap zaman akan membawa persoalan baru yang wajib
diberikan hukum baru atasnya. Akan tetapi gaungnya seruan ijtihad ini masih
membuat para ulama dan cerdik pandai terlena, terbuai, dan terus menerus
bersandar pada pemikiran dan penaf- siran masa lalu. Inilah salah satu sebab
mengapa kita sangat menderita ketika harus bersaing dengan penghuni kehidupan
lainnya dari dunia barat sana. Ditambah dengan keterlambatan kita dalam
memahami, menelisik dan menguasai kehidupan kontemporer yang bergerak demikian
cepatnya.
Sayangnya, kita justru sering terjebak dalam romantisme dan membanggakan
Islam zaman “beheula” secara berlebihan tanpa melihat wujud realitas bahwa kita
hidup di zaman Islam masa kini. Berbagai permasalahan muncul dan menjadi
penghalang untuk meraih kejayaan di masa kini. Kemudian kita semua menyalahkan
Islam karena ia tidak bisa lagi menjadi pelindung dan pemberi kenyamanan.
Padahal dalam hal ini Islam tidak memiliki kesalahan apa pun, kitalah yang
bersalah terhadap Islam.
Islam disalahkan, Islam dihujat, Islam dicaci-maki, Islam ditinggalkan
bukan karena takdir Ilahi, akan tetapi kitalah yang meninggalkan Islam. Bukan
pula takdir Ilahi Islam menjadi seperti hari ini, akan tetapi kitalah yang
menjadikan Islam memiliki takdir seperti ini. Tuhan dan Islam tidak sedikit pun
bersalah dalam hal ini.
Kita terlalu takut untuk menghukum orang-orang yang telah dihukum
oleh-Nya, oleh Nabi-Nya dan oleh sejarah. Sehingga kita membuat berbagai macam
alibi untuk menguatkan persangkaan kita semata. Sedangkan Dia, Nabi-Nya dan
sejarah yang menjadi saksi akan kebenaran dalam kehidupan ini kita salahkan
dengan minimnya ilmu kita.
Islam tidak akan mendatangkan
manfaat secara langsung dalam kehidupan ini, apa- bila kita tidak masuk ke
dalamnya. Melihat dan mendengar saja tidaklah cukup, jadilah pelaku yang
sebenarnya maka Islam akan memberikan
manfaatnya secara langsung kepada kita. Tidak sedikit penduduk planet
ini yang menganggap Islam hanya sebagai ritual ibadah. Padahal, Islam itu
sendiri merupakan sebuah pandangan dan sistem etika, bukan sekedar tuntunan
ritual ibadah semata. Salah satu penyebabnya adalah kebanggaan dan romantisme
atas hasil ijtihad di masa lalu yang dikatakan dengan fiqih.
Padahal fiqih itu produk ijtihadi. Karena produk ijtihad maka
keputusan fiqih bukan merupakan barang sakral, yang tidak boleh diubah meskipun
situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mensakralkan
fiqih jelas keliru. Di mana-mana yang namanya fiqih adalah :
اَلْعِلْمُ بِالْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ عَدِلَّتِهَا تَفْصِلِيَّةٍ
“ Mengetahui hukum-hukum
syari’at yang amaliahnya diambil dari dalil-dalil yang terperinci ”
Defenisi fiqih sebagai al-muktasab (suatu yang digali)
menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses
penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan
sebagai hukum praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari produk penalaran
intelektual (rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi
juga kerja ilmiah.
Sebagai sebuah produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fiqih terus
berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya
serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin
mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin)
dalam melakukan formasi hukum islam selalu tidak lepas dari pertimbangan
“konteks lingkungan“ keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbab
al-wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang di kalangan NU. Ia
hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena
yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodi-
fikasikan dalam kitab-kitab, furu’ al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah
dan ta’liqat juga dipandang sebagai “ figuran “ yang hanya berfungsi
memperjelas pemahaman teks.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad, maka para fuqaha
terdahulu baik al-a’immah al-‘arba’ah maupun yang lain meskipun berbeda
pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak
memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain keliru. Mereka tetap
berpegang pada kaidah :
اَلْاِجْتِهاَدُ لَا يُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ
“ yakni : bahwa suatu
ijtihad itu tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad lain “
Masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin
memang tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan
waktu yang berbeda. Di sinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel,
dinamis, realistis dan temporal, tidak kaku dan tidak permanen. Maka kalau ada
fiqih-fiqih klasik yang tida relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka
harus dibuat fiqih yang baru. Harus diingat bahwa fiqih itu mesti ijtihadi.
Rumusan itu harus mengacu kepada prinsip maqashid al-syari’ah yang
meliputi lima hal :
-
Melindungi agama (hifzh al-din)
-
Melindungi jiwa dan keselamatan (hifzh al-nafz)
-
Melindungi kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl)
-
Melindungi akal pikiran (hifzh al-‘aql)
-
Melindungi harta (hifzh al- mal)
Rumusan lima maqashid ini memberikan
pemahaman bahwa Islam tidak meng- khususkan perannya hanya dalam penyembahan
Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan kerangka
pandang ini, maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali
yang bersifat ubudiyah murni) yang harus disikapi dengan meletakkan
kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas
kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan, sosial-kemasyara- katan, hubungan
antar bangsa dan yang lainnya dapat dilakukan dengan baik.
Sudah barangtentu untuk menjalankan rumusan
lima Maqashid tersebut harus dilaksanakan oleh orang yang shalih
sekaligus ahli dalam bidangnya. Hal ini merupakan tuntunan syar’iyyah,
sebagaimana Nabi Saw bersabda :
إِسْتَعِيْنُوا عَلَى كُلِّ صَنْعَةٍ بِصَالِحٍ
أَهْلِهَا
“
Minta tolonglah dalam setiap karya kepada orang shalih yang
ahli dalam bidangnya “( Kasyful Khafa 340,
al-Ajluni)
Prof. Dr. Yusuf Qardhawi seorang mujtahid abad ke 20 meyatakan :
“Bahwa seorang mujaddid (pembaharu) agama harus memiliki bakat berijtihad.”
Bakat ini perlu dikembang-
kan melalui serangkaian praktek pemberian keputusan fiqih dan melakukan
kajian berbagai pendapat yang berkembang. Para ahli sepakat bahwa siapa yang tidak memahami
pendapat-pendapat ulama tidak akan dapat merasakan manisnya makna fiqih yang
sebenarnya. Selanjutnya beliau pun menyatakan perlu
dihindari sikap Ta’assub (fanatisme) dengan menyerang pendapat-pendapat
seorang mujtahid atau mujaddid. Tidak bisa tidak kita harus membebaskan diri dari
situasi seperti itu, lebih parah lagi kalau penciptaan situasi tersebut
mendapat dukungan penguasa daerah atau negara. Kita juga harus berusaha
membebaskan diri dari rasa takut yang berlebihan terhadap dominasi kaum ulama
yang bersifat statis dan taqlid yang hanya bisa menyerang dan mengkritik
hasil-hasil ijtihad yang baru. Kita harus berlapang dada menerima
ijtihad-ijtihad baru yang muncul meski berbeda dengan apa yang sudah kita
dapati dari hasil ijtihad-ijtihad lama. Cakrawala alam fikiran kita harus luas
dan terbuka karena Islam tidak pernah menerima atau mengenal lembaga Papacy
(kepausan) yang memandang segala sesuatu yang dibenarkan oleh Paus harus
diterima sebagai kebena- ran yang mutlak dan
tidak bisa diganggu gugat.”
Seorang mujtahid
atau mujadid selain seorang pakar dalam keilmuan, ia pun harus senantiasa mampu
melihat keadaan masyarakat. Hal ini dinyatakan oleh Al
Imam Ahmad bin Hanbal seperti yang dikutip
oleh muridnya Ibnu Qayyim Al Jauzi dalam kitabnya “A’lamul Muwaqqi’in”
mengharuskan seorang mujtahid / mujaddid haruslah memahami kondisi sosial
masyarakatnya. Ini merupakan syarat yang sangat penting, ia
tidak bisa memberikan untaian- fatwanya dari menara gading atau surau terpencil
dan jauh dari perkembangan masyara- kat.Keputusan masa
lampau terkadang tidak layak lagi diterapkan pada masa kini. Suatu kaidah
yang senantiasa harus diingat adalah, bahwa fatwa atau keputusan hukum dapat ber-ubah-ubah karena
perkembangan zaman, tempat, keadaan dan adat istiadat. Dengan begitu ia akan
dapat memberikan keputusan hukum secara tepat.
Fatwa yang berdasarkan kedewasaan dan kadilan
terungkap dalam ucapan Imam Ats- Tsauri berkata kepada
salah seorang muridnya, “Jika kamu melihat seseorang mengamalkan sesuatu yang
diikhtilafkan dan kamu punya pendapat lain, janganlah kamu mencoba untuk
melarang dia.”
Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata : “Menjadi pegangan kami
hanyalah pendapat, kami tidak akan memaksakan seseorang
untuk mengikutinya.
Kami tidak akan pernah ber- kata : “Orang wajib
menerimanya dengan terpaksa, jika mereka punya pendapat yang lebih baik
berikanlah kepada kami.”
No comments:
Post a Comment